Kelas Enam Kehabisan Bensin
Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Kelas enam sudah semain tidak minat belajar. Tren penurunan minat belajar ini sangat terasa sesaat setelah mereka menyeleseaikan Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang dilaksanakan pada 11-15 April lalu. Hal ini sungguh mencemaskan karena pada 10 Mei ini mereka akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).
Saya tidak akan bermanis ria mengatakan bahwa semua anak-anak di hutan Samak hebat luar biasa. Hal yang ada justru sebaliknya. Ketidakmampuan mereka terhadap pelajaran, terutama yang berkaitan dengan angka, masih membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa melewati UASBN.
Masalah ini terasa sangat akut karena konsep dasar matematika masih kacau balau. Bagaimana kita bisa menjelaskan rumus luas persegi panjang kalau empat kali dua (4x2) saja mayoritas mereka masih membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya?
Saya harus berbalik arah dan memutar mesin waktu untuk membawa mereka kembali ke awal belajar matematika dengan konsep penjumlahan dan pengurangan. Dengan menggunakan jambu air, proses belajar menjadi lebih menarik. Begitu juga dengan konsep perkalian yang pada hakekatnya adalah penjumlahan berulang dan juga sifat distributifnya (saya menggunakan istilah “dibolak-balik tetap sama).
Empat kali dua (4x2) sama dengan dua kali empat (2x4) yang tak lain adalah ada jambu air sebanyak empat buah dan ada lagi jambu air sebanyak empat buah lagi (4+4). Atau ada dua buah jambu air, kemudian ada dua buah jambu air lagi, kemudian ada dua buah jambu air yang lain, dan kemudian ada dua jambu air lagi (2+2+2+2).
Waktu yang tersedia tinggal hitungan hari.
Sejak awal saya sudah membuak diri dengan menyediakan wakktu kapanpun bagi mereka untuk belajar matematika dan pelajaran lainnya. Pada awalnya mereka sangat semangat (tentu tidak semua anak, tetapi mayoritas). Mereka tidak memiliki buku matematika maka ketika saya ke Dumai, saya copy-kan anak-anak ringkasan materi pelajaran dan contoh soal UASBN. Setiap anak tidak kurang dari 70 halaman (tahukan kalian berapa rupiah harga foto copy satu lembar?) sedangkan di kelas enam ada dua puluh anak. Belum lagi bagaimana harus membawa tumpukan kertas itu mengarungi gelombang.
Awalnya mereka senang dan mau membukanya. Tidak ada yang berubah dari cara saya mengajar. Dan ini yang membuat saya betul-betul bingung. Ada apa dengan mereka? Saya juga telah measa melakukan variasi dalam mengajar.
Bagaimanapun, dibanding guru yang lain saya masih tetap favorit (dan maafkan kalau kalimat ini terdengar sangat tinggi hati). Bagi mereka, saya adalah “orang Jakarta” yang baik, tidak pernah memukul mereka, tidak merokok di depan apalagi di dalam kelas, sabar dalam membimbing mereka di papan tulis, rajin menyambangi ke setiap meja ketika mereka satu persatu mengerjakan tugas.
Namun, tren penurunan minat anak-anak sungguh sangat merisaukan. Tren yang seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan kelas lain. Tren yang dimulai sesaat setelah melewati UAS. Apa karena UAS telah selesai sehingga mereka merasa bebas (tetapi bukankah mereka paham ada UAS dan UASBN?). apa karena mereka bosan dengan saya? (bagaimana dengan fakta bahwa kelas lain justru sebaliknya?).
Kalian memang benar-benar menguras energi...........
Salam hangat dari Rupat, Salam Pengajar Muda.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda