Mulok: Dari Papeda Sampai Cita-Cita

Agung Rangkuti 1 April 2017

Status sebagai Pengajar Muda yang merupakan guru pendatang serta kurangnya pengetahuan saya tentang budaya lokal cukup menghambat saya ketika akan mengajar pelajaran muatan lokal. Meskipun saya sudah berusaha mencari materi dan informasi mengenai budaya lokal tetap saja rasanya tidak percaya diri ketika membagikan materi tersebut kepada siswa. Sampai akhirnya saya membuat satu program "Mama Bapak Masuk Sekolah" sebagai solusi atas hambatan yang saya alami ini.

Pada pogram ini saya memanfaatkan para orang tua siswa, dengan mengundang mama dan bapak masuk ke sekolah untuk mengajarkan budaya lokal yang mereka kuasai. Banyak sekali kebudayaan lokal yang bisa diajarkan kepada siswa seperti memasak makanan lokal, membuat Noken, membuat Gatak, membuat sisir bambu, membuat ukiran, membuat anyaman, bernyanyi, menari dan berbahasa lokal.

Ini adalah salah satu kesempatan "Mama Bapak Masuk Sekolah", para mama datang mengajarkan memasak makanan khas Papua, yakni papeda. Ada empat mama yang hadir pada kesempatan itu,  mereka merupakan orang tua dari siswa kelas 5 yang mendapatkan pelajaran mulok.

Siswa dibantu para mama menyiapkan bahan dan perlengkapan. Setelah itu para mama mengambil peranan untuk "putar papeda" istilah masyarakat disini untuk membuat papeda.

"Sagu basah dicampur dengan air dan asam buah kedondong kemudian disaring. Setelah itu langsung disiram dengan air mendidih dan langsung diputar, aduk rata sampai sagu menjadi adonan seperti lem, itu tandanya papeda sudah jadi." Kira-kira seperti itulah langkah-langkah yang sangat sederhana membuat papeda. Walaupun pada kenyataannya tidak semudah dan sesederhana itu, karena jika air panas yg disiram terlalu bayak maka adonan akan terlalu cair. Sebaliknya jika disiram air panas terlalu sedikit adonan akan terlalu keras.

Setelah itu, kami langsung santap siang bersama. Nah dibagian ini yang paling saya suka. Bukan karena bisa makan sebanyak-banyaknya tapi karena bisa duduk bersama dengan para mama dan ngobrol santai tentang perkembangan anak mereka disekolah.

"Pak guru, Yohana pu cita-cita mau jadi polwan kah? Sa baru tau" Tanya mamanya Yohana, sambil menunjuk ke dinding yang bergambar perahu cita-cita, yang saya buat bersama anak-anak.

"Iyo, itu sudah mama. Yohana bilang dia mau jadi Polwan pertama dari Poom." Jawab saya antusias, menyampaikan cita-cita Yohana yang pernah ia katakan kepada saya.

"Andeeee, gaya sampe. Tara kosong memang." Jawab mama Yohana lagi sambil tertawa.

"Tarapapa mama, Yohana sudah berani bermimpi supaya dia tetep rajin sekolah buat menggapai mimpinya. Mama bantu awasi dan bimbing Yohana belajar dirumah ya, mama yang lain juga toh selalu awasi anak-anak belajar dirumah" Ucap saya lagi.

"Itu sudah pak guru." Jawab mereka.

Obrolan kami berlanjut, membicarakan hal-hal sederhana apa yang bisa para mama lakukan untuk kemajuan pendidikan, seperti halnya sesederhana memutar papeda.

Para mama cukup antusias, meskipun awalnya mereka malu-malu, namun akhirnya keluar juga ide dari mereka. Ada yang mau bantu mengajar bahasa Poom, ada yang ingin mengajari menganyam sampai ada yang mau bantu menggarap lahan kebun sekolah kami. Sederhana, semampunya namun bersama.

Hari itu hati saya seakan ditenangkan dengan kerelaan empat mama ini menyisihkan waktunya untuk lebih memilih datang ke sekolah dibanding pergi tokok sagu, berkebun atau mencari ikan, hanya untuk putar papeda. Saya sadar betul tantangan mengenai pendidikan itu sangat besar, terlebih di Papua. Akan tetapi memasuki bulan kesebelas penugasan saya disini, saya pun semakin sadar semangat dan potensi yang ada disini justru jauh lebih banyak. Saat ini, meski baru hitungan jari tapi saya yakin betul itu akan sangat berarti. Semoga akan lebih banyak mama-mama, bapak dan elemen kampung lainnya yang rela menyisihkan waktunya untuk pendidikan di Poom.


Cerita Lainnya

Lihat Semua