Teras Baca dan Ruang Pintar Panamboang : Say No to Information Poverty (1)

Aisy Ilfiyah 27 Juli 2011
Dulu, ketika kuliah, ada tiga mata kuliah yang menjadi favorit saya : (1) Informasi dan Masyarakat; (2) Literasi Informasi; (3) Masalah Minat Baca Masyarakat. Ntah kenapa, saya begitu tertarik dan ‘gandrung’ dengan ketiga mata kuliah itu. Bahkan, untuk mata kuliah Masalah Minat Baca Masyarakat, saya pernah dua kali mengambilnya di semester yang berbeda (upz,, bukan karena mengulang lantaran nggak lulus lho...). Ada beberapa hal yang begitu ‘mengena’ dari mata kuliah itu yang tentunya berkaitan langsung dengan kondisi yang ada di lingkungan saya saat ini. Ya,, information poverty. Digambarkan, information poverty merupakan kondisi dimana masyarakat kurang sekali dengan keberadaan suatu sumber informasi. Orang-orang yang berada dalam lingkungan information poverty tidak mengetahui saluran informasi formal yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Mereka tidak banyak membaca buku. Sebagian besar tidak sadar bahwa permasalahan mereka sebenarnya adalah kebutuhan informasi (information need). Mereka jarang mengakses informasi secara aktif, melainkan hanya tergantung pada saluran informasi non-formal yang tersedia di sekitar komunitas sosial mereka. Dan sekarang, apa yang saya hadapi adalah wujud nyata dari information poverty itu. Saya tinggal di Desa Panamboang, sebuah desa terpencil di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Sebagian besar masyarakat banyak yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Sedangkan untuk usia sekolah menengah (SMP-SMA), hanya bisa ditemui segelintir anak yang hampir setiap pagi memakai seragam sekolah. Bagaimana dengan anak usia SD??? Syukurlah, paling tidak jumlahnya lebih banyak dibanding jenjang sekolah diatasnya. Beberapa minggu awal berada di tengah-tengah masyarakat disini, saya merasa kesulitan untuk menemukan teman yang seusia. Paling tidak, kurang lebih 1-2 tahun dari saya. Ternyata, yang seusia dengan saya justru sangat banyak, namun mereka telah menikah dan memiliki 3 anak. Ha??????? Bagaimana tidak, tidak banyak anak yang melanjutkan sekolah ke SMP atau SMA, apalagi perguruan tinggi. Selepas SD, mereka menikah dan berkeluarga. Kalau begini terus, di desa ini nggak bakalan ada yang bisa melakukan “sesuatu yang lebih” dari apa yang mereka bisa lakukan sekarang. Saya, seorang guru SD. Saya memiliki keinginan yang besar agar tidak ada satupun anak didik saya yang mengalami hal seperti itu. Paling tidak, selepas SD, mereka harus melanjutkan SMP. Sebenarnya, tak jauh dari desa ini terdapat SMP. Hingga sekarang, sekolah itu masih berjalan. Lantas, apa yang harus saya lakukan??? Sempat berpusing-pusing sementara, akhirnya saya menemukan ide. Anak-anak harus mengenal pentingnya pendidikan bagi mereka. Dengan cara?? Mereka harus “dipaksa” senang belajar (baca: membaca buku) sejak dini. Meskipun mereka sekolah, namun mereka tak kenal belajar. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa sekolah disini (baik SD maupun SMP), semuanya telah mengikuti kurikulum terbaru dari pemerintah yaitu KTSP, dan mereka diwajibkan pula untuk menyelenggarakan UASBN atau UN untuk ujian kelulusan di masing-masing jenjang. Namun, mereka (anak-anak ; siswa) masih asing dengan membaca, mengerjakan tugas, PR, dan segala yang berkaitan dengan kegiatan siswa lainnya. Mereka tak memiliki buku pelajaran, mereka hanya memiliki buku tulis. Dan itupun tak semua siswa menulis setiap harinya. Bagaimana mereka bisa menyukai belajar??? Dua minggu pertama, hampir setiap malam saya aktif baronda (jalan-jalan) keliling kampung. Tujuannya, melihat apa yang dilakukan anak-anak didik saya. Dan,, sudah bisa diduga. Mereka telah duduk rapi di depan televisi. Lebih tepatnya, mantengin sinetron. Mereka lebih akrab dengan benda bernama televisi daripada buku. Meskipun desa terpencil, hampir setiap rumah telah memiliki televisi (saya juga sempat kaget...). Bandingkan dengan buku, tak ada satupun siswa yang memiliki buku pelajaran. Saluran informasi non-formal (televisi) telah menjadi langganan anak-anak untuk menyerap informasi yang (menurut saya) tak memberi pengaruh positif bagi mereka. Saya yakin, tak ada bimbingan orang tua pada setiap acara yang mereka tonton. Apalagi, yang ditonton adalah sinetron. Anak-anak (disini) dipaksa untuk akrab dengan media bernama televisi tanpa didahului dengan kemampuan membaca dan menyerap ilmu pengetahuan. Dengan begitu, mereka tak memiliki referensi bandingan dalam setiap informasi yang mereka terima. Fakta yang membuat saya miris mengetahuinya. Kata “bajingan” ternyata dimaknai sebagai “Orang keren”. Mereka bergaya dengan menyibak rambut, sembari berucap, “Liat,, aku bajingan”. Bagaimana bisa??? Yup, hasil konstruksi mereka terhadap tayangan sinetron. Kata “bajingan” seringkali terlontar di adegan-adegan sinetron. Mereka belum tau apa arti kata itu sebenarnya. Yang mereka lihat, hanya performansi dari orang yang disebut sebagai bajingan. Ganteng, keren, dan menarik. Alhasil, menurut mereka, “bajingan” adalah orang keren. Dan mereka bangga setiap kali berucap dan pamer bahwa mereka “bajingan”. Tragis. Bagi orang yang berada pada kondisi Information poverty, saluran informasi non-formal memang menjadi segala-galanya. Dan,, di lingkungan saya saat ini, kondisi itu tidak hanya menjangkit usia menengah, namun juga telah memangsa anak-anak untuk menjadi korban. Mereka harus diselamatkan, sebelum semuanya terlambat. Mereka harus mengenal apa itu belajar untuk kemudian menyukainya, dan menjadikannya sebagai aktivitas wajibnya. Mereka harus memiliki banyak sumber informasi untuk muatan kognisi mereka. Dengan cara apa?? saya ingin mengajak mereka mengenal buku (baca: buku pelajaran). Mereka harus mengetahui cara memanfaatkan buku, dan merasakan apa yang bisa mereka peroleh dari aktivitas membaca buku. Minggu ketiga, saya mulai berkampanye pada beberapa anak agar mau datang ke rumah saya setiap malam selepas maghrib. Saya suguhi mereka dengan berbagai macam buku bergambar yang menarik. Awalnya mereka memang ragu. Mungkin ini benar-benar hal baru bagi mereka. Atau mungkin, mereka belum percaya pada saya. Meskipun begitu, lambat-laun mereka menjadi terbiasa. Selepas maghrib, selama 2 jam mereka membaca buku di teras rumah saya. Durasi yang cukup lama, mengingat ini sebuah pilot project. Saya memang hendak menjadikan mereka sebagai role model untuk kesuksesan kampanye “membaca buku” yang saya lakukan. Hasilnya,, lambat laun, anak-anak yang lain juga berdatangan ke teras saya dan melakukan hal yang sama. Mereka membaca buku. Ya,, mereka membaca buku. Sebuah aktivitas yang baru bagi mereka. Paling tidak, mereka telah membaca buku selain buku tulis yang mereka miliki (Itupun jika mereka memang memiliki catatan di buku tulis dan mau membacanya). Sekarang, anak-anak telah memiliki sebuah tempat mangkal untuk membaca. Tempat itu bernama “Teras Baca Anak Panamboang”. Teras Baca pun mulai tumbuh dan berkembang. Setiap hari, telah lebih dari 30 anak yang selalu siap menunggu buku yang saya keluarkan dari kamar saya. Bahkan, anak-anak pun telah memiliki kartu anggota. Mereka senang, mungkin itu menjadi kartu identitas pertama yang mereka miliki dan mereka pegang sendiri. Dengan membaca buku setiap malam, paling tidak jadwal rutin mereka untuk menonton sinetron pada jam-jam itu, bisa dialihkan pada kegiatan yang lebih bermanfaat. Teras baca mulai dibuka pukul 07.30 WIT, dan ditutup pukul 09.30 WIT setiap harinya. Bahkan, kadang anak-anak tidak bersedia pulang meskipun saya sudah memerintahkan mereka pulang karena sudah malam dan teras baca harus segera ditutup. Alasannya, karena buku yang mereka baca sangat seru, dan sayang kalau tidak diselesaikan saat itu juga. Sengaja pula saya tidak akan mengizinkan anak-anak membawa buku ke rumah. Alasannya, karena buku yang ada sangat terbatas, yang jika hilang belum ada gantinya. Selain itu, saya ingin menarik perhatian mereka untuk kembali datang pada keesokan harinya demi menyelesaikan buku yang dibacanya. Dari awalnya hanya kegiatan membaca, akhirnya saya kembangkan kedalam beberapa kegiatan lain, seperti mengerjakan soal-soal sederhana, belajar menulis puisi, membuat karangan sederhana, dan lain-lain. Dan,, mereka bersedia melakukan semuanya dengan senang hati. Sekarang, teras baca tak hanya menarik minat anak didik saya di SD, namun juga segelintir  anak SMP (hanya sedikit anak yang melanjutkkan ke SMP) yang juga rutin datang ke teras baca. Tak hanya itu, yang membuat saya lebih takjub, mereka pun bersedia menunggu. Bahkan ketika saya harus menginap di kota untuk beberapa kegiatan, mereka tetap datang. Mereka rindu membaca, mereka rindu belajar. Saya hanya bisa berharap, kondisi ini tetap bisa dipertahankan, ntah sampai kapan. Harapan itu begitu besar, harapan untuk menyelamatkan anak-anak dari information poverty. Saya yakin, mereka bisa. (Panamboang, 25 April 2011, catatan lama yang gak sempat2 d’upload dan bertapa d’laptop selama berbulan-bulan, karena penulisnya mempunyai alasan klasik, malas upload)

Cerita Lainnya

Lihat Semua