Di Dapur, Dia Jagonya!

Andita Destiarini Hadi 21 Januari 2012

 

Sudah 7 bulan aku menjadi seorang pengajar di salah satu sekolah dasar di wilayah selatan Indonesia, yaitu SD Inpres Batula, Rote Timur. Bermacam-macam tingkah laku, watak, kebiasaan dan celotehan anak-anak yang telah aku temukan di sekolah yang berada di depan pantai ini. Muridku dalam 1 sekolah berjumlah 138 orang dan banyak dari mereka yang dijuluki “anak nakal” oleh berbagai pihak. Namun, karena adanya julukan itu membuat aku semakin yakin bahwa anak itu pasti memiliki kecerdasan tertentu, seperti yang pernah dikatakan Bapak Munif Khatib pengarang buku Sekolahnya Manusia, “ Tidak ada manusia yang bodoh di dunia ini” , dengan kata lain setiap manusia memiliki kecerdasannya masing-masing. Hanya saja banyak orang di dunia ini yang belum menemukan kecerdasannya. Murid-muridku yang telah mendapatkan predikit sebagai “anak nakal” sebagian besar merupakan anak laki-laki.  Julukan “anak nakal” sering kali diikuti dengan “bodok” atau “bodoh” (dalam bahasa Indonesia). Huh, sangat disayangkan jukukan itu.......

Salah satu muridku, Frangki Junus namanya. Duduk di bangku kelas 4. Usianya 12 tahun, seharusnya dia berada di kelas 6, tetapi dia pernah tinggal kelas 2 kali dan membaca pun dia belum lancar. Anak ini salah satu anak yang mendapatkan julukan “anak nakal”. Ya memang selama ini aku mengajarnya, indikasi sebagai anak nakal memang muncul. Kebiasaannya yang sering ijin ke kamar kecil ketika jam pelajaran, memukul anak perempuan tiba-tiba, mencuri pisang, sering berteriak-teriak di dalam kelas, tidak mau mengerjakan tugas dan berkelahi dengan teman-temannya, membuat aku berpikir memang anak ini “spesial”. Untuk mengendalikan emosiku ketika dia mulai berulah, aku selalu berpikir bahwa dia hanya ingin diperhatikan lebiha daripada kawan-kawannya yang lain. Dan akhirnya pada suatu hari aku melihat kecerdasan yang dimiliki Frangki. Ketika pelajaran SBK (Seni Budaya dan Keterampilan), aku memberikan materi mengenai mewarnai menggunakan cat poster. Dari seluruh murid kelas 4, hanya Frangki yang berani bermain warna dalam artian berani mencampurkan warna dan memberikan sedikit corak garis-garis yang tentunya menjadi sangat berbeda dari pada karya murid kelas 4 yang lainnya. Bahkan ide mewarnainya itu, mungkin tidak muncul dalam benak teman-temannya yang lain.

Di suatu hari yang cerah, tepatnya hari Jum’at, anak-anak kelas 4 menjalankan ujian praktek muatan lokal (mulok) semester ganjil. Mereka ujian memasak nasi, mie dan telur. Mungkin bagi orang dewasa, sangat mudah membuat menu makanan tersebut, tetapi cukup sulit bagi anak kelas 4 SD. Selain membuatnya, makanan yang sudah jadi harus diatur dengan rapi diatas meja beserta perlengkapan makan dan hiasannya. Saat praktek inilah, aku melihat hal yang tak biasa. Frangki, si “anak spesial” ini, dengan mudahnya memasak nasi, membolak-balik telur mata sapi di atas wajan, tidak kaku sama sekali. Bahkan tampilan makanan hasil jerih payah Frangki, cukup menarik.  Berbeda dengan anak lainnya, masih kesulitan memilih beras (menapis beras), membalikan telur, bahkan mereka masih kebingungan mengatur makanan dalam piring. Salah satu anak perempuan berkata kepada Frangki: “Frangki, lu kerja dulu beta pung telur!” (Frangki, tolong kerjakan telur saya). Sungguh Frangki luar biasa. Ketika aku sampaikan kejadian ini kepada salah seorang guru, guru itu pun tak heran lagi. Kelebihan Frangki muncul, setelah ia ditinggalkan ibunya beberapa tahun lalu. Tak ada sosok seorang ibu di rumah, Ayah yang sibuk bekerja di kebun dan menjadi anak sulung maka tak ada pilihan lain, dia harus bisa menggantikan pekerjaan ibunya, yaitu memasak. Tak seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya yang enggan masuk dapur, Frangki sudah biasa bergulat dengan wajan, kompor dkk.  Anak yang dicap “anak nakal” itu ternyata “juara dapur”. Hal inilah yang membuat saya yakin tak ada anak yang bodoh. Semua anak pasti cerdas....


Cerita Lainnya

Lihat Semua