info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Demi Rindu Untuk Bertemu

Andrio 21 November 2011

“Ombak kencang Pak, jadi kita melintas ke Bengkallo?” tanya seorang nelayan pada saya ketika mengetahui saya adalah Pengajar Muda yang akan menuju desa tersebut.

Mari pulang

Setelah seluruh kegiatan diselesaikan di Tanah Grogot, saya memutuskan untuk tetap pulang menuju Desa Bengkallo walau waktu sudah pukul 14.30 WITA, hari Minggu 20 November 2011. Perjalanan menuju desa tersebut memakan waktu satu setengah jam jalur darat bukan aspal dengan menggunakan taksi (mobil colt L300 berwarna putih, bukan sedan). Sehingga saya memperkirakan dapat sampai di Dermaga Lori tepat waktu, tidak terlalu sore, untuk menumpang kapal nelayan yang hendak ke Bengkallo.

Jika saya berangkat terlalu sore, sangat kecil kemungkinan akan ada kapal untuk saya tumpangi. Namun, saya kemudian harus menunggu hingga pukul 16.00 WITA karena kekurangan penumpang. Akhirnya setelah sepakat untuk membayar lebih menutupi kekurangan penumpang, kami pun berangkat menuju Lori.

Waktu di jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 18.05 WITA. Seharusnya, balapan (kapal kecil) yang disewa salah seorang teman yang baru saja saya kenal di taksi, sudah sampai di Lori. Akan tetapi, setelah satu setengah jam menunggu ditemani dingin dan sepi serta angin timur yang berhembus, balapan itu tidak menunjukkan eksistensinya, bahkan suara mesinnya pun tidak ada terdengar. Kemudian saya beserta teman, namanya Pak Jarot, bercerita untuk mengisi kekosongan waktu.

Pak Jarot adalah seorang pedagang dari Jawa Timur yang telah cukup lama menetap di Desa Tanjung Aru, ibukota Kecamatan Tanjung Harapan. Beliau sedang ada urusan di kota dan berkeinginan untuk segera kembali ke Tanjung Aru. Namun tidak ada kapal yang bisa mengangkutnya akibat keterlambatan taksi yang kami tumpangi sehingga beliau harus menyewa balapan dari desa terdekat, desa penempatan saya Bengkallo (Labuangkallo). Nah, saya berkesempatan untuk ikut dengan beliau ke Bengkallo.

Balapan yang sudah dipesan akhirnya datang juga setelah menempuh satu jam perjalanan. Untuk diketahui, jarak tempuh normal Lori-Labuangkallo hanya 30 menit. Akan tetapi, angin yang kencang, tingginya gelombang dan gelapnya malam tanpa cahaya terang bulan menjadikan jarak tempuh bertambah dua kali lipat, 1 jam.

Bukan hanya jarak tempuh yang bertambah, resiko balapan terbalik dihantam ombak juga ada, malahan semakin besar. Dan, basah kuyup diatas balapan merupakan sebuah kepastian. Bapak nelayan pun bertanya sambil memeras bajunya yang basah, apakah perjalanan akan tetap dilanjutkan atau tidak dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi alam serta resiko yang akan dihadapi. Saya menjawab “Pasti dilanjutkan, insyaAllah kita akan selamat karena saya sudah berjanji untuk esok mengajar mereka di sekolah. Mereka juga butuh saya malam ini.

Disamping itu, saya ingin menyaksikan upacara penaikan bendera mereka di Senin pagi”. Sudah rindu rasanya ingin mengajar mereka setelah beberapa hari absen dikarenakan urusan di Tanah Grogot. Dan Pak Jarot pun menyanggupi melintasi laut yang kelihatannya cukup ganas walau dia ragu untuk meneruskan perjalanan hingga Tanjung Aru.

Bersama-sama kami menuruni jembatan untuk menginjakkan kaki di balapan yang akan menghantar kami ke tujuan masing-masing. Saya pun meletakkan barang-barang penting seperti kertas-kertas yang dengan susah payah saya bawa dari Tanah Grogot di bagian depan balapan agar tidak basah diguyur air laut walau saya yakin barang-barang tersebut akan basah dan rusak juga nantinya. Dan perjalanan itu pun dimulai.

Laut ganas pun akan kuseberangi

Saya duduk di bagian depan balapan karena katanya posisi tersebut cukup aman dari guyuran air asin ketika balapan menghantam atau dihantam gelombang. Akan tetapi, hal itu tidak terbukti. Saya pun basah kuyup di 10 menit awal perjalanan. Si bapak yang katanya akan memacu balapan pelan-pelan pun tidak menepati janjinya. Balapan yah balapan, dipacu untuk saling berbalapan.

Tidak ada yang namanya laut tenang ketika kita memilih melintas dengan balapan pada pukul 19.32 WITA. Angin timur menghalau ombak-ombak di lautan menghantam balapan dari sisi kiri. Dan juga jelas terlihat ombak bergulung-gulung di hadapan balapan yang kami tumpangi menanti untuk dipecah.

Air laut nan asin pun mengguyur wajah dan tubuh saya secara merata. Asin memang. Sesekali saya beserta teman senasib seperjuangan harus memindahkan atau menggoyangkan badan ke sisi kiri dan kanan untuk mengembalikan kondisi kapal pada posisi seimbang agar tidak terbalik bahkan tenggelam dihantam ombak. Pernah satu masa, saya hampir terguling ke sisi kanan balapan ketika saya sedang tertunduk merapikan perlengkapan sekolah yang diletakkan di bawah, bagian dalam balapan.

Situasi, yang bagi saya mencekam, berlangsung selama lebih kurang 35 menit. Semua perlengkapan sekolah yang saya bawa, basah diguyur air asin. Kemudian berbagai doa dan permohonan pada Tuhan YME pun disampaikan agar keselamatan terjaga sepanjang perjalanan. Toh, kalaupun hal yang tidak diinginkan terjadi, saya tidak menyesal karena hal ini saya anggap sebagai sesuatu yang benar.

Melihat kondisi lautan yang tidak tenang, Pak Jarot pun memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Tanjung Aru dan beristirahat di desa saya. Akan tetapi, setelah 45 menit berlalu, saya masih belum mampu melihat secercah cahaya yang menunjukkan keberadaan Desa Bengkallo. Untuk diketahui, kondisi yang ada memaksa kami untuk mengambil track yang lebih jauh dari biasanya, menyusuri tepi laut untuk menjaga kestabilan balapan dari gelombang laut. Ketika saya melihat dan menapakkan kaki di desa yang saat ini sangat dirindukan, terucap rasa syukur yang sangat mendalam karena masih diberi kesempatan untuk mengajar di keesokan harinya. Alhamdulillah…

 

P.S. : “Walau harus menghadapi resiko yang cukup besar dengan melintas laut di malam hari di tengah cuaca yang tidak bersahabat, Bapak meyakinkan diri akan tetap berusaha datang ke sekolah kita untuk melihat semangat belajar kalian di keesokan hari karena Bapak yakin bahwa kalian telah berubah menjadi anak dengan semangat dan cita-cita yang membumbung tinggi di angkasa.”

“Di balapan yang bergoncang hebat itu pun Bapak selalu ingat senyuman semangat kalian ketika menyanyikan lagu Aku Bisa bersama-sama, terutama ketika kalian menyanyikan bagian ini: kadang ku takut dan gugup, dan ku merasa oh oh tak sanggup, melihat tantangan di sekitarku, aku merasa tak mampu, namun ku tak mau menyerah, aku tak ingin berputus asa, dengan gagah berani aku melangkah dan berkata Aku Bisa. Bapak banyak belajar dari kalian di malam ini, semangat kalian untuk tetap belajar di tengah keterbatasan dan kesulitan.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua