Konsistensi adalah Harga Mati

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Sewaktu lebih kurang sebulan menemani kelas satu belajar, sudah terasa ada perubahan. Bagaimana “mendiamkan” mereka tanpa kekerasan: pukulan, cubit, bentak lan sak panunggalane sudah menjadi hal yang lumrah ada di kelas kami. Harmoni itu sedikit goyah ketika tiga anak: Aping, Aceng, dan Apin masuk. Ya, mereka bertiga lebih kurang sebulan tidak masuk sekolah. Ke hutan, kata anak-anak (dan ternyata memang benar, mengikuti orang tua mereka). Aping, tertua (mereka bertiga saudara kandung dan berada di satu kelas yang sama. Tentu usia mereka juga beragam) relatif “dewasa”. Sudah paham komunikasi sehingga relatif mudah untuk “didiamkan”. Apin, bontot, juga relatif pendiam. Lebih suka banyak senyum dengan gigi dan binar mata yang cantik. Aping dan Aping adalah perempuan, Aceng laki-laki. Aceng inilah yang benar-menar memporak-porandakan harmoni yang sebulan ini saya bangun. Mencipatakan kelas yang patuh peraturan (yang mereka buat sendiri). Mereka juga sudah dapat “patuh” pada signal yang saya kirim saat saya minta mereka diam dan mendengarkan saya atau teman yang lain di depan kelas (matur nuwun buat I-Teach, Weilin Han dan Ruth, yang mengajarkan teknik ini). Tentang signal, misalnya, saya menggunakan lagu “Siapa yang suka hati tepuk tangan” (betulkah itu judulnya? Saya harap kalian paham lagu yang saya maksud) dengan mengubah liriknya. Siapa yang anak baik tepuk tangan Siapa yang anak baik tepuk tangan Anak baik duduk manis Anak baik duduk rapi Anak baik tepuk tangan, tepuk tangan. Signal semacam ini mengajak anak-anak untuk beraktifitas bersama dan melupakan kegiatan mereka yang lain: ribut tanpa komando. Tentu tidak semulus tulisan ini bagaimana saya membuat arus kelas supaya menjadi baik dan benar. Tapi kira-kira seperti itulah. Tentu bukan salah mereka bertiga ketika mereka belum paham aturan ini. Ketika ribut, harus ada suara keras dari guru (kalau perlu pukulan) agar mereka mau diam. Ini adalah peraturan umum dan lazim. Namun, matur nuwun Gusti, perilaku mereka tidak lama. Sepertinya arus yang sudah terbentuk lebih dari cukup untuk menghanyutkan mereka bertiga. Kebiasaan di kelas tidak bisa dipatahkan hanya oleh mereka bertiga. Mereka tidak mampu melawan arus utama yang jumlahnya lebih dari sepuluh kali lipat mereka, apalagi pada dasarnya Aping dan Apin relatif tidak terlalu “mengganggu”. Ketika Bu Syarifah sudah sembuh dan masuk lagi ke kelas satu, otomatis arus yang saya bentuk tidak sederas ketika saya menemai anak-anak selama enam hari seminggu. Saya tidak mengatakan bahwa Bu Syarifah tidak “meniru” pola saya, tetapi tetap saja ada yang kurang. Selanjutnya, untuk kelas satu, saya hanya mengajar PKn, Pendidikan Kewarganegaraan, sebanyak 2 JP (Jam Pelajaran, saya yakin istilah ini tak lazim di kalangan pembaca yang budiman) dalam satu minggu. Secara kebetulan, dalam empat kali pertemuaan, selalu saja ada halangan sehingga saya tidak bisa masuk. Yang harus retraining dengan tim Indonesia Mengajar, lah. Harus takziyah ke salah seorang guru di dusun seberang atau undangan dari warga. Tepatlah sebulan saya tidak bersinggungan dengan kelas satu. Dan ketika saya masuk, saya lumayan terkejut bahwa apa yang saya buat menjadi berantakan. Saya harus mengulangi lagi seperti saat pertama kali saya masuk ke kelas satu. Signal tidak lagi mempan, setidaknya butuh usaha lebih dengan dua atau tiga kali signal. Harmoni yang saya bangun sepertinya rusak tanpa adanya konsistensi. Aporisma Jawa sepertinya berlaku: witing tresno jalaran soko kulino (nyambung ga?). kelas satu sepertinya harus ditemani secara intens terutama pada masalah penanaman nilai-nilai. Mereka butuh role model, suri tauladan, yang mereka bisa lihat sesering mungkin dan dalam waktu yang relatif tidak sebentar. Masalah mental, perilaku dan yang setipe, akan lebih bagus kalau dilakukan pendekatan kultural-evolusi alih-alih struktural-revolusi. Bagaimana dengan anak-anak saya? Saya tak mungkin membelah diri menjadi enam untuk menemani setiap kelas setiap hari selama seminggu? Ada ide? Salam hangat dari Rupar, Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua