info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

SD-ku... oh SD-ku...

Aisy Ilfiyah 22 Januari 2011

SDN Panamboang. Sebuah SD yang termasuk dalam kategori SD terpencil. SD ini dibangun pada awal tahun 2000, dan menempati gedung barunya pada 2007 lalu. Secara fisik, SD ini cukup bagus. Mungkin karena bangunan gedung baru. Namun, mari kita lihat satu-satu isi di dalamnya. Disini, ada 6 rombel yang ditampung dalam 6 ruang kelas. Ideal bukan?? Tiap rombel terdiri dari 18-24 siswa. Standar bukan? Lantas??

Pertama, murid di SD ini tak ada satupun yang memiliki buku pelajaran. Buku pelajaran hanya ada 1 eksemplar dan tentu saja hanya dimiliki oleh si guru kelas. Anak-anak hanya mengikuti apa yang diberikan dan dikatakan oleh gurunya. Masih bisa dimaklumi. Yang sering menjadi kendala, anak-anak seringkali mengalami kesulitan ketika mengerjakan PR. Mereka hanya berbekal catatan dari guru. Itu pun kalau rajin mencatat, dan tak seperti aku ketika sekolah dulu. Aku benci mencatat. Hehehehe

Kedua, guru di sekolah ini tercatat sebanyak 13 orang guru. Dengan kedatanganku, berarti bertambah menjadi 14 orang. Namun, bisa dibayangkan, bagaimana kondisi di lapangan?? Aku kerapkali menjadi single fighter. Tapi tidak apa-apa, semua masih bisa ditangani. Maraton sana-sini, ternyata cukup membuat aku berlari sedikit gesit dari biasanya. Hehehehe

Ketiga, budaya kekerasan. Aku sebut ini sebagai budaya, karena dari informasi yang aku terima, ini memang sudah settingan dari sononya. So, di awal kedatanganku, aku sempat dianggap sebagai penentang aksi mereka (meskipun sebenarnya iya, tapi aku tak harus frontal terhadap mereka). Dan, alasan yang diungkapkan, “kekerasan bertujuan untuk mendidik, bukan untuk menyakiti” Aku tak peduli dengan alasan itu. Kekerasan tetaplah kekerasan. Kita tak pernah tau batasan antara mendidik atau menyakiti dengan melibatkan kekerasan. Yang pasti, anak-anak tetap menjadi korban. Toh, kekerasan juga tak membuat mereka lebih pintar.

Keempat, tak semua siswa di SD ini sudah bisa membaca. Tak terkecuali yang sudah duduk di kelas 6. Aku tak bisa membayangkan, apa yang ia lakukan selama 5 tahun sebelumnya? UASBN tinggal menunggu hitungan bulan. Ntahlah, aku masih bingung untuk memikirkannya. Tak hanya itu, pernah juga suatu hari, aku bertanya pada murid-murid kelas 5 dan 6. “Siapa nama presiden Indonesia?” mereka serentak menjawab, “SBY Ibu....” Jelas, aku senang dan lega. Untuk memastikannya, aku bertanya lagi pada mereka, “SBY kepanjangannya apa???” tak satupun dari mereka yang menjawab. Pertanyaan aku ganti, “Siapa nama wakil presiden Indonesia?” tetap tak ada satupun yang menjawab. Mereka bahkan tak mengenal nama Boediono. Aku miris dan geram, tapi mereka tak bisa disalahkan.

Pada kesempatan lain, aku juga mengajukan pertanyaan sederhana, “Siapa yang tau ibukota negara Indonesia?” bersahut-sahutan mereka menjawab, “Ternate Ibu,,,” jawaban lainnya, “Labuha Ibu....” Aku menelan ludah. Ingatkah kalian, saat kelas 6 dulu, kita bahkan telah belajar tentang negara-negara di dunia, mempelajari apa itu ASEAN, PBB, dsb. Dan, lihatlah, mereka bahkan belum mengetahui ibukota negara ini. Mereka hanya tau Ternate, ibukota propinsi Maluku Utara sebelum pindah ke Sofifi. Dan Labuha, satu-satunya kota di Halmahera Selatan yang kondisinya tak lebih ramai dari desa-desa di Jawa.

Kelima, SD ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang menurutku cukup visioner. Beliau baru 10 bulan memimpin sekolah ini. Dari beberapa kali diskusi, aku bisa memahami keinginannya. Justru yang aku pikirkan saat ini, bagaimana cara merangkul semua elemen untuk bisa diajak bekerjasama melakukan yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di SD ini. Mengingat, masih banyak guru yang bermasalah dengan komitmen (masalah utama dan krusial), masih banyak pula anak-anak yang di tengah jam pelajaran tiba-tiba dijemput oleh orang tuanya untuk diajak mencangkul di kebun.

Hmmm... tantangan. Yup,, 1 tahun kedepan,,,, aku pasti bisa..............


Cerita Lainnya

Lihat Semua