"Pak Guru, Kitong Mau Upacara!!!"

Agung Rangkuti 31 Oktober 2016

Hari itu, disuatu senin pagi di bulan oktober hujan membasahi tanah Poom. Sama seperti hari-hari biasanya, saya tetap melangkahkan kaki menuju SD YPK Bethel Poom I untuk melaksanakan tugas.

Sesampainya disekolah, kondisi sekolah masih lengang. Seakan seperti manusia yang ikut terjaga lebih panjang ketika hujan membumi. Namun tidak lama, satu persatu para merah putih mulai berdatangan dengan kaki kosong tanpa sandal atau sepatu berpayungkan daun keladi dan daun pisang.

“Salamat pagi Pak Guru,” ucap mereka sambil mencium tangan saya dan melempar senyum.

“Selamat pagi,” jawab saya sambil menyambut salam dan senyum mereka.

Sampai akhirnya hujan berhenti dan mentari pagi mulai menyinari rumput hijau sekolah kami. Perlahan-lahan pula sekolah menjadi ramai oleh para jagoan merah putih. Saya pun bergegas menuju serambi sekolah untuk membunyikan lonceng tiga, tanda kegiatan pembelajaran segera dimulai. Lonceng disekolah kami hanyalah velg mobil bekas yang sudah berkarat dan dipukul kencang dengan stik besi. Benturan antara stik dengan velg berkarat tersebut menghasilkan suara “teeeeng, teeng, teeng” yang cukup menggema diseluruh kampung.

Lonceng berbunyi, para jagoan merah putih langsung masuk ke salah satu kelas untuk memulai berdoa bersama. Setelah selesai berdoa, sebelum pembelajaran kelas rangkap dimulai saya memberikan energizer dan juga motivasi pagi kepada mereka.

“Pak Guru kitong mau upacara!!!” tiba-tiba pernyataan lantang itu terdengar dari sudut belakang kelas dari seorang merah putih yang bernama Denis.

Sesaat kemudian disusul dengan suara lainnya yang juga sepakat dengan Denis, “iyo, iyo Pak Guru kitong upacara bole. Kitong kan su latihan baris satiap sabtu sore toh.” Tambah Yohana yang selalu rajin datang latihan baris setiap sabtu sore.

Mendengar permintaan mereka yang begitu mendadak, jujur saya sangat terkejut dan panik. Hal ini dikarenakan persiapan yang kami lakukan untuk upacara belum terlalu matang. Terlebih bagi saya yang di hari itu hanya guru satu-satunya yang hadir disekolah. Memang setiap sabtu sore saya memberikan pelatihan kepada para jagoan merah putih untuk latihan baris-berbaris, dengan output upacara bendera. Dilatihan kami yang terakhir, saya ingat betul hari itu saya tidak menjanjikan bahwa latihan ini untuk persiapan pelaksanaan upacara dihari seninnya. Selain itu yang saya bingungkan adalah perlengkapan upacara seperti teks protokol, teks pancasila dan pembukaan undang-undang dasar 1945 belum saya siapkan. Terlebih lagi kondisi saat itu hanya saya sendiri guru yang hadir disekolah.

“Tepuk diam!!!” Teriak saya untuk mengkondisikan kelas yang sudah riuh meminta upacara bendera.

“Proook… proook…prook… Suuuuuuit”. Sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Namun pengkondisian seperti ini tidak bisa dilakukan hanya satu kali untuk membuat kelas jadi tenang. Butuh 3-4 kali sampai akhirnya mereka diam.

“Betul, kitong memang su latihan kemarin sabtu. Tapi latihan kemarin itu masih sangat kurang, kitong masih butuh latihan lagi untuk upacara”. Begitu jawab saya memberikan pengertian.

“Ah sudah Pak Guru, upacara saja supaya kitong tau dimana kurangnya latihan kitong Selama ini.” Mendengar jawaban tersebut saya merasa tertampar dan tertantang.

Akhirnya saya pun mengamini permintaan mereka dengan syarat mereka tidak boleh bermain-main saat upacara dilaksanakan. Petugas langsung mengambil tempat dan menyiapkan diri. Sedangkan beberapa siswa kelas besar mengatur barisan siswa kelas kecil. Sementara saya sudah siap dengan multi-peran sebagai protokol, pembina upacara dan juga tukang foto untuk mendokumentasikan upacara perdana kami. Saat upacara akan dimulai, tiba-tiba dari arah laut datang seorang guru menuju sekolah, Bapak Naman Kadiwaru namanya. Saya pun berbagi peran dengan beliau, meminta kepada beliau untuk menjadi pembina upacara, sedangkan saya tetap menjadi protokol dan dokumentasi.

Upacara dimulai, dengan sedikit canggung para petugas merah putih memainkan peran dengan kemampuan terbaik mereka yang di dapat dari latihan selama ini. Sedangkan para merah putih yang lain berbaris rapi menurut versi mereka masing-masing dan siap merekam setiap moment upacara perdana kami. Puncaknya adalah ketika pengibaran bendera. Terlihat senyum tegang dari ketiga petugas merah putih. Namun perlahan tapi pasti dengan kaki kosong mereka melangkahkan kaki menuju tiang bendera, melaksanakan tahapan pengibaran bendera yang sudah mereka dapat saat latihan.

“Banderaaaa Siap!!!” Pekik pengibar dengan suara lantang.

“Kepada Bandera Merah Putih, Hormaaaaaat graak!!!” Teriak pemimpin upacara dari tengah lapangan.

Sedangkan disisi lain seorang siswa perempuan sudah siap ‘palu’ atau drijen memandu melagukan Indonesia Raya mengiringi merah putih menuju batas tertinggi tiang bendera. Sementara para merah putih yang lain dalam posisi siap mengangkat tangan memberikan penghormatan kepada bendera yang perlahan naik. Sementara saya, sibuk memotret momen penting bagi kami ini dalam kondisi campur aduk.Sampai akhirnya bendera merah putih sampai pada tempatnya.

“Tegaaaaaaak Grak!!!” Perintah pemimpin upacara saat merah putih sudah sempurna dinaikkan.

Terlihat kelegaan di raut muka mereka, begitu pun dengan saya sangat lega setelah merah putih berhasil dikibarkan dengan baik, meski dalam prosesnya saya memberikan instruksi untuk beberapa kekeliruan yang terjadi. Semua tahapan upacara berlanjut sampai akhirnya upacara selesai dan para merah putih kembali masuk kelas dengan pengalaman upacara bendera yang baru pertama kali terlaksana disekolah kami. Hari itu, hari bersejarah bagi saya dan terlebih bagi para jagoan merah putih. Hal ini dikarenakan selama ini disekolah kami tidak pernah melaksanakan upacara bendera. Padahal tiang bendera dan lapangan bendera sudah tersedia.

Terakhir kali mereka upacara adalah ketika peringantan hari kemerdekaan Indonesia 17 agustus 2016 yang lalu. Rupanya pengalaman ikut upacara bendera di hari kemerdekaan Indonesia yang lalu meninggalkan kesan dihati mereka. Sehingga mereka memaksa saya melaksanakan upacara bendera untuk melepas kerinduan akan khidmatnya mengikuti proses upacara bendera. Hari itu pun saya belajar dari jagoan merah putih ini, bahwa tidak perlu suatu hal yang sempurna untuk tetap memupuk rasa cinta terhadap bangsa. Setelah ini, semoga kami tetap bisa terus melaksanakan upacara bendera.


Cerita Lainnya

Lihat Semua