Belajar ke‘sederhana’an dengan cara ‘sederhana’

Aisy Ilfiyah 22 Januari 2011
Ceritanya begitu singkat. Bahkan di luar dugaan. Saat itu, aku mengajar di kelas 5. Seperti biasa, tak ada guru, maraton pun jadi. Sebenarnya, aku hanya menggantikan guru yang absen untuk mengajar matematika. Untunglah, tiga jam pelajaran terlewati dengan cepat dan lancar. Sambil menunggu bel, aku merapikan buku dan beberapa perlengkapan yang aku bawa untuk mengajar. Saat itu Risna, salah satu muridku, dengan wajah polos berkata, “Ibu, Ibu Aisy tara sombong, biasanya orang Jakarta pe sombong ibu.” Aku kaget, dan balik bertanya, “Dari mana kamu tahu kalau Ibu tara sombong?” Dia kembali nyeletuk, “Ibu orang Jakarta, tapi Ibu pe HP jelek, berarti ibu tara sombong”. Sontak aku ingin tertawa, alangkah lugunya mereka. Pertama, karena aku memang bukan orang Jakarta. Kedua, mereka menjudge orang ini sombong atau tidak, hanya dari HP yang ia miliki. Dan memang benar, mana ada jaman sekarang orang yang masih setia kemana-mana membawa HP layar kuning, tak ada fasilitas kamera, akses internet dsb. Mungkin hanya aku sisa orang yang masih melakukan itu. Aku tersenyum mendengar penuturan mereka. Dengan hati-hati aku jelaskan pada mereka bahwa tidak ada orang yang berhak sombong, karena Yang Paling Kuasa adalah Allah. Tiba-tiba aku menjelma menjadi guru agama. Hmmm... Kadang kita memang tidak menyadari bahwa hal sekecil apapun yang kita lakukan, ada makhluk-makhluk tak terduga yang memperhatikannya. Kalau itu positif, mungkin akan membawa efek positif yang kontinyu, namun bagaimana jika itu sesuatu yang negatif? Anak-anak hanya bisa melihat, untuk kemudian meniru tanpa mencari tau alasan untuk sebuah pembenaran versi mereka. Mereka tak mengenal konfirmasi ataupun klarifikasi. Mereka hanya tau imitasi. Mereka hanya bisa bertaklid. Hanya itu. J

8 Desember 2010


Cerita Lainnya

Lihat Semua