Selamat Tinggal Pelita

Angga Oktra Pria Fambudi 23 Desember 2014

        Ada sebuah potret gambar yang sangat menarik yang kutemukan di rumah bapak angkatku disini. Dalam potret yang tergantung didinding itu terlihat ada sekitar 6 anak sedang belajar dengan hanya ditemani oleh lampu pelita dari botol bekas minuman. Disitu terlihat mereka sedang mengerjakan PR mengelilingi redup cahaya pelita ditengah kegelapan malam. Ketika melihat tersebut aku bertanya pada bapak;

                “ Bapak, kapan foto itu diambil”

                “ Tiga tahun dulu Pak Guru, waktu pertama kali Pak Guru Arif datang kesini”

                “  Oh, jadi waktu Pak Arif datang kesini belum ada genset kampung”

                “ Belum pak guru, waktu zaman Pak Arif dan Pak Maman belum ada genset kampung, Pak Fajri baru ada, tapi waktu Pak Fajri dekat – dekat selesai penugasan baru genset nya ada”

                “Waktu zaman Pak Arif dengan Pak Maman berarti kampung masih gelap bapak tiap malam”

                “Iya Pak Guru, waktu itu tiap malam bapak pakai pelita, kalau pak guru Arif, Maman ada butuh listrik baru bapak start pokpok(genset mini) biar Pak Guru  bisa kerja”

                “Terus kalau malam ketika anak – anak belajar bagaimana bapak?”

                “Ya kalau tidak ada bensin ya pakai pelita saja” sambil menunjuk foto anak – anak yang sedang belajar mengelilingi pelita tadi.

                Sangat kagum melihat perjuangan pada waktu itu, untuk belajar setiap malam saja mereka harus menggunakan pelita. Bagiku yang selama ini hidup dikota, pelita hanya sekedar alat yang kupakai ketika listik mati, itupun sudah mulai jarang kugunakan karena cahaya nya tidak begitu terang dan aku lebih memilih lampu cash. Usaha mereka untuk mendapatkan ilmu sangatlah patut diacungi jempol. Dikota setiap anak dapat belajar dengan enak setiap malam karena PLN bisa diakses selama 24 jam setiap hari, sedangkan disini keadaan malah sebaliknya. Namun meskipun begitu, sepertinya hal tersebut bukanlah menjadi alasan bagi anak – anak kampung untuk tidak belajar. Mereka tetap belajar dengan penerangan seadanya setiap malamnya. Bagi mereka pelita adalah segalanya ketika matahari mulai terbenam.

        Keadaan geografis kampung yang berupa kepulauan dan jauh dari kota menyebabkan akses listrik menjadi hal yang membutuhkan perjuangkan jika ingin mendapatkannya. Harga juga menjadi pikiran karena ongkos untuk membeli bensin kekotapun juga bisa dibilang lumayan. Meskipun begitu, ternyata keterbatasan tersebut bukanlah kendala bagi mereka untuk menyerah mendapatkan listrik. Ditahun 2013 akhir datanglah sebuah mesin genset besar yang akan menjadi tenaga listrik baru bagi kampung untuk setiap malam nya. Namnun mesin itu bukanlah datang begitu saja seperti durian jatuh dari pohon nya.

        Tahun itu ada pengadaan dana PNPM dari pemerintah dan kampung kami menjadi salah satu kampung yang layak mendapatkan dana bantuan tersebut. Dana yang turun ternyata sangatlah banyak. Mengetahui hal tersebut, Kepala kampung dan juga beberapa anggotanya mulai merapatkan apa hal yang sangat vital dan dibutuhkan oleh kampung ini. Mereka mulai menyisir segala hal yang dibutuhkan oleh kampung karena tak ingin dana yang besar ini akan menguap tanpa ada hasil yang signifikan. Setelah disisir lebih dalam akan keperluan kampung tersebut, kemudian ada yang mengusulkan untuk pengadaan genset kampung agar kampung mempunyai listrik umum yang bisa digunakan bersama. Usul tersebut cukup masuk akal mengingat selama beberapa puluh tahun ini Kampung Tarak memang masih dikenal dengan kampung pelita kala malam.

        Setelah usulan didapat, kemudian aparat kampung dan warga pun mulai rapat bersama untuk membicarakan pengadaan genset kampung ini. Dalam rapat ini terlihat antusiasme warga yang mendukung usulan aparat kampung akan pengadaan genset ini. Menurut mereka, usulan tersebut sudah bagus dan memang genset umum ini diperlukan sebagai alat penunjang kegiatan mereka kala malam datang.

        Ditahun 2013 akhir, genset kampung pun mulai bisa dioperasikan. Sejak saat itu warga tidak lagi kesusahan ketika malam telah datang. Mereka telah mempunyai nyala lampu yang selalu menemani mereka tiap malam. Meskipun hanya sekitar 6 jam lampu menyala tiap harinya, hal tersebut tak menjadi masaah bagi mereka. Paling tidak diwaktu tersebut mereka tidak perlu lagi melihat anak – anak mereka berkerumun di dekat pelita yang asapnya bisa menghitamkan wajah mereka. Mereka sudah bisa belajar dengan tenang dan kesempatan belajar merekapun bisa jauh lebih banyak.

        Sekarang kampungku bukan lagi kampung pelita, sudah ada yang menerangi kami ketika pekatnya malam mulai datang. Meskipun kami berada jauh ditangah lautan, kamipun bisa merasakan listrik seperti mereka yang ada dikota karena kami mau berusaha. Selamat tinggal pelita, jasamu tak akan pernah kulupa.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua