Kerja Bakti Untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Amalia Fitri Ghaniem 17 Februari 2014

Hari jumat lalu (Desember 2013) , ketika saya pulang dari sekolah, saya melihat suasana yang bersemangat. Penduduk desa Modosinal sedang berkumpul di bangunan gereja lama. Mereka sedang memperbaiki ruangan kosong tersebut agar bisa dijadikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK). Rencana pembuatan PAUD memang sudah menjadi sebuah wacana dari tahun lalu, namun baru akan direalisasikan sekarang. Aktor yang membuat ini terjadi adalah Bapak Markus Modok, yang merupakan kepala suku dan saat ini sedang menjabat sebagai sekretaris desa sementara. Bapak markus yang akrab dipanggil Ba’i Ma’u ini, dulu pun pernah menjabat sebagai kepala desa selama 2 periode dan sampai saat ini pun masih menjadi tokoh yang dituakan di desa. Dia salah satu penggerak di Desa Modosinal.

Jangan tunggu ini tunggu itu, kita buat saja langsung PAUD dan TK, baru kita urus dan meminta dana, jika memang sudah ada bukti kalau desa ini mempunyai PAUD dan TK”, begitu kata Ba’i Ma’u dalam suatu pertemuan di desa. Ya, setelah 2 minggu ide itu dicetuskan, bangunan kosong di sebelah gereja pun langsung diperbaiki. Ba’i Ma’u memanggil seluruh penduduk Desa Modosinal untuk gotong royong memperbaiki rumah kayu itu. Itulah susana bersemangat yang saya lihat ketika saya pulang dari sekolah. Kebetulan rumah kosong itu tepat ada di depan rumah yang saya tinggali di desa. Melihat ini saya pun tergerak ingin turut membantu. Setelah menyimpan barang-barang dan ganti baju, saya dan adik saya langsung pergi ke sana untuk melihat apa yang dibantu. Walaupun pada awalnya mereka tidak enak memberi saya pekerjaan karena ini merupakan kerja kasar, tapi tidak beberapa lama kemudian, akhirnya saya bisa mencari-cari pekerjaan yang bisa saya bantu dan sesuai kemampuan saya. Ditengah-tengah gerimis dan lumpur, bekerja kasar bersama mereka, benar-benar menjadi pengalaman yang berkesan buat saya. Melihat begitu banyak orang yang sukarela gotong royong untuk memperbaiki ruangan ini. Bahkan anak-anak pun ikut membantu sebisa mereka.

Salah satu perkataan mereka yang benar-benar masih saya ingat adalah perkaatan “Ini bukan guru, tapi ini masyarakat. Kalau guru hanya duduk di rumah sa, son mau ikut kotor-kotor”. Walaupun saya senang karena merasa sudah diterima menjadi bagian dari masyarakat, namun hal ini juga membuka pandangan baru buat saya mengenai penilaian masyarakat pada umumnya terhadap guru. Berarti masih dibutuhkan wadah dimana guru dan masyarakat bisa bekerja bersama-sama sehingga pandangan ini bisa berubah.

Kejadian gotong royong ini membuat mata saya terbuka bahwa memang masih ada orang-orang peduli di desa saya. Mungkin awalnya saya saja yang terlalu pesimis sama mereka, namun kejadian ini membangkitkan lagi semangat dan harapan saya. Yang mereka butuhkan adalah sosok pemimpin atau pendorong yang bisa menyalurkan rasa kepedulian mereka. Ini mengingatkan saya bahwa saya masih harus banyak menggali orang lokal yang bisa melakukan tugas ini selain Ba’i Mau, mengingat Ba’i Mau sudah tua apalagi kondisi saat ini beliau sedang menemani istrinya berobat di Bali karena istrinya di diagnosa ada tumor di paru-parunya.

Harapan saya semoga pembangunan PAUD/TK ini tidak hanya jalan ketika ada Ba’i Mau, namun akan ada tokoh-tokoh penggerak lokal lainnya yang juga bisa mengajak masyarakat bisa memperjuangkan hal ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua