Telur Busuk

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
Hal-hal yang berbau agraris relatif sukar ditemui di Rupat. Sayur-mayur, bumbu, ayam, telur apalagi daging adalah barang mewah di Rupat. Makan daging adalah ketika ada masyarakat yang sedang mengadakan pesta (entah pernikahan atau sunatan) dan pesta itu cukup besar sehingga tuan rumah menyembelih lembu atau kambing. Selain pada momen itu, saya belum pernah menjumpai adanya daging di Rupat. Semua yang saya sebut di atas harus didatangkan dari luar: Dumai. Dumai adalah mantra bagi masyarakat Rupat. Kata itu, yang berarti kota, adalah simbol kemajuan dengan segala kemewahannya. Dan memang Dumai adalah pintu masuk ke Rupat. Tentu, Dumai (yang kaya minyak) bukanlah penghasil sayur mayur ataupun daging. Sekali lagi, Dumai hanya menjadi pintu masuk bagi segala barang mewah itu. Sayur mayur berasal dari Bukit Tinggi, begitu pula dengan bawang merah dan segala bumbu. Daging? Saya tidak tahu alurnya dari mana. Dan kalau kita tanya orang-orang, ya dari Dumai. Barang-barang itu harus melewati perjalanan panjang untuk sampai ke Rupat. Moda transportasi ke Rupat untuk semua barang mewah itu adalah dengan menggunakan kapal kayu dan harus menghabiskan empat sampai lima jam terombang-ambing di laut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi telur yang harus melalui perairan dan dikocok-kocok ombak. Tentu ada penurunan kualitas selain karena panjangnya rantai distribusi yang tentu saja menghabiskan waktu. Dugaan saya tepat. Dua hari berturut-turut merupakan hari trauma dengan telur. Kemarin siang, saat stok bahan makanan tinggal dua buah telur, adalah momen pertama ketika rasa lapar akhirnya tertutup rasa mual dan jijik. Sepulang mengajar, hanya dua telur itu yang ada di dapur. Saya berinisiatif untuk memetik daun pucuk ubi dan merebusnya. Itu saya lakukan dan berencana saya padukan dengan telur goreng. Pasti akan sangat nikmat karena saya masih punya kecap manis dan saos pedas serta bubuk lada. Sepertinya rasa lapar akan segera berakhir ketika nasi sudah masak, pucuk ubi sudah direbus dan sekarang tinggal menggoreng telur. Rasa lapar tidak lagi tertahan ketika mencium bau nasi yang telah masak, namun sayang harus berputar 180 derajat ketika saat memecah telur (yang akan digoreng) dan ternyata telur itu sudah berwarna hitam dan dengan bau yang sangat meyengat, tentu saja busuk. Jadilah siang itu saya makan dengan nasi putih dan daun pucuk ubi rebus yang saya cocol dengan saos yang dipadukan dengan garam, bubuk lada hitam dan kecap manis. Dan hari ini kejadian berulang. Tepat lebih dari jam satu siang di mana mendekati batas toleransi perut terhadap lapar. Satu dari lima telur yang berencana kami goreng juga busuk! (saya bersama empat guru muda-honorer yang telah empat bulan gajinya belum dibayar-sedang mau makan siang sebelum menggarap tanah sekolah yang akan kami jadikan kebun). Bah! Telur macam apa itu? Mana pulak? Salam hangat dari Rupat, Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua