Belajar dari Kesederhanaan di Dorole’de

Ajeng Septiana Widianingrum 4 Maret 2015

Saya ditugaskan di SDN 01 Labuan Kananga, di Desa Labuan Kananga. Saya menghabiskan sebagian besar waktu dan beraktivas di desa ini, baik mengajar, belajar, bermain bersama, maupun bercengkerama bersama warga atau keluarga di rumah. Desa Labuan Kananga merupakan desa pusat kecamatan di Tambora, memiliki letak yang strategis, berada di wilayah pesisir, dengan akses jalan yang cukup baik, kondisi air dan listrik cukup baik, sinyal telekomunikasi yang jarang bermasalah, dibandingkan keterbatasannya, segala sesuatu yang ada di desa ini sudah cukup baik, menurut saya.

Selain mengajar di SD induk SDN 01 Labuan Kananga, saya mengajar juga di kelas jauh yang terletak jauh di gunung. Kelas jauh kami terletak di Satuan Pemukiman (SP) 6, dusun Dorole’de merupakan kawasan transmigrasi yang rata-rata berasal dari Lombok dan Bali. Kondisi di Dusun Dorole’de sangat jauh berbeda dengan kondisi di pusat desa. Dorole’de berada jauh di atas gunung, di tengah hutan, jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, akses jalan di Dorole’de rusak bahkan sejak memasuki kawasan transmigrasi ini. Sinyal telepon pun naik turun tidak menentu, jika beruntung sinyal telepon bisa didapat di beberapa tempat tertentu. Listrik belum masuk ke dusun ini. Untuk kebutuhan listrik sehari-hari warga memanfaatkan tenaga matahari, yang merupakan bantuan dari Kemetrian Transmigrasi. Beberapa warga yang lebih stabil kondisi ekonominya memiliki genset untuk penerangan di malam hari.

Anak-anak di Dorole’de memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap kemajuan teknologi terkini. Mereka hanya dapat melihat televisi dari jam 19.00 sampai jam 21.00 WITA, sesuai dengan jadwal menyalanya genset. Televisi hanya dimiliki oleh 2 orang warga, sehingga warga lain berbondong-bondong untuk melihat televisi bersama-sama. Jadi itulah mengapa beberapa sinetron yang diputar pada jam tersebut sangat populer di kalangan anak-anak pelosok disini. Bagaimana sosok sosok yang dihadirkan dalam tayangan yang mereka lihat memberikan kesan yang mendalam untuk mereka. Betapa mereka mengagumi tokoh tokoh tertentu yang mereka anggap hebat dalam sinetron tersebut. Hal itu dikarenakan mereka hanya bisa melihat tokoh-tokoh itu dalam tayangan televisi yang bisa mereka akses dengan waktu yang terbatas.

Anak-anak Dorole’de dibesarkan oleh alam, mereka sangat bersahabat dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Dan hal inilah yang membuat mereka berbeda. Mereka justru kuat dari apa yang dinilai sebagai kekurangan mereka. Mereka kreatif dari keterbatasan yang selama ini melingkari mereka. Mereka terampil memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar mereka. Mereka tidak menuntut untuk diajak bermain di tempat-tempat hiburan terbaru yang sedang ramai dikunjungi. Mereka hanya akan merengek minta Ibu Guru ikut bermain di sungai bersama mereka. Mereka ingin ditemani Ibu Guru ketika mereka bermain tapak galah atau petak umpet. Mereka sudah dapat tertawa bahagia hanya dengan bermain cikar bekas. Mereka bahkan dapat keluar kelas dan mengagumi kemegahan truk yang lewat di sebelah kelas kami.

Tapi jangan salahkan mereka terlalu pemalu. Ya, mereka sangat pemalu. Kadang mereka sangat ingin berbagi cerita kepada dunia, tapi mereka terlalu pemalu dan mereka bingung bagaimana caranya menyampaikan kepada dunia, mereka hanya tidak tahu bagaimana caranya.

Nak, disini Ibu lah yang banyak belajar dari kalian. Ibu belajar bagaimana caranya tetap semangat mengejar cita-cita dari semangat kalian untuk belajar. Ibu belajar bagaimana tidak merutuki nasib buruk dan tetap bertahan dengan segala yang ada. Ibu belajar dari kalian bagaimana caranya mensyukuri setiap kesempatan yang didapat. Belajar untuk mencintai dan mengembalikan segala sesuatu kepada alam. Dari kalian Ibu belajar bagaimana memutarbalikkan keterbatasan menjadi kesempatan. Terimakasih, Nak. Kalian mengajarkan banyak hal kepada Ibu. Tetaplah jadi anak yang rendah hati yah anak-anakku, mutiara terpendam dari Dorole’de.


Cerita Lainnya

Lihat Semua