info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mirip Senayan

Agus Rachmanto 12 Februari 2011
Sejak pertama kali datang ke Hutan Samak, atas kesepakatan sesuai musyawarah mufakat, saya akan mengajar PPKn untuk kelas satu sampai kelas tiga dan Matematika untuk kelas empat sampai kelas enam. Namun rupanya pepatah “Manusia berencana, Tuhan menentukan” berlaku di Hutan Samak (btw, ini beneran pepatah ya?). Bu Syarifah sakit. Ia, yang seharusnya mengajar kelas satu harus istirahat. Ia terjatuh saat berjalan di depan sekolah. Kakinya patah. Sebetulnya saya tidak begitu tahu terminologi “patah” dalam dunia medis. Yang jelas, kakinya harus di ikat-ikat dengan papan-papan kayu (apa pula istilahnya dalam dunia medis). Bengkak, dan tentu saja tak bisa dibuat berjalan. Jadilah saya menggantikan Bu Syarifah di kelas satu. Ya, kelas satu! Ada empat puluh tiga siswa/siswi yang terdaftar di buku absen. Namun rasa-rasanya, rata-rata yang masuk setiap harinya sekitar tiga puluh siswa. Dari yang rajin masuk itu, variasi mereka lumayan banyak. Dari segi usia, Ayong memegang rekor sebagai anak kelas satu yang paling senior. Ayong (ya, namanya hanya Ayong. Titik.) kelahiran 1996! Ia telah merasakan lima dari enam presiden Indonesia. Mantap Jaya! Dari keragaman suku, mayoritas suku Akit dengan beberapa lainnya etnis Tionghoa. Saya tidak paham definisi “suku” oleh para antropolog. Masyarakat di Bengkalis menyebut mereka sebagai “Suku Akit” walaupun saya sedikit meragukan mereka memenuhi syarat sebagai sebuah “suku”. Tapi tentu saja bukan sekarang kita berdiskusi tentang “suku” dan memutuskan anak-anakku ini sebagai seku, sub-suku, komunitas, atau apapun namanya. Kita sebut saja mereka Suku Akit. Dan mari kita singkat dengan Akit saja. Seratus persen dari mereka beragama Budha. Itu agama yang tertulis dalam dokumen administratif sekolah. Mereka beragama sama seperti para pendatang yang beretnis Tionghoa. Sekali lagi, saya meragukan bahwa keyakinan mereka bisa diklasifikasikan sebagai Budha (dalam pemahaman saya, pengikut Sidharta Gautama). Namun saya belum begitu dalam bergaul dengan ke-agama-an mereka. Dan mari, untuk saat ini, kita sebut saja keyakinan anak-anakku itu sesuai dengan dokumen administratif. Nama mereka mayoritas hanya satu kata dan berbau China. Saya sebut saja beberapa: Meiyan, Asia, Asiong, Ayong, Aping, Apin, Aceng. Satu nama unik: Monalisa! Ada juga nama yang “Islami”: Ridwan, Abi. Ada pula nama Jawa: Darmanto, Ayu, Rinawati. Ada pula yang kembar (karena hanya satu kata): Supiyanto. Saya belum tahu asbabul wurud nama mereka. Rumah mereka banyak yang jauh. Dan hampir semuanya berjalan kaki. Bisa dihitung dengan jari mereka yang menggunakan sepeda. Taksi? Tentu saja tidak ada. Di Pulau Rupat, jumlah mobil yang pernah saya lihat bisa dihitung dengan jari. Di Hutan Samak? Nol! Jangankan mobil, jalan yang cukup untuk lewat kendaraan roda empat saja tidak (belum?) ada. Semua yang melekat di tubuh mereka merupakan dana BOS, Bantuan Operasional Sekolah. Mulai dari topi sampai sepatu. Uniknya, banyak diantara mereka berangkat dengan tanpa alas kaki. Nyeker, orang Jawa bilang. Sepatu mereka masukan ke dalam tas. Saat mau masuk kelas, baru mereka kenakan. Mau istirahat, mereka tanggalkan sepatu dan diletak di laci. Aha! Tidak sulit untuk bisa dekat dengan mereka. Resiko dari dekat dengan mereka adalah mereka berani bicara. Untuk urusan ini, mereka sering berebut bicara dan dengan susah payah saya tertibkan. Ridwan dan Monalisa yang suaranya cempreng, Asia yang sangat hobi berteriak dan bernyanyi, Meiyan yang kental logat China berbaur seperti padua nsuara tanpa dirigen. Mirip sekali dengan orang-orang besar di Senayan. Ah, rupanya saya salah. Bukan anak-anakku yang mirip mereka. Sebab, pada hakikatnya, anak-anak memang seharusnya seperti itu. Mereka yang mirip anak-anak saya. Atau mungkin jauh lebih kekanak-kanakan, seperti kata Gus Dur: “mirip taman kanak-kanak”. Ah, kalian anak-anak bangsa. Bapak tidak tahu kalian mau belajar sampai kapan, mau sekolah sampai tingkat apa (jelas, Ayong maksimal hanya akan jadi lulusan SD. Paling cepat ia akan menamatkan SD di usia 19 tahun dan tidak akan ada SMP yang mau menerima murid dengan usia itu). Bapak juga tidak tahu kalian akan jadi apa. Tapi setidaknya, kalian bisa ke Senayan! Nak, mari kita teriakan keras-keras semangat kita: Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua