Akhirnya Datang Juga

Agus Rachmanto 16 Mei 2011

Awal Februari, ketika dua anak menemuiku di sabtu pagi. Mereka menyodorkan rapor; mengatakan ingin mengumpulkan. Ini adalah awal Februari, sebulan setelah jadwal mengembalikan rapor. Saya meyakinkan diri bahwa mereka bukan murid kelas satu, di mana sebulan terakhir saya adalah wali kelas menggantikan Bu Syarifah yang sakit.

Kedua bocah itu memiliki rambut hitam lurus sebahu lebih sedikit. Dikuncir; keduanya. Yang satu lebih tinggi dari yang lain. Mirip. Ya, sangat mirip. Hanya dibedakan tinggi badan. Senyum mereka sangat manis dan tanpa takut mendekatiku.

Kelas sedang berantakan karena sabtu pagi itu kami di SD Hutan Samak sedang bersih-bersih. Saya baru dari lapangan, memimpin peleton sikat gigi masal di mana dua bocah tadi tidak menjadi bagian: mereka tidak membawa sikat gigi pastinya.

Saya baru ngeh ketika anak-anak setengah berteriak, berebut menjadi penyampai berita (mirip di Senayan) tentang siapa kedua bocah itu. Rupanya yang satu bernama Aping dan lainnya bernama Apin. Dua dari tiga “anak hilang” yang saya cari selama ini.

Mana yang satu? Rupanya sedang berada di luar kelas. Aceng. Ya, Aping, Aceng, dan Apin adalah adik-beradik (inilah ungkapan lazim di Bengkalis yang semakna dengan kakak-beradik) yang selama lebih dari sebulan tidak masuk. Dan saya baru tahu ternyata dua dari tiga diantara mereka adalah perempuan. Ya Tuhan.... sebulan lebih mereka ke hutan mengikuti orang tua.

Saya sampai bosan memanggil mereka sejak awal tahun. Ketika mengabsen setiap pagi, saya selalu menanyakan ke mana mereka bertiga. Anak-anak lainnya selalu mengatakan mereka ke hutan. Hari berganti hari dan saya mulai lelah memanggil nama mereka. Jawaban yang sama: hutan.

Saya sudah mulai melupakan bahwa ada tiga anak saya di kelas satu: mereka. Saya pasrah sepertinya saya hanya akan mengenal mereka sebagai nama-nama yang tertera di buku absen sampai di suatu pagi, Sabtu di awal Februari.

Saya mengusap kepala mereka. Tersenyum, bahagia. Mereka membalas senyum, ramah, bersahabat tanpa rasa takut; sedikitpun.

Saya jatuh hati pada mereka berdua. Gadis-gadis mungil dengan binar mata yang tajam, rambut lurus hitam sebahu lebih yang selalu dikuncir. Kulit yang hitam terpanggang matahari namun bersih. Aceng? Ah, nakal seperti Adang, Abi, dan beberapa bocah lainnya di kelas satu. Nakal? Ya, nakal. Nakal selayaknya anak-anak. Mirip kedua saudarinya, sorot matanya juga tajam. Rambut cepak gigi ompong yang akan terlihat ketika tersenyum.

Entah, kekonyolan macam apa lagi yang sedang berlaku. Mereka adalah saudara kandung dan bukan terlahir sebagai kembar tetapi sekarang mereka berada dalam satu kelas. Tidak hanya dua bersaudara, sebagaimana Adang dan Riki. Mereka tiga bersaudara dan berada dalam satu kelas yang sama. Mana pulak?

Aping, si bungsu berusia sembilan tahun. Sedangkan Aceng berumur tujuh tahun. Apin enam tahun. Aping sudah pernah tinggal kelas, juga karena sering tidak masuk. Awal tahun ajaran lalu, Aceng masuk dan Apin merengek minta ikut. Jadilah mereka bertiga bersama satu kelas.

Aping anak yang rajin. Ia salah satu anak yang paling giat menyapu kelas ketika akan pulang. Ia juga cerdas.

Awal Februari itu, saya baru dari Dumai untuk belanja (saya harus menghabiskan tidak kurang Rp 250.000,00 untuk sekedar transport kalau butuh ke ATM). Dari Dumai saya membawa beberapa oleh-oleh untuk anak-anak. Saya membeli enam buah puzle kertas dua dimensi. Saya bebaskan anak-anak untuk menyusunnya. Dan salah satu anak yang paling rajin dan teliti adalah Aping.

Malu-malu ia menyerahkan hasil karyanya. Tidak selalu tepat, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk saya katakan hebat! (puzle itu sendiri tidak berumur panjang karena segera hancur. Dan sepertinya inilah puzle pertama dalam sejarah Hutan Samak).


Cerita Lainnya

Lihat Semua