Menangis karena Meja Kecil
Alfhiranissa Effendi 7 Januari 2025Apa yang terbesit di pikiranmu ketika dipisahkan sendirian diantara perkumpulan? Pasti ada hati kecil yang menciut dan berlirih jika memang ku berbeda apa perlu diperlakukan segininya?
Hai salam kenal aku Fhira Pengajar Muda angkatan 27 yang ditakdirkan untuk menyelam di Desa Peana, Kabupaten Sigi selama satu tahun kedepan. Kondisi mayoritas agama Desa Peana Adalah 99,99% Kristen Protestan, yang awalnya membuatku khawatir, tidak bisa melebur dengan masyarakat karena perbedaan kepercayaan. Tibalah di Bulan Desember, satu bulan penuh kegiatan Ibadah. Masyarakat yang sangat taat pada Tuhan, Masyarakat Desa Peana hampir setiap hari pergi ibadah. Mulai dari ibadah Lansia, kelompok (tiap RT), GPS (Anak Muda), Sekolah Minggu, Ibadah Akhir, dan Awal Tahun.
Setiap waktu Ibadah, seluruh masyarakat desa mengosongkan rumah dan berbondong-bondong memilih tempat duduk di gereja, salah satunya adalah aku. Selama Bulan Desember ku sibuk memenuhi undangan Ibadah Natal. Keseringan terlibat didalamnya, membuat ku hapal susunan acara hingga bagian yang paling ditunggu adalah jamuan kasih.
Khusus tamu undangan jamuan kasih di hidangkan diatas meja panjang dihiasi nasi, berbagai jenis daging,sayur, terkadang ada buah dan cemilan. Ketika hendak mengambil piring tiba-tiba ada seseorang yang menghentikan gerakan ku dan mengatakan aku tidak boleh mengambil disini. Belum sempat bertanya, Bapak itu mengarahkanku ke meja lain. Meja kecil yang dihiasi alat makan dan makanan serupa namun dengan versi variasi daging hanya satu jenis saja. Tertegun melihat apa yang terjadi, tidak sadar bapak yang mengarahkanku sudah menyodorkan piring ke tanganku.
"Ini sayur (teman nasi) untuk Ibu semua, jangan disana ya Bu (menunjuk meja besar). Soalnya disana ada daging Babi dan Rw (daging anjing). Kami khawatir tercampur dan Ibu Guru tidak bisa menikmati makanan karena daging tersebut." Terkesima mendengar penjelasan bapaknya, ku segera menerima piring yang diberi oleh Bapak tersebut.
" Oh Iya Bu Guru, jangan khawatir alat makannya ya. Kami siapkan secara terpisah, piring dan sendok ini tidak pernah kami keluarkan kecuali ada tamu kami yang beragama islam. Mendengar perkataan bapaknya membuatku reflek menundukan kepala, menyembunyikan air mataku yang mulai menggenang."selamat menikmati Ibu, maaf hanya ini yang bisa kami suguhkan."
Sirnalah kekhawatiran ku, karena perlakuan sederhana yang kupikir tidak semua orang dapat melakukan itu. Benar perkataan Bapak Kapten Indra (Pendeta Bala Keselamatan Dusun Ntenunu) , Masyarakat Desa Peana pemilik jiwa toleransi yang tinggi. Meski kita pendatang, mereka tahu cara memperlakukan seseorang dengan baik tanpa memandang siapa, dari mana, dan bagaimana orang itu berasal. Ku melihat itu dan aku menyetujuinya.
"perbedaan keyakinan bukanlah penghalang kita untuk hidup bersama. Keyakinan boleh saja berbeda, namun karena kita sesama manusia yang di ciptakan Tuhan Yang Maha Esa, mari saling menyayangi dan menjaga hubungan." - Gadis Kota Hujan-
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda