Arti Mimpi Bagi Mereka

Andrio 15 November 2011

“Pak, boleh kah kami anak perempuan bermimpi juga? Nanti kami ditertawakan. Ndak mungkin katanya”, ungkap seorang siswi yang cukup cerdas di kelas 6, Nurdiana, ketika saya bertanya padanya tentang cita-cita dan mimpi di masa depan.

Perkenalan

Di hari pertama mengajar di kelas 6, saya berusaha untuk mendekatkan diri dengan seluruh siswa. Hal ini tentunya dimulai dengan sebuah perkenalan, kegiatan yang saya rasakan terlalu mudah untuk disampaikan di depan kelas. Namun tidak bagi mereka. Mereka sangat malu-malu memperkenalkan diri. Satu kata kemudian tertawa dan begitu seterusnya sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama bagi mereka untuk memperkenalkan diri.

Nah, sampai di satu anak ketika saya bertanya tentang mimpi dan cita-cita, dia seakan ketakutan untuk menjawab. Dengan mata berkaca-kaca, si anak itu pun kemudian menjawab “Pak, saya tidak punya cita-cita. Ndak ada gunanya juga punya cita-cita.” Dia balik bertanya pada saya apakah siswi juga boleh bercita-cita, berceritera tentang mimpi-mimpi mereka karena memang kondisi memaksa mereka mengubur hasrat walau hanya untuk sekedar bermimpi.

Sehingga di hari itu, perkenalan tentang cita-cita hanya dipenuhi dengan kata-kata: pemain bola, badminton, voli dan polisi. Dari 10 siswa yang hadir di hari perkenalan itu, ada enam anak yang bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis, dua anak memilih pemain sepak bola, satu anak pemain voli dan satu lainnya memilih menjadi polisi. Tidak terpikir cita-cita yang lain karena memang kondisi geografis dan sosiologis lah yang membentuk pola pikir mereka saat ini. Dan untuk menjadi pemain bola kaki, badminton, atau voli tidak diharuskan memiliki pendidikan tinggi, tidak sekolah pun bisa asal pandai dan mahir.

Saya pun mulai bercerita tentang berbagai pekerjaan yang ada di “dunia lain” di seberang sana. Dan mereka pun langsung menimpali penjelasan saya, “Bapak, mereka kan ndak tinggal disini memang, ia lah mereka bisa.” Saya pun tertegun, tidak mempertimbangkan kondisi mereka di desa ini ketika menjelaskan tentang mimpi dan cita-cita, mereka membutuhkan contoh kongkrit untuk dijadikan panutan. Di samping itu, mereka malu memiliki mimpi karena akan ditertawakan, “Tidak mungkin itu je Pak, ditertawakan saya.”

Cerita si Katak Kecil

“Pernah dengar cerita tentang si katak kecil?”, saya bertanya pada mereka. Dan mereka pun serempak menjawab, “Belum je Pak. Cerita kan Pak.” Cerita pun dimulai, “Pada suatu hari ada sekumpulan katak-katak kecil yang sedang berlomba mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi. Ada banyak penonton disana. Ada yang memberikan semangat namun ketika satu per satu katak kecil tidak mampu lagi berlari, para penonton pun mulai berteriak pesimis, ‘Tidak ada kesempatan untuk berhasil, menaranya terlalu tinggi. Tidak akan bisa itu sampai ke puncak.’

“Katak-katak kecil pun mulai berjatuhan satu per satu kecuali bagi mereka yang tetap bersemangat mencapai tujuan dan mimpi yang mereka cita-citakan. Sorakan pesimis tetap terdengar sepanjang perlombaan. Namun, ada satu katak yang akhirnya mampu mencapai puncak, Dia Berhasil. Semua katak pun bertanya, bagaimana dia bisa berhasil mencapai puncak sementara katak lain berguguran. Dan ternyata, katak yang menjadi pemenang itu TULI.”

“Anak-anak, biarkan lah banyak orang yang menertawakan mimpi-mimpi kalian. Yang perlu kalian lakukan saat ini adalah menjadi ‘tuli’ terhadap kata-kata negatif yang mereka sampaikan. Mereka ndak tau siapa kita, mereka tidak bisa menakar tingginya semangat kita. Kita lah yang mengatur masa depan kita, bukan mereka. Ingat, masa depan kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan di masa kini. Belajar yang rajin hari ini, InsyaAllah kita bersama akan menuai hasil positif di kemudian hari.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua