Seratus Cinta Untukku

Aisy Ilfiyah 27 Juli 2011
Saya bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Jangankan jatuh cinta, memuji orang saja jarang sekali saya lakukan (Lho,, apa hubungannya jatuh cinta dengan memuji orang???) upz, forget it. Tapi masalahnya, bagaimana jika berkali-kali saya disodori dengan sebuket cinta, dan itu hampir terjadi setiap hari, berturut-turut selama 8 bulan??? (Nah Loe...). hmmm.. akhirnya mau tidak mau, saya takluk juga. Saya punya beberapa catatan tentang bagaimana cinta itu saya dapatkan setiap harinya.... Cinta Rijin Masih ingat cerita saya tentang Rijin??? Setelah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya, Rijin benar2 menjadi anak saya. Bahkan, orang-orang di kampung mengatakan “Rijin, Ibu Aisy pe anak” (hmmmm... Jauh2 merantau, dapat anak). Hingga sekarang, Rijin tetap menunggu dan menggandeng tangan saya setiap pagi di pintu masuk area sekolah. Rijin juga selalu nongol di depan rumah saya setiap sore hanya untuk menyapa saya, “Ibu...” sambil tersenyum, kemudian berlari sambil malu-malu. Kalau saya belum keluar kamar, maka ia akan menunggu dengan sabar di pagar kayu depan rumah saya. Cinta Nikma Nikma, murid saya di kelas 5. Nikma termasuk anak yang rajin datang ke sekolah, meskipun beberapa kali ia pernah mengajak adiknya yang berumur 1 tahun untuk ikut belajar di dalam kelas. Adalah sebuah keanehan jika Nikma tidak masuk sekolah tanpa alasan apalagi sampai 2 hari. Saya berencana untuk mengunjungi rumahnya, karena saya takut jangan-jangan dia sakit. Sore hari, saya mengunjungi rumah Nikma. Dan sungguh, saya tidak pernah menyangka ini akan terjadi pada saya. Nikma, si murid rajin itu, ternyata tidak masuk sekolah karena harus berjualan ikan di dermaga. Saya tanya, “Barang ngana ada biki apa bajual ikang di pante?” (Kamu ngapain jualan ikan di pantai?) Nikma menjawab sambil menunduk, “Kita ada mau kasih Ibu Aisy hadiah ulang tahun, barang Ibu Aisy pe hari ulang tahun so deka” (Saya mau memberikan Ibu Aisy hadiah ulang tahun, karena sebentar lagi Ibu Aisy akan berulang tahun). Ha???????? Perlu diketahui: saat itu, saya terbungkam dan tak bisa berkata apa-apa. Nikma berjualan ikan di pantai agar ia bisa membelikan saya hadiah ulang tahun. Dada saya sesak, terharu, dan bingung. Usut punya usut, ternyata Nikma salah memperoleh informasi dari temannya. Dia mengira ulang tahun saya tanggal 19 Juli, padahal yang benar adalah tanggal 29 Oktober. Dan saya hanya bisa berucap dalam hati, “Nikma,,,Nak, ingin sekali aku membawamu pulang ke Jawa” Cinta salah paham 12 Maret lalu, saya berangkat ke Ternate untuk melakukan medical check up. Untuk sampai di Ternate, saya harus menempuh perjalanan laut cukup lama kurang lebih selama 8 jam pada malam hari. Tapi, saya tidak ingin membahas bagaimana perjalanan saya ke Ternate. Ini tentang anak-anak saya disini. Siang hari sebelum berangkat, salah satu murid saya melihat tas ransel besar kesayangan saya ada di teras rumah. Sontak, ia langsung memberitahu murid-murid saya yang lain untuk segera datang ke rumah saya. Saat itu, saya masih ada di dalam rumah untuk berpamitan dengan mama piara. Tak lama kemudian, saya keluar rumah. Astaghfirullah,, saya kaget, di depan rumah telah berkumpul 40an anak yang semuanya menangis. Saya bengong beberapa saat baru kemudian bertanya pada mereka, “Lho,, kenapa, pada berkumpul???” serentak mereka semua menjawab, “Ibu,, jang pergi kah Ibu...” (Ibu,, jangan pergi...). Tak bisa menutupi kebingungan, saya kembali berkata, “Lho,, saya harus pergi..” Mendengar ucapan saya, tangis mereka malah semakin menjadi-jadi. Saya bingung harus melakukan apa. Saya semakin bingung, ni anak2 maunya apa sih??? akhirnya, saya meminta salah satu dari mereka menjelaskan mengapa mereka berkumpul dan menangis. Dan,, saya benar-benar terkejut, mereka berkumpul dan menangis massal karena mengira saya akan pulang ke Jawa dan tidak kembali ke Halmahera. Astaghfirullah... Setelah saya jelaskan semuanya, akhirnya mereka pun bisa mengerti. Kejadian mengharukan dan membingungkan itu pun diakhiri dengan pawai keliling kampung start dari rumah saya dan finish di tempat langganan saya menunggu ojek jika harus ke kota kabupaten. Mereka menggandeng kedua tangan saya dan mengarak saya keliling kampung. Mereka membawakan tas ransel saya yang berukuran besar itu secara bergantian. Sungguh, saat itu saya merasa seperti pendosa yang diarak keliling kampung untuk mendapatkan hukuman dan segera bertobat. Namun, itulah bukti cinta tulus mereka pada saya. Saya yakin itu... Cinta mobil patroli Pernah suatu kali, saya terburu-buru harus ke kota kabupaten untuk suatu urusan. 1,5 jam saya menunggu ojek, tak ada satupun yang lewat. Tapi untunglah, tiba-tiba ada mobil patroli polisi yang lewat. Mobil patroli terbuka dengan kursi saling bersinggungan di bagian belakang. Mungkin polisi tersebut kasihan melihat saya sendirian di pinggir kebun yang sepi untuk menunggu ojek yang tak kunjung lewat. Akhirnya, ia pun mempersilakan saya untuk ikut dengannya dan duduk di kursi bagian belakang yang terbuka dan bisa dilihat oleh siapa saja sepanjang perjalanan. Saat itu, saya tak berpikir panjang untuk segera mengiyakan. Lagipula, toh saya juga sedang terburu-buru. Pejalanan 3 km melewati kebun kelapa dan jagung, masih lancar dan tak tak ada yang aneh. Baru setelah itu, mobil melewati pemukiman penduduk, hampir setiap orang di sepanjnag jalan menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah mobil, lebih tepatnya ke arah saya. Kenapa ya??? Sungguh, ternyata saya butuh waktu sekian menit untuk menyadari bahwa saya sedang berada di atas mobil patroli. Ya,, mobil patroli yang biasanya digunakan untuk mengangkut “orang-orang bermasalah”, kini mengangkut saya. Saya sempat kikuk juga akhirnya, namun semua tak begitu mempengaruhi saya. Dan, perjalanan tetap dilanjutkan. Cerita tak berhenti sampai disini. Tanpa saya sadari, ternyata salah seorang murid saya yang hendak pergi ke kebun melihat adegan ketika saya ikut naik ke mobil patroli. Sudah bisa ditebak apa yang ia lakukan selanjutnya. Tanpa perlu klarifikasi, ia langsung memberi tahu teman-temannya yang lain. Jadilah kejadian dramatis. Puluhan anak berbondong-bondong ke rumah saya untuk menanyakan kenapa saya dibawa polisi. Seperti biasa, sambil menangis massal. Mama piara saya yang kebetulan ada di rumah sempat kebingungan karena memang tidak tau apa-apa. Cerita pun menyebar ke beberapa tetangga dan orang tua murid. Mungkin mereka juga kebingungan karena anaknya menangis mengira gurunya bakal di masukkan penjara. Sore harinya, saya pulang ke kampung saya. Merasa suasana agak lain, saya bertanya pada Ilham, murid saya sekaligus adik piara saya. Ilham menjelaskan dengan gamblang bagaimana kejadian tadi siang. Saya hanya bisa manggut-manggut untuk selanjutnya tertawa terbahak-bahak. Sungguh, kejadian ini sangat lucu. Saya benar-benar tidak terpikir sedikitpun bahwa pengalaman naik mobil patroli tadi siang ternyata memberikan pengalaman lain bagi anak-anak murid saya dan penduduk di kampung saya. Ya, saya yakin, mereka mencintai saya. Ini baru empat cerita cinta, masih banyak lagi cerita cinta yang lain. Kalau semua saya tulis disini, bisa gak muat ntar...

Cerita Lainnya

Lihat Semua