Berdua Mengarungi Lautan

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Saya pernah bercerita tentang lokal jauh sekolah kami: Ujung Pasir. Daerah ini dihuni sekitar 30 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas perantauan “Jawa Medan”, yaitu orang-orang keturunan Jawa yang sudah menetap di Sumatera Utara (tidak terbatas Medan saja). Mayoritas masyarakat di sini berprofesi sebagai nelayan. Untuk ke daerah ini, kita tidak akan menemukan dermaga kecil sehingga kalau air sedang pasang, perahu kita akan berhenti di kawasan yang masih berair (dan dalam) untuk selanjutnya kita membutuhkan bantuan sampan kecil sampai ke darat. Untuk jalan darat secara matematis memungkinkan tetapi itu artinya kita harus membelah Pulau Rupat dari utara ke selatan dan selanjutnya memutar lagi ke utara melalui pesisir barat pulau. Perjalanan ini akan menempuh waktu sekitar 5-6 jam. Sedangkan apabila dengan skenario pertama (ada dua pilihan: speed boat atau kapal kayu), kita akan turun di tengah laut. Tengah laut dalam artian kita tidak di tepi betul, di daratan atau di dermaga tetapi masih di perairan. Pada saat yang sama, berharaplah ada nelayan yang sedang berada di dekat lokasi pemberhenrian dan kita bisa menumpang. Atau buatlah janji dahulu dengan keluarga (sinyal bagus di Ujung Pasir) untuk membawa sampan menjemput kita. Dari dua puluhan anak murid di Ujung Pasir, dua diantaranya berada di kelas enam. Keduanya laki-laki: Okki Prananta dan Edi Saputra. Okki bertubuh kecil dan berpenampilan selalu rapi. Sedangkan Putra sebaliknya. Terkesan cuek dengan penamppilan namun memiliki postur tubuh yang gagah: kulit gelap terpanggang matahari, rambut cepak, dan berbadan tegap sekitar 170 Cm. Usia mereka memang usia selayaknya anak kelas enam SD, sekira 12-13 tahun. Kalau kita tanya Putra dia orang (suku) apa, maka dengan tegas dia akan menjawab “Jawa”. Tetapi apabila kita tanya di mana kampung (halamannya) dia akan menjawab Medan. Dan pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan Medan pindah ke (Pulau) Jawa. Putra tidak bisa menyebutkan satu tempat-pun di Pulau Jawa sebagai tanah leluhurnya. Fenomena ini jamak terjadi di Sumatra dan belahan Indonesia lainnya. Orang seperti Putra mungkin adalah generasi ke sekian dari perantau atau transmigran dari Pulau Jawa. Bahkan, di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis (Kabupaten Bengkalis terdiri dari delapan kecamatan. Kecamatan Bantan dan Kecamatan Bengkalis berada di Pulau Bengkalis. Kecamatan Rupat Selatan dan Rupat Utara berada di Pulau Rupat dan empat kecamatan lainnya berada di daratan Sumatra), lebih dari 80% penduduknya adalah keturunan Jawa. Ada yang diantaranya datang jauh sebelum kemerdekaan. Lokal jauh secara administratif berada di bawah sekolah induk, begitu pula Ujung Pasir yang berada di “bawah” Hutan Samak. Untuk ujian akhir, mau tidak mau juga harus dilaksanakan di Hutan Samak. Dan Okki serta Putra, yang orang Jawa berkampung Medan itu, juga harus ke Hutan Samak. Sebelum ujian akhir, sekolah kami mengadakan beberapa kali try out. Try out dilaksanakan selama dua hari untuk empat mata pelajaran: Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Pendidikan Agama. Kepala Sekolah menyarankan agar kedua anak itu bisa datang ke Hutan Samak untuk mengikuti try out. Dan percaya atau tidak (tentu saja harus percaya) mereka berdua datang! Mereka pada hari minggu diantar oleh orang tua kemudian dititipkan di rumah Pak Nasir, Suami Bu Sarifah, yang rumahnay di komplek sekolah. Mereka mengikuti try out pada hari senin dan selasa untuk selanjutnya dijemput pada hari kamis atau jumat. Berjam-jam mereka berada di atas kapal kayu kecil dengan suara diesel yang bising. Terombang-ambing demi sekedar try out! Luar bisa, bukan apa yang dilakukan anak-anakku? Salam Hangat dari Rupat, Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua