info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Anak itu bernama Rijin

Aisy Ilfiyah 24 Januari 2011
Pulang dari kantor Dinas Pendidikan pukul 6 sore. Mandi, sholat dan bersiap untuk menjadi teman belajar anak-anak di rumah. Disini, seperti biasa, anak-anak datang ke rumah untuk belajar pada malam hari. Ada yang bertanya tentang materi sekolah, membaca komik kuark, hingga belajar mengenal huruf. Belum lama kegiatan ini berlangsung, tiba-tiba aku dikagetkan dengan pemandangan dramatis. Rijin (6 tahun), cucu kepala dusunku tiba-tiba datang, mendekatiku, kemudian menunjukkan luka di sekujur tubuhnya. Astaghfirulllah..... ini luka atau body painting?. Luka dramatis itu pun tiba-tiba menghebohkan anak-anak yang lain. Aku tak tahan melihat luka yang ‘segitunya’ di depan mataku. Untunglah, IM membekali para pengajar muda dengan pengetahuan tentang PMI dan P3K. Aku bergegas ke kamar untuk mengambil kotak P3K. Tiba-tiba, Upz....aku teringat sesuatu. Naluriku sebagai ‘penggila dokumentasi’ mulai beraksi. Kenapa tidak aku ambil gambar dulu luka-luka di tubuh Rijin?. Aku bisa menunjukkan ke teman-teman jika kami berkumpul nantinya. Mereka harus tau bagaimana kekerasan itu memang merajalela di sekitar kita. Aku merayu Rijin untuk mau kuajak masuk ke dalam kamarku. Tak mungkin aku memotret luka Rijin di depan banyak orang. Tanpa ada perlawanan, ditambah dengan keheranan banyak mata, Rijin masuk ke kamarku dan aku menguncinya. Aku menyuruhnya membuka baju sampai batas leher. WOW.... luka yang cukup hebat. Mungkin jika dilaporkan ke KPAI, masalah ini akan panjang buntutnya. Tapi, KPAI dari Hongkong? Ini Halmahera, bukan Jakarta. Aku mengambil gambar dengan obyek luka Rijin hingga beberapa kali. Merasa cukup, aku bergegas membawa Rijin keluar dengan membawa kotak P3K. Aku mengobati lukanya dengan Revanol sebagai pembersih luka dan betadine untuk obat luka baru. Rijin hanya diam dan menurut tiap kali aku membersihkan lukanya. Aku tau kalau dia sedang kesakitan. Luka baru seperti itu akan terasa perih ketika dibersihkan atau ditetesi betadine. Namun, Rijin tak bereaksi apa-apa. Ekspresinya datar. Sepertinya, dia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Ya Allah, anak sekecil ini diperlakukan seperti binatang peliharaan oleh orang tuanya. Sumpah, gila bukan main. Suasana semakin ramai tatkala semua anak binaanku tak lagi fokus membaca bukunya. Mereka serentak mengerubungiku yang tengah mengobati luka Rijin. Mereka berkomentar dan berceloteh berbagai macam ocehan. Lebih dramatis lagi, tiba-tiba mama piaraku (baca: orang tua asuh) mendatangi rumah orang tua Rijin dan memarahinya. WOW..... bagaimana ini??????? Kok jadi gini?????. Tak berhenti sampai disitu, tiba-tiba para tetangga pun berbondong-bondong mendatangi teras rumahku. Sempat aku mendengar, salah satu tetangga berinisiatif untuk lapor polisi. Dan ide itu didukung oleh sahutan tetangga yang lain. Ha????????????? Yang bener aja???? Selesai mengobati semua luka Rijin, aku duduk dan mengajaknya berbicara. Aku tanyakan padanya, kenapa ia bisa dipukuli, apa yang dia lakukan, ia dipukul dengan apa, kapan ia dipukuli, dsb. Ternyata, Rijin dipukuli orangtuanya karena ia membantah perkataan mereka tadi sore. Ia dipukul dengan batang pohon lemon beduri. Saat dipukuli, Rijin tak memakai baju. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jeritan dan teriakan Rijin saat itu. Malam makin larut, namun Rijin sepertinya tak ingin pulang. Ia tetap duduk tenang di sampingku. Apalagi ketika para tetangga nyeletuk menyarankan aku untuk membawa Rijin ke Jawa jika aku pulang nanti. Jangan-jangan anak ini merasa nyaman dan tak mau aku tinggalkan. Duh,, gimana ya??? Ribet juga jadinya. Baru pada tengah malamnya, pukul 00.30 WIT, nenek Rijin datang untuk menjemputnya. Itupun Rijin masih sempat menatapku cukup lama, seolah-olah ia tidak mau meninggalkanku. Aku hanya bisa memberinya senyum dan berpesan padanya untuk segera tidur kalau ia sudah sampai di rumahnya nanti. Selamat malam Rijin... Esoknya, sepulang sekolah.... Seperti biasa, aku pulang dari sekolah pukul 1 siang. Aku berjalan dengan sedikit tergesa. Selain panas bukan main, juga karena perut manusiaku sudah meronta minta segera diisi. Sesampai di rumah, aku terkaget, ternyata ada senyuman yang menyambut kedatanganku di pojok teras rumah. Ya, itu adalah senyum Rijin. Berdasarkan informasi yang aku dapat dari orang rumah, Rijin telah menungguku sejak pukul 10 tadi pagi. Allahu Rabbi.... benar juga, Rijin kelas 1, jam pelajarannya hanya sampai jam 10. Begitu melihat kedatanganku, Rijin mendekat dan berucap “Ibu,,,,”. Hanya kata itu, satu kata dan tak lebih. Setelah itu, ia berlari ke arah rumahnya. Meskipun hanya satu kata, namun aku paham apa yang ingin dikatakan Rijin sebenarnya. Aku sempat melihat mata dan sunggingan senyumnya yang mampu menyiratkan banyak hal. Rijin mungkin ingin mengucapkan terima kasih padaku, atau mungkin ingin agar aku mau berteman dengannya. Paling tidak, untuk sementara, aku anggap aku bisa menjadi pembelanya. Esoknya, pagi hari... Apel pagi dimulai pukul 07.15, dan hampir setiap hari pula aku menjadi single fighter. Agar tidak terlambat, maka aku berangkat sebelum pukul 7 dari rumah, dan sampai di sekolah biasanya pukul 07.05. Sesampai di pintu masuk area sekolah, kembali aku dikejutkan dengan senyum yang sama. Senyum tulus anak ‘nakal nan malang’ bernama Rijin. ia menungguku di tempat itu. Dan, apa yang diucapkannya pun tak berubah. Hanya satu kata. “Ibu.....” Namun, kali ini ia tak langsung berlari seperti kemarin. Rijin menggenggam tanganku dan mengajakku untuk segera masuk ke sekolah. Ha?????????????? Aku hanya bisa melongo tanpa bisa menolak apa yang dilakukannya padaku. Setiap hari di pintu masuk sekolah...... Rijin tetap menungguku untuk sekedar menyapa dan mengajakku masuk ke sekolah. Ia memilih untuk menunggu di pintu masuk area sekolah sebelum melihatku hadir disana. Dan, itulah yang aku alami setiap harinya disini....... Rijin,, I Luv U....

Panamboang, 10 Desember 2010


Cerita Lainnya

Lihat Semua