Cahaya-cahaya Malam Syahdu

Agus Rachmanto 22 Januari 2011
Saat menulis ini, sudah hampir tengah malam. Di kamar hanya ada nyala lampu minyak tanah kecil yang tergantung di tembok dekat pintu. Seandainya dikonversi ke lampu bohlam listrik, nyala pelita kami ini masih di bawah lampu 2,5 Watt. Ia enggan untuk menyala lebih terang. Mungkin lelah. Atau ia sadar harga minyak tanah memang tidak murah. Juga nyala layar monitor laptop yang jauh lebih terang dari pelita, yang saat ini merupakan satu-satunya sumber cahaya di rumah kami. Dan saya harus menghemat baterei dengan meredupkan nyala monitor. Setidaknya masih 18 jam lagi sampai diesel Pak Nasir menyala sehingga bisa nunut makan buat si laptop. Ada juga dua lampu indikator radio yang terletak di bawah pelita. Yang satu berwarna merah, yang lainnya berwarna tak jelas: bukan merah, bukan hijau. Sepertinya anak haram dari keduanya. Radio sedang mengalunkan lagu menyeh-menyeh cinta daripade acara Surya Cinta di Surya FM, Malaysia. Aih, Abang penyanyi suaranya melengking! Saya harus berterima kasih kepada penemu Accu sehingga saya bisa menikmati alunan Surya FM. Jadi serasa di Jogja, tengah malam nyetel Insomnia-nya Swaragama FM, radionya kampus paling keren: UGM! Sebetulnya, bisa saja ber-Insomnia-ria dengan live streaming. Tapi tentu saja syarat dan kondisi berlaku: internet! Dan wahai internet yang begitu murah meriah dan berserakan di Jogja, di Hutan Samak kau seperti sembako di jaman krismon ’98; Mahal dan langka. Dan cahaya lembut di luar sana, engkau seperti wajah kekasihku di Jogja. Begitu lembut dan anggun. Menyejukan. Karena cahayamu, rerumputan di halaman seperti anak gadis yang ditaburi bunga tujuh rupa. Cantik. Rembulan memang sudah penuh. Sejak sore sudah memamerkan kecantikannya. Saat menembus rimbun dedaunan pohon di belakang sekolah, keindahannya sudah tak mungkin lagi disembunyikan. Sayang pocket camera tidak bisa merekam keindahannya. Mungkin memang Tuhan bermaksud menyuruh kita menikmatinya dengan mata telanjang dan langsung, real time. Tuhan, aku mengucap syukur atas mata yang luar biasa (dan maafkanlah ia yang masih suka melihat yang bukan haknya). Rembulan semacam ini tentu saja tidak bisa dinikmati orang-orang Jakarta. Ah, Jakarta.... Rupanya selain saya, ada juga yang belum tidur. Jangkrik. Jangkrik yang membentuk koor. Mungkin sedang berlatih karaoke untuk perayaan Cap Go Meh tiga minggu lagi. Dan kawanan jangkrik tak mau kalah dengan penyanyi yang sedang menyeh-menyeh di Surya FM. Rembulan dan kau kawanan jangkrik, mari kita bisikan salam dari Hutan Samak untuk semua makhluk di dunia ini. Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua