info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Asisten Cilik

Angga Oktra Pria Fambudi 26 Februari 2015

Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 tepat, lonceng tanda masuk kelas pun langsung dibunyikan. Semua anak masuk ke dalam kelasnya masing – masing. Kelas 5 dan 6 masuk di satu kelas, sedangkan sisanya masuk di satu kelas yang lain.  Sampai sekarang masih ada dua kelas saja yang bisa digunakan karena dua gedung kelas tambahan yang baru masih belum diresmikan sehingga belum bisa ditempati.

                Sesaat setelah lonceng masuk kelas berbunyi halaman sekolah yang tadinya ramai langsung mendadak sepi karena semua anak sudah masuk kedalam kelas. Doa sebelum memulai pelajaran pun dimulai, anak – anak terlihat khusyuk sesaat sampai akhirnya pelajaran pagi itu dimulai. Ketika aku memulai pelajaran, kulihat kelas sebelah masih kosong kerena sang guru masih belum datang. Melihat itu aku kemudian menenangkan mereka untuk sesaat sambil menunggu sang guru datang. Setelah menenangkan mereka aku pun langsung kembali lagi kekelas untuk melanjutkan pelajaran di kelas. Aku melanjutkan pelajaran kembali sampai tiba – tiba ada seorang anak datang memberitahuku sebuah pesan;

                “ Pak Guru, Ibu Guru hari ini tidak bisa mengajar. Kata ibu besok baru bisa mengajar lagi!”

                Mendengar kabar tersebut akupun kemudian diam sejenak kemudian memutar otak untuk memikirkan cara membagi diri paling efektif di hari itu. Mengajar enam kelas memang bukan hal baru buatku ketika mengajar disini, bulan – bulan kemarin aku cukup sering mengajar 6 kelas sendirian ketika kepala sekolah pergi kota untuk mengurus urusan administrasi sekolah sedangkan guru honor masih belum ada. Namun, aku menyiasatinya dengan membagi anak – anak menjadi dua jam belajar, yakni pagi dan siang. Hal itu bisa dilakukan ketika sudah ada pemberitahuan dihari sebelumnya. jika kondisinya mendadak mau tidak mau mereka harus disatukan karena ketika dipulangkan dan harus kembali lagi pada siang hari ditakutkan mereka tidak bisa datang selengkap ketika mereka datang pagi.

                Sejenak berfikir akupun mendapat sebuah ide. Aku memang mengajar sendirian hari ini namun aku punya banyak asisten yang selalu siap digerakkan untuk membantuku mengajar. Aku kemudian masuk kekelas kemudian bertanya kepada anak – anak kelas enam;

                “Anak – anak, ada yang mau jadi asisten Pak Guru untuk mengajar?”

                “Asisten, .. mau Pak Guru!” jawab mereka dengan semangat..

                “ Nah pintar, sekarang kan kelas satu sampai kelas empat sedang tidak ada guru, Pak guru Minta tolong ke anak – anak kelas enam buat bantu Pak Guru membimbing adik – adik membaca. Bagaimana?”

                “ Mau pak guruuu.....”

                Mendengar jawaban itu akupun senang. Kemudian akupun membuka perpustakaan dan menginstruksikan mereka untuk mengambil buku bacaan ringan yang akan digunakan untuk membimbing adik – adik mereka membaca. Jumlah anak – anak kelas enam memang sedikit, namun aku menyiasatinya dengan menaruh seorang anak kelas enam untuk membimbing dua orang adik – adik nya agar jumlahnya mencukupi. Setelah mengambil buku, asisten kecilku pun langsung bergerak ke tempat adik – adik mereka. Tak terlihat ada beban sama sekali di wajah mereka, yang ada mereka malah bersorak senang. Aku tersenyum melihat hal ini, mungkin mereka senang karena mereka akhirnya punya kesempatan untuk mengajari adik mereka secara langsung.

                Ketika aku melihat mereka membimbing adik – adik mereka membaca, terlihat beberapa hal lucu yang terjadi. Ada beberapa dari mereka yang terlihat tidak sabar karena yang mereka bimbing sering bercanda, ada juga yang lancar – lancar saja ketika membimbing dan ada yang sampai ditinggal lari oleh adiknya sampai sang asisten harus mengejarnya terlebih dahulu agar bisa membimbingnya. Ada – ada saja tingkahnya dan terkadang terlihat sangat lucu. Namun yang bisa kulakukan hanya membantu mengawasi mereka sejenak karena masih ada tiga kelas yang harus kuurusi sementara ini.

                Melihat para asisten kecilku mulai bergerak aku tak bisa diam saja dan bersantai. Aku langsung mengambil buku kelas lima dan menuliskan materi yang kuajarkan hari itu di papan tulis karena buku memang tidak mencukupi untuk dibagikan kepada mereka semua. Setelah selesai menulis materi aku menginstruksikan anak – anak kelas lima untuk menulisnya dibuku tulis mereka sedangkan aku pergi ke anak kelas satu dan dua untuk gantian memberikan mereka pelajaran. Begitu seterusnya aku membagi diriku untuk enam rombel yang kuajar hari itu. Terus berpindah sampai akhirnya jam sekolah berakhir.

                Diakhir pelajaran tak lupa aku mengucapkan terimakasih dan ucapan apresiasi kepada para asisten kecilku karena telah mau membantuku mengajar. Mendengar apresiasiku dan ucapan terimakasihku mereka terlihat senang sekali. Sepertinya mereka telah merasa puas bisa benar – benar membantu waktu itu. Melihat expresi itu aku pun kemudian bertanya kepada mereka;

                “Anak – anak, lain kali mau jadi asisten Pak Guru Lagi kah tidak?”

                “ Mau Pak Guruu.....”

                Senang sekali mendengarnya, namun bukan itu hal yang sebenarnya kumaksud pada mereka. Aku hanya ingin melihat apakah mereka masih bersemangat apa tidak jika nanti kejadian yang sama datang lagi. Namun, kuharap tidak karena kasihan sekali jika mereka tidak bisa mendapatkan pelajaran dengan maksimal sebagaimana mestinya. Pemerataan guru di daerah pedalaman ataupun kepulauan sampai sekarang memang masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan. Mengeluh, juga tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik memberdayakan yang ada dengan semaksimal mungkin agar PR tersebut tidak menjadi lebih sukar lagi untuk dikerjakan.  Pak Guru baru, darimanapun kamong berasal, cepatlah datang, agar aku dan rekan mengajarku disini punya teman tambahan untuk mengasah para anak – anak pintar di Kampung Tarak ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua