Ritual Mimpi
Agus Arifin 21 Maret 2012(Oleh: Agus Arifin)
“Bermimpilah...! Dan kumandangkan mimpimu kepada seluruh alam. Biarkan semua orang tahu dan setelah itu, tak ada jalan lain bagimu selain terus maju dan berjuang..karena hanya ada dua pilihan yaitu mundur dan menyerah sebagai pengecut atau tetap melangkah sebagai kesatria...”
Sabtu, 25 Februari 2012
“Bismillahirrohmanirrohim...Cita - cita saya ingin menjadi Guru... Cita - cita saya ingin menjadi Dokter... Cita- cita saya ingin menjadi Tentara....Manjadda wa Jada, Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil...Amiiin”
Kalimat itulah yang akhir-akhir ini selalu terdengar bersahut-sahutan di setiap pagi sebelum dimulainya pelajaran. Ya, murid-muridku meneriakkannya begitu lantang dan penuh pecaya diri. Awalnya kebiasaan ini berawal saat aku memutuskan untuk membuat ‘Dinding Cita-Cita’ di kelas 4. Kertas karton berwarna Orange yang kutempel di dinding kelas itu ternyata cukup menarik perhatian mereka (red: murid-muridku). Untuk menambah nilai seni dan keindahan, kuhias sedemikian rupa sehingga lebih enak dipandang, kemudian kutempelkan guntingan kertas warna berbentuk kotak (sejumlah muridku), lalu kutuliskan nama-nama mereka dan kuminta mereka untuk menuliskan cita-cita mereka di kotak itu. Sebelum mereka menuliskan cita-citanya, seperti biasa, jiwa motivatorku kembali muncul. Rasanya akan hambar jika anak-anak tak dibakar motivasinya sebelum benar-benar menuliskan cita-cita mereka di dinding itu. Mulut ini sudah tak sabar untuk kembali membakar semangat mereka. Memotivasi orang memang sudah menjadi hobiku. Maklum sejak masih menjadi mahasiswa, menjadi trainer/motivator adalah profesiku, jadi wajar kalau pelajaran pengembangan diri kali ini terasa begitu istimewa bagiku.
“Anak-anak bapak yang hebat...siapa disini yang punya cita-cita?” tak ada satu pun diantara memereka yang mengangkat tangannya. Mereka yang tadinya heboh, sekarang sepertinya sudah sepakat, satu suara, senada dan seirama untuk memilih satu kata ‘DIAM’. Aku nyengir sejenak, sempat bingung hendak berkata apa. Kupandangi lamat-lamat wajah mereka, satu persatu. Kulihat masih ada harapan di sana, “ Mungkin mereka bukannya tak mau bercita-cita, tapi mereka tak tahu bahwa memiliki cita-cita adalah sebuah keharusan,” fikirku mencoba menghibur diri.
“Anak-anak, setiap manusia yang hidup di dunia ini haruslah punya mimpi/cita-cita, termasuk kalian. Karena mimpi atau cita-cita itulah yang akan membuat kalian tetap bertahan dan selalu bekerja keras untuk mencapainya. Jangan pernah remehkan cita-cita kalian, karena cita-cita itulah yang akan membuat hidupmu lebih baik di masa depan. Pak Arif sudah membuktikannya. Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit, hingga tak ada satu pun orang yang sanggup mengambil apalagi merusaknya. Bercita-citalah....kalian bebas ingin menjadi apa....itu hak kalian....tapi pesan pak Arif, jika kalian telah memilih cita-cita, maka bercita-citalah yang baik...Agar kalian disayang Allah, dan kelak Allah akan menolong kalian untuk mewujudkan cita-cita itu” Sejenak suasana terasa hening. Kusisiri wajah-wajah polos di hadapanku. Mereka tampak serius mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutku. Syukurlah, ada tanda-tanda motivasi mereka mulai tersulut dan kemudian terbakar. Sedetikpun aku tak mau menghentikan moment ini. Kuambil seluruh uang yang ada di dompetku (1 lembar uang 100 ribuan, 4 lembar uang 50 ribuan, 1 lembar uang 20 ribuan, dan beberapa lembar uang 10 ribuan, 5 ribuan dan seribuan, entah berapa jumlahnya aku lupa). Kukibaskan uang itu ke wajah mereka satu persatu.
“Wuaaaaaaa dooiik....! (Wuaaaaaa duuiit)” ucap mereka tampak takjub melihat lembaran uang yang nangkring di tanganku (haha..belum tau dia klo sebenarnya uang itu buat bayar bulanan ke ibu angkat...jumlahnya pun masih kurang,,,hiks..). Maklum, kebanyakan dari mereka memang jarang sekali melihat uang sebanyak itu. Kondisi ekonomi semua muridku di sini rata-rata kurang mampu. Penghasilan orang tua mereka pun terbilang rendah yaitu rata-rata 200-500 per bulan. Keheranan mereka sangat beralasan, pasalnya uang jajan mereka saja paling tinggi mungkin 2 ribu sehari, itulah kenapa di sini, uang seribu masih sangat berharga. Padahal di kota, uang seribu tak memiliki arti apa-apa. Ibaratnya jatuh di jalan orang pun tak akan mau mengambilnya karena gengsi (cuma uang seribu). Tapi di sini beda, anak-anak bisa berebut tak karuan demi mendapatkan uang itu.
“Gimana anak-anak, banyak gak uang pak Guru....?” tanyaku singkat
“ Banyaaaaaak....!” jawab mereka serentak dengan raut wajah tetap keheranan atau lebih tepatnya mupeng (muka pengen).
“Kalau punya uang banyak itu enak, mau apa saja bisa beli. Mau makan enak, bisa. Mau beli sepeda bisa. Pokoknya enak dech. Dan yang paling penting, kalo punya uang banyak kalian bisa nolong orang yang lagi kesusahan, pahalanya besar lho...kalian bisa bangun masjid di kampung ini, biar masjidnya bagus, nggak jelek seperti sekarang. Nah, gimana, mau banyak uang nggaaak?”
“Mauuuuuu...!”jawab mereka penuh semangat
“Kalau mau, syaratnya gampang... Bercita-citalah....belajar dan beribadah yang rajin. Ingat anak-anak, keberhasilan hanya akan dicapai dengan kerja keras. Orang yang malas tak akan mendapatkan apa-apa. Percayalah, karena Pak Arif telah membuktikan itu. Pekerjaan seberat apapun pernah Pak Arif rasakan demi cita-cita pak Arif untuk terus sekolah dan menjadi Guru seperti yang kalian lihat sekarang. Semua tidak diperoleh dengan cara mudah, KERJA KERAS itu kuncinya” koarku sembari mengepalkan tangan memberi semangat kepada mereka. Kulihat wajah-wajah di hadapanku tampak lebih serius dari sebelumnya. Dalam hati bersorak kegirangan, “yes berhasil...alhamdulillah...”. beberapa detik kemudian, kuambil sapu lidi yang tersandar di dekat lemari buku, lalu kugenggam erat bagian ujungnya.
“Anak-anakku, ketika kalian telah memilih sebuah cita-cita, genggamlah erat cita-cita itu seperti engkau menggenggam sapu lidi ini. Jangan pernah kau lengah dan terbujuk untuk melepaskannya walau apapun yang terjadi. Sekali lagi, ketika kalian telah memilih cita-cita kalian di masa depan, jangan pernah ragu untuk melangkah. Kejar terus cita-cita itu. Biarkan orang lain berkata apa. Tak usah kalian dengarkan....! Biarkan mereka menertawakanmu, Biarkan.....! Karena kelak kalianlah yang akan tertawa bahagia....sementara mereka mungkin akan menangis. Jangan pernah kalian meragukan kekuatan mimpi/cita-cita...! karena jika sedikit saja kalian ragu, maka kalian akan seperti sapu lidi ini. Jika kalian ragu untuk memukulkannya...(sembari memukulkan pelan sapu lidi ke meja)...maka kalian bisa lihat hasilnya...dengarkan suaranya...pelan sekali bukan...? bahkan hampir tak terdengar...Tapi akan berbeda hasilnya jika kalian yakin untuk memukulkannya...”Sembari memukulkan sapu ke arah meja sekeras mungkin. “Daaaak....” suaranya keras sekali. “Aaaaaaaa...”anak-anak berteriak histeris sembari menutup telinga mereka. Beberapa anak kelas sebelah berlarian menuju ruang kelas 4 untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Mungkin mereka mengira aku sedang mengamuk atau sedang ada sebuah perkelahian mirip aksi Mak Lampir dan Tong Bajil dalam Film ‘Tutur Tinular’ yang menjadi favorit orang-orang di kampungku. Aku tak peduli. Kulihat murid-muridku ada yang masih tetap menutup telinga, ada pula mengelus-elus dada, pertanda bahwa mereka telah berhasil kubuat jantungan. Aku tersenyum puas...puas sekali bahkan.
“Kalian bisa lihat hasilnya anak-anak...berbeda bukan? Manjadda wajada...! barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil. Kalau kalian rajin belajar dan terus bekerja keras, maka yakinlah...kalian bisa menjadi apapun yang kalian inginkan.....Manjadda wajada...apa anak-anak...? tanyaku mencoba menggugah semangat mereka.
“Manjadda wajadaaa......! .Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil..!” balas mereka dengan suara lantang. Lega rasanya mendengar kalimat itu keluar dari mulut mereka. Lelah seharian rasanya hilang begitu saja saat kulihat mata mereka berbinar penuh semangat.
“Nah, anak-anak sekarang tuliskan pada ‘Dinding Cita-Cita’ ini, ingin menjadi apa kalian di masa depan..? Apa cita-cita kalian?...Ucapkan Bismillah dan silahkan tulis di dinding ini dengan penuh keyakinan...” seraya menyerahkan sepidol berwarna biru kepada mereka. Satu persatu mereka pun mulai menuliskan cita-cita mereka. Luar Biasa, kebanyakan mereka ingin menjadi guru, 1 orang ingin menjadi dokter dan satu orang masih bingung memilih menjadi guru atau menjadi tentara sehingga ia memutuskan untuk menuliskan dua-duanya. Namanya Harianto. Sengaja kubiarkan dia menuliskan dua cita-citanya. Aku merasa tak perlu membatasinya. Karena kuyakin, ketika nanti dia telah dewasa, dia akan tahu mana cita-cita yang lebih mebahagiakan baginya. Biarlah dia yang memilih sendiri, apa yang terbaik untuknya. Sekarang yang terpenting bagiku adalah...mereka telah berani bercita-cita... itu saja cukup.
Usai pengisian dinding cita-cita, kuminta mereka mengeluarkan selembar kertas dan menuliskan alasan mengapa mereka memilih cita-cita itu? Sungguh tak dapat kusembunyikan kebahagiaan yang kurasakan saat itu. Tatkala melihat wajah-wajah polos mereka yang begitu bersemangat untuk menuliskan alasan-alasan mereka memilih cita-cita. Tak lama kemudian kuminta mereka mengumpulkan apa yang telah mereka tulis. Aku hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang menjadi alasan kuat saat mereka menentukan sebuah cita-cita. Kubaca satu per satu kertas yang bertumpuk tipis di mejaku. Tak semuanya sempat kubaca memang, hanya 3, selebihnya kuniatkan untuk membacanya di rumah.
Sugiyono : “Cita-citaku ingin jadi guru, akan kuajari anak-anak yang belum bisa baca tulis supaya pintar semua...walaupun tiada teman aku belajar sendiri...”
Arif : “Aku ingin ilmu di sekolah. Cita-citaku ingin jadi guru Karena di kampung Tatibajo Sedikit Gurunya. Saya bahagia kalau bisa mengajar anak-anak Tatibajo”.
Harianto : Saya ingin cari ilmu, karena Saya ingin jadi guru, di kampung saya tidak ada guru
Tulisan yang sangat polos dan jujur. Senyum kecil penanda keharuan menyumbul dari mulutku. Bahasanya sangat sederhana namun mampu membuatku merinding saat membacanya. Membakar kembali semangatku untuk terus memberikan yang terbaik bagi mereka. Aku bahagia, karena ternyata harapanku sama dengan harapan mereka, yaitu suatu saat nanti akan ada guru yang asli berasal dari kampung ini, hingga nanti sekolah ini tak lagi kekurangan guru dan tak lagi tergantung dengan guru-guru yang ada di kota. Itulah harapan kecil kami.
“Anak-Anak yang bapak cintai, tadi kalian telah menuliskan cita-cita kalian pada “Dinding Cita-Cita” ini. Ingat anak-anak...gengam erat cita-citamu jangan sampai lepas apalagi hilang..Jaga terussemangat kaklian...! Oleh karena itu, bapak ingin setiap pagi sebelum kalian memulai pelajaran, kalian berdiri di depan “Dinding Cita-Cita” ini dan teriakkan...!
“Bismillahirrohmanirrohim...Cita- cita saya ingin menjadi...........(diisi sesuai dengan cita-cita kalian) Manjadda wa Jada, Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil...Amiiin..”
“Bagaimana anak-anak....? Setuju?...”tanyaku berusaha mencari kepastian.
“Sepakaaaaaaaaaat....”jawab mereka serentak.
“Sepakaaaaaat?”tanyaku kembali
“Setujuuuuuuuuuu.....”
Kulihat mulut mereka mulai bekomat-kamit mempraktekkan bacaan yang baru saja ku ajarkan kepada mereka. Ya, bacaan untuk sebuah tradisi kelas yang kuberi nama “RITUAL MIMPI”. Jangan tanyakan kenapa aku memilih nama itu. Aku pun tak tahu. Tiba-tiba saja nama itu terlintas di fikiranku...dan aku kutangkap kesan sakral dari nama itu. Ada sebuah harapan yang kutitipkan dari tradisi “RITUAL MIMPI” ini. Semoga muridku akan selalu yakin dengan cita-cita mereka..selalu menjaganya dan berjuang untuk mengejarnya..hingga kelak ketika mereka telah dewasa dan menjadi orang hebat, mereka akan selalu ingat tentang “RITUAL MIMPI” ini. Ya, tradisi unik yang mengawali langkah besar mereka untuk mengejar mimpi-mimpi mereka.
Keesokan Paginya...dengan sangat terpaksa aku tak bisa mengajar seperti biasanya. A harus brangkat ke kota. Ada kegiatan Pengajar Muda yang harus kuhadiri di sana. Jauh-jauh hari, aku memang telah meminta izin kepada kepala sekolah untuk tidak masuk pada hari ini. Anak-anak sudah saya titipkan kepada seorang guru yang kupercaya untuk menggantikanku mengajar mereka. Pagi-pagi aku berangkat (sekitar pukul 07.00 WITA, mengendarai motor bapak angkatku. Motor itulah yang menjadi teman setiaku, saat aku sedang ada tugas di kota. Tak lama motorku berjalan, saat roda-rodanya menggelinding halus di depan sekolah, tiba-tiba terdengar suara seorang anak memanggilku....
“Pak Guruuu....! Mau kemana pak...?” sepertinya aku kenal suara itu. Kucari sumber suara yang kumaksud. Lalu kuarahkan pandanganku padanya. Ya, sesuai dugaanku, Itu suara Sugiono muridku. “Wah, kenapa anak ini jam segini sudah ada di sekolah?”fikirku. Biasanya jam segini dia dan anak-anak yang lainnya masih asyik berenang di sungai. Aku mulai penasaran. Dia kemudian berlari ke arahku. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah berdiri ceria di hadapanku. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba mengulangi pertanyaannya...
“Bapak...Bapak...mau kemana pak? Tanyanya kembali
“Bapak mau ke kota..ada acara di sana..”jawabku sembari tersenyum ke arahnya...
“Oh Bapak...tadi kodi’ (aku) sudah baca ‘Dinding Cita-Citanya’...”ucapnya, sembari menebar senyum ke arahku...
“Oooya?...wah bagus...bagus...” jawabku sembari mengcungkan kedua jempol untuknya.
“Wah...tapi Pak Arif belum percaya nich kalo nggak liat langsung.hehehe..coba diulangi lagi...pak Arif pengen liat...” ucapku menggoda.
“Aiih,,,Bapak...e...”sahutnya seraya menggaruk-garuk kepalanya. Tanpa fikir panjang ia pun berlari kembali menuju ruang kelas...dan taukah anda apa yang dia lakukan? Dia kembali melakukan “Ritual Mimpi” itu demi untuk meyakinkanku.
“Bismillahirrohmanirrohim...Cita - cita saya ingin menjadi Guru... Manjadda wa Jada, Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil..”
Suaranya begitu lantang. Senyumnya begitu polos. Pandangannya tertuju padaku, seperti sedang mengharapkan pengakuan. Segera kutangkap sinyal itu dan kuacungkan kedua jempolku sembari menyembulkan senyum paling ceria yang kumiliki. Ah, Ayah mana yang tak bahagia melihat anaknya begitu ceria dan bersemangat? Pak guru mana yang takkan tersenyum melihat murid yang dulunya selalu tertunduk saat ditanya tentang cita-citanya, kini dapat mengatakan dengan kepala tegak...”Aku ingin menjadi GURUUU...Aku ingin menjadi dokter...Aku ingin....Aku ingin.........” Oh Robbii, terimakasih...karena kini mereka tak lagi takut untuk bermimpi. Sekali lagi aku masih tetap yakin...bahwa hidup adalah akumulasi mimpi. Bahwa kenyataan hari ini adalah hasil dari mimpi yang dulu dan kenyataan esok hari adalah buah dari mimpi-mimpi yang terajut saat ini. Anak-anakku yang kucintai, genggam erat mimpimu nak...pupuklah ia agar subur dan bersemi selalu. Tak usah kau fikirkan kata orang....tak usah kau fikirkan bahwa orang tuamu tak cukup mampu untuk membantumu mewujudkan cita-citamu....lupakah kalian wahai anakku...? Bahwa masih ada Allah yang kan selalu menjaga dan menyayangimu...? Allah tak pernah tidur sayang...Jika kau mau untuk sedikit bersabar dan bekerja keras...kemudian kau tengadahkan tanganmu untuk meminta pertolongannya...sembari kau teteskan air mata penuh harapmu...niscaya Dia akan menolongmu nak... Bahwa rizkimu ada di tanganNya... bukan di orang tuamu. Bahkan takdirmu pun tertulis rapi dalam kitab Lauhul Mahfudz-Nya.. Orang tua hanya perantara...tetaplah ceria seperti saat ini dan yakinlah selalu bahwa apa yang kau tulis di “Dinding Cita-Cita” dan kau ucapkan di ‘RITUAL MIMPI’ suatu saat akan terjadi dan bukan lagi menjadi mimpi “MANJADDA WAJADA...Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil...dan Pak Gurumu ini telah membuktikan keampuhan kalimat sakral itu..dan sekarang giliranmu nak...kalian anak hebat...meski kalian tinggal di gunung...takkan kubiarkan cita-citamu tertutupi oleh tingginya gunung-gunung itu...jangan berhenti hanya di lembahnya, dakilah puncaknya dan bawalah cita-citamu kesana agar semua orang dapat melihat dan mata mereka terbuka dengan lebarnya...bahwa anak gunung pun juga berhak memiliki cita-cita....dan anak gunung pun juga bisa menjadi orang besar. Kalian hebat...Kalian pasti bisa nak...Bismillahi Tawakaltu Alallah...#Prajurit Mimpi#
*Catatan Agus Arifin
Pengajar Muda Kabupaten Majene
Dusun Tati Bajo tanpa sinyal HP... Sungai sebagai Kamar Mandi
Tetap Tersenyum dan Menikmati
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda