Hati-hati dengan Kata “Sayang”

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Di Hutan Samak, tidak jarang anak sekolah berumur jauh dari umur seharusnya anak sekolah. Contoh paling kongkret adalah Meli, anak kelas 6. Meli kelahiran 1991. Silahkan hitung sendiri berapa umurnya. Kelas satu, sebagai kelas permulaan, rerata berusia sekitar tujuh tahun. Ini yang baru masuk. Tentu tidak sedikit juga anak-anak yang berumur jauh di atas seharusnya mereka berumur. Contohnya adalah Ayong, yang kelahiran 1996! Dan mari kita bayangkan skenario konyol ini terjadi: Sedari pagi sampai siang, sampeyan mengajar kelas satu. Karena ingin dekat dengan mereka, maka salah satu panggilan ke anak-anak adalah dengan kata “sayang”. Panggilan ini terutama ketika menghadapi mereka satu per satu, misalnya saat mengunjungi meja untuk menjelaskan sesuatu. Dengan nada lembut, penuh kasih, maka panggilan “sayang” sangat menarik. Setelah istirahat untuk makan siang, sampeyan harus mengajar terobosan, istilah di sini untuk jam tambahan persiapan UN bagi anak kelas 6. Selesai menjelaskan, sampeyan meminta mereka mengerjakan soal dan sampeyan mengunjungi meja satu persatu untuk mengecek. Sampailah di meja Meli dan ia bertanya. Karena dari pagi anda mengajar kelas satu yang mayoritas masih imut-imut dan sampeyan terbiasa memanggil mereka dengan kata “sayang”, maka begitu pula ketika menghadapi Meli. Meli                       : “Pak Guru, yang ini apa namanya?” Sampeyan          : “Iya, sayang. Yang mana?” Tebak berhadiah, apakah jawaban Meli? Ya, betul. Meli memencet tuts piano dengan nada “re, do, do, mi, do, do, sol”. Jadilah duet Bang Haji Roma Irama! Hati-hati. Waspadalah, waspadalah! Salam hangat dari Rupat, Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua