Sosok Yang Terlupakan

Agus Arifin 7 Agustus 2012

Sabtu, 21 Juli 2012 (Malam 1 Ramdhan)

Saat kutulis cerita ini, orang tua itu sedang berbincang bersama tetangganya khas denganlogat mandarnya. Ya, orang yang sebentar lagi akan kuceritakan pada kalian semua, tentang perjuangannya, kesederhanannya dan keikhlasannya. Sepertinya saat ini beliau sedang bersiap-siap untuk pergi ke kebunnya yang letaknya jauh naik di atas bukit. Karena memang pagi-pagi begini adalah jadwal beliau untuk berkebun. Suaranya terdengar sangat jelas, dari tempatku menulis saat ini. Karena rumah yang beliau tempati tepat berada di depan rumahku tinggal. Di rumah panggung sangat sederhana itulah beliau dan ibunya beserta lima orang anaknya tinggal. Istrinya telah lama tiada, akibat penyakit ganas yang menggerogotinya. Sementara, beliau masih memiliki anak bungsu yang saat ini duduk di kelas 6 SD, Namanya Ichal Gunawan. Dia biasa dipanggil Ichal. Dia adalah anak yang aktif dan cerdas. Badannya kecil dan kurus. Meski sudah tak lagi memiliki ibu, gurat-gurat keceriaan selalu terpancar dari wajahnya. Harus kuakui bahwa muridku yang satu ini adalah murid yang talenta, karena selain menonjol di mata pelajaran, dia juga menonjol di bidang lain, seperti baris berbaris, praktek sholat, baca puisi dan berpidato (ceramah). Jika melihat wajahnya yang selalu menampakkan keceriaan, mungkin orang tak pernah menyangka bahwa ia sudah tak memiliki seorang ibu di sampingnya. Ya, bagi anak seusianya, sosok ibu pastilah sangat dibutuhkan untuk selalu memberikan ketenangan  di hatinya. Namun, kini aku belajar darinya, anak kecil yang luar biasa. Ya, aku belajar untuk menerima hidup apa adanya. Aku yakin, dia juga tak menginginkan ibunya pergi begitu cepat. Akan tetapi takdir berbicara lain. Sementara hidup harus tetap berjalan. Ada dua pilihan di sana....tetap menjalani hidup dengan keceriaan atau sebaliknya,  terus meratapi nasib yang menyedihkan. Dan anak itu, mengambil pilihan yang tepat. Tetap hidup dengan keceriaan, meski ia sangat memenuhi syarat untuk menjalani hidup dengan penuh kesedihan.

Kembali pada sosok laki-laki tua yang sempat kusinggung di awal, yang tidak lain adalah ayahnya Ichal. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan ‘Pak Imam’. Karena kebetulan beliau adalah imam di mushola dusun Tatibajo (tempatku bertugas). Berbicara mengenai jabatan sebagai imam tersebut, beliau rupanya telah menjalankannya selama 20 tahun. Sungguh waktu yang tak bisa dibilang singkat. Sedikit suka dan banyak duka yang beliau rasakan selama menjadi imam di kampung ini. Aku bersyukur, karena bisa tahu sejarah perjuangan beliau selama 20 tahun itu, sehingga aku dapat banyak belajar darinya. Tepat pada malam pertama bulan Ramadan (versi Pemerintah), seperti biasa di kampung Tatibajo, seorang imam memiliki kewajiban untuk membaca doa di setiap rumah warga, karena setiap rumah pasti mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk menyambut bulan Ramdhan. Aku, sebagai Pengajar Muda juga mendapatkan kewajiban yang sama yaitu menemani pak Imam kemanapun beliau pergi, karena jika pak Imam di undang, sudah pasti aku juga diundang. Sementara di dusun Tatibajo terdapat sekitar 35 rumah. Anda bisa bayangkan jika di setiap rumah saya harus duduk kurang lebih sekitar 20-30 menit dan wajib makan nasi yang ada, berapa banyak waktu yang harus saya sediakan dan betapa sakitnya perutku karena kekenyangan..:). Untung saja, saat itu yang mengadakan syukuran hanya 10 rumah, karena yang lainnya tak memiliki ayam untuk dipotong. Sementara menurut adat di sini, syukuran tersebut wajib memotong ayam. Ya, begitulah adat, terkadang sangat menyulitkan, tapi aku tak mau ambil pusing dengan masalah itu. Aku ikuti saja, dengan berfikir positif bahwa jika kita ingin bersyukur, maka harus totalitas yaitu dengan memberikan apa-apa yang terbaik dari kita. Jika di sini ayam menjadi makanan yang sangat mewah, maka itulah yang akan dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur kepada sang Pencipta.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WITA. Aku merasakan letih yang tak terkira setelah berjalan dari rumah ke rumah. Tak hanya itu, perutku juga terasa sakit, karena harus memakan setiap hidangan yang disiapkan oleh tuan rumah. Alhamdulillah, rumah bapak Sugiono yang baru saja kami kunjungi adalah rumah terakhir yang mengundang kami untuk membaca doa. Ditengah perjalanan pulang, aku pun menyempatkan diri untuk berbincang dengan sosok laki-laki tua bersongkok hitam yang sedang berjalan di sebelahku dengan memegang senter ditangan kanannya dan rokok menyala di tangan kirinya.

“ Pak imam, di sini acara baca doa seperti ini setiap tahun pasti ada ya?” tanyaku penasaran.

“ Kalo disini tiap tahun pasti adami pak. Ini belum seberapami pak. Sekarang kampung ini sudah bagus...ya 5 tahun terakhir ini mi pak. (NB: aku menelan ludah, sambil berkata dalam hati “bagus darimananya, lhawong kampung terpencil begini nggak ada lstrik, nggak ada sinyal dibilang bagus” J) . Sekarang rumah-rumahnya sudah ngumpul jadi satu. Kalau dulu pak, tidak seperti ini mi” ucapnya, sembari menghela nafas.

“Memangnya kalau dulu bagaimana pak Imam?” tanyaku semakin penasaran

“Kalau dulu pak, rumah warga masih terpisah-pisah di kebun masing-masing mi. Jadi rumah warga jauh-jauh. Ada yang dibukit sana, ada juga yang dibukit sana” kisahnya sembari mengarahkan telunjuknya ke arah bukit-bukit yang dimaksud. Aku tertarik dengan kisahnya. Saking tertariknya, aku tak mau bertanya lebih banyak. Kubiarkan beliau bercerita apa saja yang ingin beliau ceritakan dari pengalamannya.

“Jadi pak Guru, dulu sebelum kampung ini terbentuk, saya kurang lebih selama 15 tahun, setiap malam pertama bulan ramadhan, pergi naik turun bukit-bukit itu untuk baca doa di setiap rumah warga. Sendirian pak saya....biasanya baru selesai (semua rumah telah di datangi) jam 5 pagi. Demi Allah pak...saya senang mi menjalaninya...saya ikhlas lillahi ta’ala. Meski sepeserpun waktu itu, tak ada bantuan dari pemerintah untuk imam seperti saya mi. Saya sama sekali tak memikirkan itumi pak. Dalam fikiran saya, yang penting warga saya senang. Itu sajami pak”ucapnya lirih.

Mendengarnya, aku seakan tertampar dengan tamparan yang sangat keras. Ya, tamparan yang menyadarkanku, tentang hakekat sebuah pengabdian. Kulihat raut wajah sosok laki-laki tua itu mulai keriput dan badannya pun mulai ringkih. Tak sesegar 15 atau 20 tahun yang lalu. Sementara sampai sekarang, tak ada tanda-tanda bahwa akan ada pemuda kampung ini yang pantas menggantikannya untuk menduduki jabatan sakral ‘imam Dusun’. “Sekarang saya sudah tua mi pak, semoga kalau saya dipanggil Allah nanti, ada yang bisa menggantikan saya mi.” “Aku dapat merasakan kegelisahan yang beliau rasakan. Cintanya kepada kampungnya telah mendarah daging. Baginya, kampung ini adalah bagian dari sejarah hidupnya. Karena di sanalah, kenangan manis mulai dari beliau dilahirkan, sampai beliau meninggal nanti(insya Allah), akan terukir dan bahkan tersimpan dalam memori anak cucunya kelak. Terimakasih pak Imam...malam ini aku telah belajar banyak hal darimu. Bahwa hidup bukanlah tentang seberapa banyak yang orang lain bisa berikan, melainkan seberapa banyak yang bisa kita berikan untuk orang lain...Terimakasih....

 

Catatan AGUS ARIFIN

Pengajar Muda Kabupaten Majene

Sulawesi Barat..

Jauh dari Sinyal HP dan Sungai Sebagai kamar mandi

Tetap Tersenyum Menikmati.....


Cerita Lainnya

Lihat Semua