Perkenalan Bengkalis

Agus Rachmanto 23 November 2010
sepuluh November, sekira jam sembilan pagi kami sampai di Bandar Udara Syarif Kasim II, Pekabbaru. kami langsung melanjutkan perjalanan ke Bengkalis. oh ya, ketika saya menyebut Bengkalis, yang dimakksud adalah Pulau Bengkalis. kami tidak melewati Duri untuk menyebrang di Dumai tetapi lebih memilih menyusuri Sungai Pakning melewati Siak. kami juga melewati Istana Kerajaan Siak yang berada di tepi sungai. sayang kami tidak bisa mampir ke bangunan yang terlihat eksotis dari luar itu. semoga suatu saat saya akan bisa masuk ke istana itu. kami berangkat dengan empat mobil, sampai sekira jam 3 sore di Pelabuhan Pakning untuk kemudian menunggu kapal dan menyebrang ke Bengkalis. sekira jam 4, kami tiba di Bengkalis untuk selanjutnya kami makan sore di pantai di daerah Bantan. sekira mahrib, kami sampai di penginapan dan 30 menit kemudian, kami sudah ditunggu Bupati dan jajaran pemerintah kabupaten di rumah dinas bupati. kami berangkat dengan baju batik. saya diminta untuk memperkenalkan sepuluh Pengajar Muda di hadapan khalayak ramai. saya menerima perintah itu dengan sedikit mengerutkan kening: mencari bahasa yang bisa mendekatkan kami dengan Bengkalis. saya telah diberi tahu kalau masyarakat Bengkalis adalah masyarakat dengan kultur Muslim. tentu saya harus membuka percakapan dengan salam. tapi salam seperti apa? Muslim seperti apa? kata orang, mayoritas di Bengkalis adalah "Muslim NU". ok, saya akan mengingat-ngingat lagi bagaimana cara salam dalam sebuah forum NU. setelah salam, ,saya harus membaca hamdalah lalu sholawat nabi. itu batas minimal dan saya akan melakukannya. ketika tiba waktunya kami berkeliling meja-ketika pertamna kali datang-untuk bersalaman, hampir setengah orang laki-laki yang ada, kemudian saya tahu bahwa beliau adalah wakil bupati, tidak mau berjabat tangan dengan perempuan. ah, ini sih bukan "Islam NU". dan saya dapat PR tambahan bagaimana membuka salam! dari "tipologi" saya menyimpulkan bahwa banyak pejabat yang tidak mau bersalaman adalah "Islam non-NU" dan saya sekarang harus membuat bagaimana caranya agar menyampaikan salam sama seperti mereka menyampaikan salam. permasalahan terletak pada kata "sayyidina" dalam sholawat nabi. bagi kalangan Nahdliyin, kata ini menjadi keharusan dalam pengucapan sholawat. tetapi bagi banyak kalangan, kata ini seharusnya tidak perlu ada, bahkan ada yang menganggap berdosa. saya tidak sedang berdiskusi secara teologis, apa dan bagaimana "sayyidina" itu. saya hanya sedang bercerita, bagaimana  caranya saya bisa dekat dengan keluarga baru kami ini. dan salah satu cara yang bisa membuat kami dekat adalah mencari persamaan. dan betul, saat kata pertama saya terucap-salam- hampir semua hadirin melihat ke arah saya. saya merasa saya cukup berhasil mengucapkan salam dengan fasih. selanjutnya, saya mengucapkan hamdallah. ini masih netral dan bisa diterima oleh semua kalangan. bagaimana dengan sholawat nabi? dengan "sayyidina" atau tidak. bagaimana berdiri di atas "semua golongan"? menjadi bagian dari saudara-saudara kami yang baru? "sayidina" adalah pilihan "ya" atau "tidak" dalam bersholawat nabi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua