Ketika Saya Sakit

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Judul di atas sebetulnya tidak tepat. Atau, bisa juga disebut sebagai sebuah upaya hiperbolis biar terlihat keren, sedikit. Sebetulnya saya ingin bercerita bahwa saya merasa tidak enak badan. Tapi setelah dipikir-pikir, tak elok pula kalau memberi judul terlalu panjang: “ketika saya sedang merasa agak tidak enak badan”. Jadilah saya memberi judul tulisan ini dengan yang tidak sebenarnya. Senin (28/3) saya terkulai. Ini berawal dari perubahan cuaca yang sedang kurang bersahabat. Bagaimanapun, dengan letak pada 20 Garis Lintang Utara, Hutan Samak adalah daerah yang panas. Lebih-lebih, tempat saya tinggal hanya beberapa centimeter di atas permukaan air laut. Dengan keadaan suhu seperti itu, sungguh sangat tidak bijak mengkonsumsi es berlebihan. Dan sialnya, saya tidak dapat menahan gejolak untuk berpesta pora dengan es batu dan air sirup rasa orange. Tentu, saya memiliki alasan pemaaf atas sikap itu. Bukankah es batu merupakan benda langka di Hutan Samak (dan Pulau Rupat pada umumnya)? Mengapa ketika ada es batu tidak bersuka ria dengan mengkonsumsinya dan sedikit bersenang-senang? Ah, silahkan berdebat! Yang jelas, atas ketidak mampuan menahan syahwat menenggak minuman keras (farasa ini saya pinjam dari seorang kawan. Kata kawan saya itu, yang dimaksud dengan “minuman keras” adalah es batu- makanan ringan adalah krupuk). Dan, over dosis! Dan saya bukanlah orang yang gemar memamah obat-obatan. Saya mempercayakan pada anti biotik karunia Tuhan yang bersemayam dalam tubuh untuk mengorganisir diri melawan anasir negatif yang masuk ke dalam tubuh. Tentu, saya memiliki ERP, Emergency Respon Plan-istilah yang familier dalam dunia Save and Rescue (SAR), dalam penanganan kondisi tubuh yang menurun. Saya akan makan yang buanyak, minum air putih (istilah yang salah kaprah, seharusnya air bening) dan air hangat serta tidur panjang sebagai langkah pertama ketika badan mulai lungkrah. Dan itu yang saya lakukan pada sepanjang hari minggu (27/3). Semua apa yang saya lakukan menuai hasil yang positif kecuali tidur panjang. Memang badan menjadi segar namun kegiatan ini juga memiliki ekses negatif: malam harinya saya tidak bisa tidur. Hutan Samak yang belum menerima kue pembangunan berupa PLN, menyerahkan urusan perlistrikan pada masing-masing individu. Mayoritas masyarakat memilih (atau terpaksa memilih) menggunakan lampu minyak tanah (di sini dan di Bengkalis secara lebih luas disebut dengan lampu colok). Segelintir rumah memiliki mesin disel pribadi. Tentu segelintir rumahh ini adalah bagi mereka yang memiliki kapasitas finansial yang kuat. Salah satu orang yang memiliki mesin disel adalah Pak Nasir, suami dari Bu Sarifah yang telah 16 tahun menjadi guru di Hutan Samak. Rumah Pak Nasir adalah rumah nomor 2 sedangkan rumah saya adalah rumah nomor 4, keduanya berada di lingkungan sekolah (rumah dinas). Jarak antara mesin disel dengan rumah tidak lebih dari 10 meter sehingga suara “dut dut dut” menjadi menu setiap malam. Saya sungguh bersyukur dengan adanya mesin disel ini, saya bisa men-charge laptop dan hp walaupun harus menggotong stabilizer (atau stabilisator? Ah, pokoknya sebongkah kotak besi untuk menyetabilkan arus listrik) dari Pekanbaru! Namun suara yang ditimbulkan sungguh sangat mengganggu. Dan Pak Nasir memiliki kekuasaan penuh dari dan sampai jam berapa disel itu dinyalakan (Pak Nasir memiliki TV dua pintu, kulkas 21 inchi, setrika listrik, blender listrik, mesin cuci, dan pompa air). Biasanya mesin ber “dut-dut” ria dari jam 18.00 WIB sampai tengah malam. Suara “dut-dut” adalah suara yang sedang saya akrabi namun belum bisa menjadi sahabat. Saya masih belum bisa mengabaikan suara itu ketika sedang berusaha tidur. Jadilah suaranya menjadi perampok jam tidur (Saya berharap gangguan suaranya hanya berhenti di situ dan tidak berlanjut pada gangguan yang serius pada telinga). Duet maut antara tidur siang panjang dengan suara “dut-dut” menjadi pelengkap penderita untuk tidur larut. Dan dengan tidur larut, berarti saya telah menghianati ERP yang telah saya susun: ketika badan lungkrah, salah satu upaya pertama adalah tidur panjang. Jadilah ketika memaksakan diri bangun untuk mengajar (Senin setelah upacara adalah pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan-PKn kelas II), badan jadinya lemes. Berpikir sejenak dan saya memutuskan untuk istirahat lagi dan tidak masuk sekolah. Pola kekenyangan tidur sepanjang hari dan malam hari tidak bisa tidur berlangsung sampai Rabu (dan selama itu pula saya tidak bisa mengajar). Pada Senin siang, sesaat setelah lonceng dipukul empat kali (yang berarti “pulang”), Sari dan beberapa anak kelas VI lainnya mengetuk rumah, menanyakan kondisi dan apakah saya bisa memberi terobosan (istilah untuk “jam tambahan untuk persiapan ujian”-saya membuka diri siang atau sore setiap hari bagi yang mau belajar) dan saya memohon maaf hari ini tidak bisa (begitu pula hari Selasa dan Rabu pada akhirnya). Pada hari Selasa (29/3), sewaktu istirahat kedua, segerombolan anak-anak datang ke rumah. Mereka adalah kelas V dan kelas VI yang ingin menjenguk. Saya sebetulnya ko’nak (Akit, tak mau) untuk dijenguk karena sebetulnya tidak sakit (hanya masalah lemes dan pola tidur yang kacau balau). Namun siapa yang berani menolak kedatangan anak-anak yang tulus dengan sekantong plastik buah tangan hasil dari mereka iuran, menyisihkan sebagian uang sakunya (atau meungkin untuk beberapa anak seluruhnya)? Apa karena mereka mencintai saya, sehingga dua hari tak masuk cukup untuk menjadi alasan untuk menjenguk? Jujur, itulah yang saya rasakan (semoga bukan ge-er). Sebagai catatan, seorang guru yang tidak masuk hampir sebulan karena sakit tidak pernah dijenguk sekalipun oleh anak-anak. Apa yang mereka bawa? Tiga buah kaleng susu kental manis (buatan Malaysia, cui!) yang setiap kalengnya berharga Rp 9.000,00. Dua buah biskuit (Made in Indonesia tapi saya baru melihat merk ini di Pulau Rupat) seharga Rp 5.000,00 setiap bungkus. Satu kaleng minuman penyegar (anti panas dalam) yang populer di Jakarta seharga (mungkin, harga di Hutan Samak) Rp 8.000,00. Berapa totalnya? RP 45.000,00! Anak kelas VI berjumlah 19 orang dan anak kelas V sebanyak 21 orang. Artinya, rata-rata mereka mengumpulkan uangg lebih dari Rp 1.000,00. Berapa uang saku mereka? Ah, kalian....... Empat hari setelah kejadian itu, saya pergi ke dokter yang most recomended di Dumai. Dumai adalah lokasi terdekat bagi kami, Pengajar Muda di Pulau Rupat, untuk mengambil uang di ATM. Untuk mengambil uang di ATM, saya setidaknya harus mengeluarkan uang Rp 216.000,00 untuk transportasi pulang pergi (belum untuk makan, menginap, hepi-hepi......). Dokter yang berpraktek di Jalan Sultan Syarif Kasim II (beberapa literatur menulisnya dengan Sultan Syarif Qasim II. Adalah pemimpin terakhir kerjaan Siak Sri Indrapura) berumur 40-an tahun memberikan beberapa vonis: saya kurang makan, saya kurang berolah raga dan saya kebanyakan kopi! Satu sisi, vonis dokter menyebalkan karena saya harus mengeluarkan Rp 140.000,00. Namun di sisi lain, tentu saja saya harus bersyukur bahwa saya tidak sakit. Ternyata “penyakit” saya masih serupa jaman mahasiswa (dan dua tahun setelahnya) ketika hidup bahagia di Ngayojokarto Hadiningrat. Dan ternyata, suami dari bu dokter adalah anggota KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada, organisasi alumni UGM) cabang Dumai. Vonis tentang kopi sungguh menyakitkan dan berat untuk dilaksanakan! Hidup KAGAMA! Hidup KOPI! Salam hangat dari Rupat, Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua