jurnalku

Aisy Ilfiyah 2 November 2010
Lihat Senyum Mereka Jadwal harian pada minggu ke-6 tak begitu variatif. Selama 6 hari, PM melakukan Praktek Pengalaman Mengajar (PPM) di SD/MI sekitar asrama Modern Training Center (MTC). Meskipun begitu, pengalaman yang bisa diperoleh selama PPM bervariasi setiap harinya. Diawali dengan proses pembagian jadwal pelajaran, pembuatan Rencana Program Pelaksanaan pembelajaran (RPP), hingga kegiatan praktek mengajar dalam kelas. Semua membutuhkan banyak usaha (baca: pengorbanan). Aku harus membuat RPP tiap malam, mempersiapkan berbagai media dan benda peragaan lainnya untuk kegiatan mengajar besoknya. Rutinitas yang membosankan sebenarnya. Setiap hari harus tidur tengah malam, esoknya harus segera bangun pagi, bingung cari ide sana-sini, pusing gunting kertas berkali-kali, dan sebagainya. Ya,, warna-warni. Warna dan seni mengajar dengan segala proses di dalamnya. Berbicara tentang mengajar, ternyata mengajar tak semudah yang aku bayangkan sebelumnya. Lebih tepatnya, mengajar di jenjang sekolah dasar (SD). Dulu, sekian waktu yang lalu (baca: sebelum bergabung dengan IM), aku menganggap bahwa mengajar bisa dilakukan tanpa ada ketrampilan khusus. Transfer informasi, dan selanjutnya semua akan beres. Tapi tidak, tak semudah itu ternyata. Semua tak semudah yang aku bayangkan. Justru pada kegiatan transfer informasi itulah letak seni mengajar yang ‘mau tidak mau’ memaksaku untuk mau belajar. Mengajar sekaligus belajar. Mengajar dan belajar ternyata bisa berjalan beriringan. Banyal hal baru yang aku ketahui setelah aku berada di dalamnya. Di dalam kelas aku berhadapan dengan murid-murid yang aktif bergerak, sulit adiatur, mudah bosan, dan satu lagi, berwajah polos. Wajah mereka menyiratkan sebuah harapan besar yang aku sendiri tidak tau apa ‘mau’ mereka. Sebenarnya, kalau boleh jujur, aku tak begitu tertarik dengan anak-anak dan dunia mereka, bahkan aku pun tak begitu menyukai mereka. Perlu diketahui: menurut  pendapat orang-orang di sekitarku, aku termasuk orang yang tidak ‘sabaran’, sedikit keras, dan suka ‘ngeyel’. Kepribadianku sama sekali tak menyentuh kriteria menjadi guru SD. Karena Senyum mereka Mengutip pernyataan salah satu sahabat PM, Soleh Ahmad Nugraha, “Senyum mereka menaklukkan hati saya”. Sepertinya tidak berlebihan jika kalimat itu juga berlaku padaku. Sebentar, sepertinya aku perlu sedikit merecall apa yang terjadi padaku seminggu terakhir ini. Pada hari pertama PPM, pertanyaan-pertanyaan apakah aku bisa mengajar dengan baik, Apakah nanti aku bisa menenangkan siswa yang ramai?, apakah aku nanti bisa menyampaikan materi secara tuntas?, apakah siswa nantinya bisa memahami apa yang aku ajarkan?, hampir selalu menghinggapi pikiranku. Apalagi, saat itu aku harus mengajar kelas 1 tematik. Wow...pasti seperti mengajar anak-anak TK. Gimana ya??? Sepertinya terlalu panjang jika aku menceritakan seluruh prosesnya di sini. Tapi yang pasti, tak semua keraguan dan ketakutanku terbukti meskipun tak sempurna prosesnya dan tak bisa juga dikatakan mudah melewatinya. Sebenarnya, yang menjadi tantangan terbesar (baca: paling bikin capek tenaga, pikiran, dan perasaan) yang aku rasakan ketika mengajar adalah penguasaan kelas. Bagaimana mengekondisikan siswa agar mau duduk dan memperhatikan, mendengarkan dengan baik materi yang diberikan, melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinstruksikan, tenang dalam kelas, dan sebagainya. Benar sekali, mengajar mereka ternyata tak mudah. Pada hari pertama, aku terpaksa harus membatalkan puasaku setelah selesai mengajar (maklum, iman tak seberapa kuat). Aku butuh minum karena kerongkonganku kering. Terbukti memang, mengajar kelas 1 SD tak ubahnya mengajar anak-anak TK. Suara harus keras, bergerak kesana-kemari seperti setrika, meloncat dan bertingkah. Namun, di balik itu, ada hal lain yang aku rasakan. Ia memenuhi perasaanku begitu saja. Aku merasakan sesuatu yang membawaku ingin kemabali. Aku merasa puas dan ingin mengulanginya. Kembali esoknya untuk bertemu mereka, mendengar suara dan tawa mereka, berteriak-teriak menyuruh mereka tenang, mondar-mandir kesana-kemari dalam kelas, dan menerangkan dengan ekspresi berlebihan. Ya...puas. Aku merasakan adanya kepuasan. Kepuasan yang membawaku ingin kembali kesana. Apa yang menjadikan aku puas? Aku terus bertanya-tanya. Ternyata, senyum mereka. Meskipun aku tak tau apa maknanya. Aku hanya memaknainya secara sederhana. Aku pikir, mereka senang dan suka dengan aku. Hanya itu. Tak berlebihan bukan?. Senyum itu membuat aku ingin kembali bertemu mereka. Aku pun bertanya-tanya lagi, bukankah aku tak pernah tertarik dengan dunia mereka? ternyata tak sepenuhnya benar. Aku sendiri heran, kenapa begitu cepat aku berubah. Senyum mereka. Senyum dari wajah polos mereka. Justru itu yang membuat aku takluk (takluk??), benarkah?. Wow..ternyata senyuman bisa membuat aku menyerah untuk mulai menyukai sesuatu. Dan, siswa-siswa SD itu bisa melakukannya. Aku semakin bisa merasakan pula makna dari lagu yang menjadi kebanggaan sahabat-sahabat Pengajar Muda. Tunjukkan pada dunia Mereka bisa..mereka bisa.. Tunjukkan pada semua.. Mereka bisa.. mengubah dunia.. Lihat senyum mereka.. Senyum itu....senyum polos penuh harapan. Dan, aku suka...

Cerita Lainnya

Lihat Semua