Aku Anak Pesisir

Andrio 15 November 2011

“Anak pesisir itu tidak bisa diatur, anak pesisir itu pemalas dan suka berbuat onar, anak pesisir itu tidak mengerti tata krama, anak pesisir itu pada bongo (bodoh) semua” sebuah daftar yang sangat panjang untuk disampaikan di tulisan ini. Kalimat-kalimat itu hampir tiap hari saya dengar dan terima ketika berkunjung dari rumah ke rumah, berbicara mengenai anak-anak di Desa Labuangkalo, daerah penempatan saya di Kalimantan Timur.

Namun, sesuai dengan pesan yang disampaikan Bapak Munif pada masa training intensif selama dua bulan bahwa semua anak adalah juara, tidak ada anak yang nakal, saya berusaha untuk mengubah paradigma tersebut bahkan dalam pikiran saya sendiri. Saya meyakini, mereka hanya butuh diperhatikan dan diarahkan, seperti itu.

Dan ketika saya melihat kenyataan di lingkungan sekolah dan kelas di desa ini, pikiran saya pun berkecamuk, membenarkan pernyataan masyarakat dan mempertanyakan pendapat Pak Munif atau sebaliknya. Nampaknya benar mereka bukan para juara, sulit memang untuk dibentuk. Orang tua pun ketika saya kunjungi hanya berpesan “Kalau perlu dipukul, pukul saja Pak. Ndak apa apa. Dia memang nakal. Sama orang tuanya saja melawan.”

Kemudian pikiran saya melanglang buana ke masa lalu ketika masih melaksanakan PPM (Praktek Pengalaman Mengajar) di salah satu sekolah dasar di Cikereteg, Bogor. Mengajar saat itu sangat menyenangkan. Apa pun metoda yang dipraktekkan, dapat diterima dengan baik tanpa perlu berteriak, tanpa perlu mengernyitkan dahi ataupun mengelap keringat. Saking nyamannya suasana belajar mengajar, saya tidak perlu menerapkan aturan kelas karena mereka sudah paham dengan keteraturan. Apalagi dengan testimoni Aji, siswa kelas 3, yang sambil menangis berucap bahwa dia ingin menjadi anak baik, dia bukan anak nakal. Dia menyampaikan hal itu setelah diberi nilai-nilai positif secara kontinu oleh lima Pengajar Muda yang bertugas disana.

SD Kami di Bengkalo

Hal yang sangat kontras saya temukan di Sekolah Dasar Negeri 002 Tanjung Harapan. Ketika memasuki kelas, saya tetap berpikir bahwa para siswa dimanapun adalah anak-anak dan tidak ada anak yang nakal. Semua anak itu pada dasarnya baik. Kalaupun “nakal” masih tetap bisa dibentuk. Akan tetapi, ketika saya mulai mengajar dengan penuh semangat, mereka hanya menanggapi dengan raut wajah tanpa ketertarikan sama sekali.

Saya pun melanjutkan pengajaran dan mereka pun mulai bertingkah. Berikut ini hal-hal yang mereka lakukan di kelas: saling berteriak satu sama lain terutama perempuan, menghentak-hentakkan kaki di kelas ketika berjalan, duduk seperti orang sedang minum kopi di kedai (kaki dinaikkan ke atas bangku), duduk di atas meja, tidak memperhatikan pelajaran, mengejek guru-guru, mengganggu dan memukul temannya, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan sebagainya.

Peraturan kelas khusus pun diterapkan bagi mereka, anak pesisir. Peraturan itu hanya empat poin dan protes pun berdatangan, “Terlalu banyak Pak, pusing kami.” Saya tetap bersikukuh untuk menerapkan keempat aturan itu. Pertama, tidak boleh menaikkan kaki diatas kursi. Sanksi: duduk di “Kursi Duduk Rapi” yang telah dipersiapkan di depan kelas. Jika melakukan kesalahan yang sama sebanyak tiga kali, jam istirahat akan dikurangi 10 menit.

Kedua, tidak boleh menghentak-hentakkan kaki di kelas. Sanksi: harus mengelilingi kelas 3 keliling dengan tenang. Ketiga, harus mengerjakan PR. Keempat, datang ke sekolah tepat waktu. Hanya itu namun terasa berat sekali bagi mereka.

Penerapan Aturan Kelas

Di hari pertama penerapan aturan, satu “Kursi Duduk Rapi” yang saya siapkan di depan kelas ternyata tidak cukup karena rata-rata mereka sudah sangat terbiasa untuk duduk dengan kaki di atas kursi. Dua kursi pun ditambah untuk mengakomodir “ke-hiperaktif-an” mereka. Hal ini berlangsung hampir selama dua minggu. Untuk diketahui, bukan hanya siswa yang dihukum untuk kasus ini, para siswi juga.

Ketika sanksi-sanksi telah dilaksanakan dengan tegas, perubahan kurang saya rasakan. Malah, mereka saling berebut mencari perhatian guru agar bisa didudukkan di kursi-kursi “spesial” itu. Ide-ide pun mulai digali kembali untuk mengatasi keadaan ini.

Dan ketika hampir putus asa menghadapi kondisi ini, saya pun me-recall materi tentang bagaimana menghadapi anak. Teringat tentang cerita “harta karun”, saya pun merubah mindset saya tentang mereka. Memang mereka belum menjadi juara, tetapi saya harus menemukan cara berbeda untuk menjadikan mereka itu yaitu memahami dan mengikuti keseharian mereka serta menggali potensi mereka lebih dalam.

Saya memutuskan untuk berkonfrontasi langsung dengan para siswa, menyampaikan pandangan umum masyarakat dan orang tua terhadap mereka seperti yang saya sampaikan di bagian atas setelah melakukan observasi. Mereka pun tertegun mendengar cerita saya. Dan mata mereka mulai berkaca-kaca ketika saya berbicara (baca: curhat) dengan tatapan yang sangat dalam, memperhatikan mereka satu per satu. Saya menyampaikan kegelisahan yang saya rasakan tentang mereka dan harapan saya sebagai seorang guru. Ceramah ini pun berlangsung selama lebih kurang 2 jam, 4 JP.

Setelah berbicara dari sudut pandang saya terhadap mereka secara keseluruhan, saya melanjutkan dengan mendeskripsikan kelebihan-kelebihan dalam diri mereka -orang per orang- yang dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan potensi diri. “Bapak yakin, positif dikali positif hasilnya akan positif. Pembelajaran Matematika bukan? Ketika Bapak datang ke desa ini jauh jauh dari Pulau Sumatera dengan semangat tinggi untuk mengajari kalian dan kalian pun bersemangat untuk menimba ilmu bersama Bapak, KITA PASTI BISA, apa pun bisa kita lewati. Bahkan Dirgantara (siswa yang paling lemah dalam membaca dan menulis di kelas 6) pun bisa. Bapak jamin itu asal kalian semangat dalam belajar. Namun ketika Bapak bersemangat dan kalian tidak, tidak akan pernah ada hasil positif yang kita dapatkan, pasti. Kalian pilih yang mana? Toh, bagi Bapak tidak masalah kalian pilih yang mana tapi karena Bapak sayang kalian lah, Bapak akan selalu mengingatkan agar tetap bersemangat dalam belajar. Sekarang kita mau apa?” Mereka semua berteriak serempak “Kami mau belajar Pak.” Salah seorang siswi (paling aktif di kelas) kemudian secara spontan memimpin teman-temannya untuk mengucapkan “janji” tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama berulang kali dan akan bersemangat untuk belajar dimana pun.

Di akhir cerita hari itu, saya menyampaikan pada mereka: “Kalian semua adalah anak pesisir. Anak pesisir itu baik dan bisa diatur. Tidak boleh ada orang yang mengatakan hal-hal negatif tentang kita. Kalaupun mereka tetap menyampaikan hal-hal itu, kita akan buktikan bahwa mereka salah. Bapak akan selalu bersama kalian untuk melakukan itu karena saat ini Bapak dengan bangga akan berkata pada setiap orang: Saya adalah guru anak pesisir, Desa Bengkallo. Dan kalian semua adalah bagian dari Laskar Bengkallo, seperti cerita di film Laskar Pelangi itu, film yang kalian suka. Ayo semangaaaaatttt…”


Cerita Lainnya

Lihat Semua