Revolusi Malam

Agung Firmansyah 22 Mei 2011
Mas Guru Punya Cerita: Revolusi Malam Hampir semua lobi-lobi dilakukan pada malam hari. Operasi pun direncanakan akan dilaksanakan di gelapnya malam. Karena itu kami menamakan gerakan kami Revolusi Malam. I. Agitasi Fase pertama. Fase penyusupan ide. Butuh lebih 1 bulan untuk PDKT kepada masyarakat. Akhirnya, suatu siang di bulan Desember 2010 setelah sholat Jumat, obrolan malam sebelumnya membuahkan hasil nyata. Pak Mantan Imam mengumumkan Taman Pengajian Al Quran Tatibajo akan dihidupkan lagi Senin depan. Syukurnya warga dan anak-anak menyambut rencana ini dengan antusias. Tapi, kok Mantan Imam? Ceritane mbulet, Rek! Terima saja dulu :D. Di fase pertama ini TPA kami punya 3 senjata: Lampu Petromax punya bapak, 4 Iqra’ sekarat sumbangan seorang caleg beberapa tahun lalu (calegnya menang lho – ga penting :mrgreen: ), dan 5 Qur’an tanpa Al Fatihah milik anak-anak. Yang mengaji sekitar 25-an. Senjata kami berkembang. 4 Iqra’ sekarat diganti dengan 1 Iqra’ bagus pemberian Bu Hikmah, guru agama SD kami. Mungkin Ibu Guru hatinya tersentuh dengan kegiatan kami. Atau mungkin kasihan membayangkan murid-muridnya belajar dengan Iqra’ bekas perang :P. Hehe, entahlah. Yang penting niatnya baik, insya Allah. Agar TPA ini bisa terus hidup saat Pengajar Muda pulang, maka anak-anak perlu bayar ngaji. Kenapa hayo? Jer Basuki Mawa Bea :D. Untuk fase pertama, uang bayaran digunakan untuk membeli minyak tanah Petromax. Cara belajar:
  1. Anak Quran diajar Pak Mantan Imam, membaca satu-satu.
  2. Iqra’ saya ajar, menggunakan 1 buku Iqra’ yang ada secara bergantian.
  3. Sistem antrian: yang anteng → baca duluan → pulang duluan. Kami menyebutnya Sistem Anteng-antengan.
  4. Malam Sabtu adalah Hari Cerita. Cerita para Nabi, sahabat, dan kisah-kisah lain yang menginspirasi.
Tantangan yang dihadapi di fase ini adalah ... anak kecil kok disuruh nunggu/ngantri, harus anteng lagi. Mana bisa?! Haha. Tantangan kedua, Iqra’nya satu. Jadi habis baca ya anak-anak pulang. Di rumah tidak bisa mengulang bacaan. Saat ngantri meraka juga tidak bisa belajar. Tantangan ketiga, Petromaxnya byar-pet. Kalau si petro lagi ngadat, libur deh. Horee...! (gurunya yang bilang :P) II. Krisis Fase kedua ditandai dengan perginya Pak Mantan Imam ke Kalimantan. Lumrah bagi orang Majene untuk mencari nafkah di Borneo. Dan akhir Desember itu gilirannya Pak Mantan Imam – dengan beberapa warga desa lainnya. Ngajinya? Ya tetap jalan. Metode belajar yang digunakan sama dengan sebelumnya, masih pakai Sistem Anteng-antengan dan Hari Cerita. Bedanya, ngajar sendirian. Anak Iqra’ dihabiskan semua baru anak-anak Quran belajar mengaji. Alhamdulillah Pak Imam (the real Imam) sesekali ikut datang mengajar. Pak Imam tinggal di kebunnya – nun jauh di tengah hutan. Makanya jarang bisa ikut mengajar. Tantangan yang dihadapi di fase ini juga sama dengan fase sebelumnya ... ditambah ... antrian mengaji yang semakin panjang. You know lah efeknya :D. Jika PA = panjang antrian, KB = keributan bocah, dan c= konstanta, maka:

KB ≈ PA  . c

Rumus di atas berasal dari sebuah teori yang kami temukan, namanya Children Queue Theory (Teori Antrian Anak) :cool: . Queue? Hehe..., jadi rindu programming :P. Nilai konstanta c belum berhasil kami temukan :D. III. Revolusi Mengaji Kata Pak Imam sebenarnya ada bantuan untuk TPA dari depag kabupaten berupa uang lelah guru dan buku (Iqra’ dan Quran). Berangkatlah Firman dan saya ke depag Majene beberapa kali. Singkat cerita awal Februari itu alhamdulillah kami dapat 25 Iqra’. 20 untuk Tatibajo, 5 untuk Buttutala, tempat Firman mengajar. 25 Iqra’ itu bukan dari depag melainkan dari para pegawai depag. Alhamdulillah, kami jadi nambah channel lagi di Majene. Karena dari perorangan maka Iqra’nya pun nano-nano. Ada yang hijau, ada yang hitam. Ada yang besar dan ada yang kecil. Dengan adanya iqra’-iqra’ baru tersebut maka metode belajar TPA Tatibajo pun berubah. Revolusi besar tak terelakkan :mrgreen: :
  1. Iqra’ dibagi secara acak kepada anak-anak. Jadi semua anak Iqra’ masing-masing pegang buku.
  2. Antrian mengaji tidak lagi berdasarkan siapa yang anteng tetapi berdasar siapa yang paling rajin belajar. Kami menamakannya Sistem Rajin.
  3. Metode mentor sebaya coba kami terapkan. Berdasarkan pengalaman mengajar, anak-anak Quran kami bagi jadi 3 level. Level 1, anak Quran yang relatif sudah bagus terutama di bagian panjang pendek bacaan. Level 2, anak Quran yang lancar bacanya tapi panjang pendeknya belum pas. Dan level 3, anak Quran who supposed to be anak Iqra’ but I keep them in Quran level to keep their feeling as seniors so that they keep going Mengaji. With my permission level 1 can teach level 2 and level 3, so do level 2 to level 3.
Sepertinya Sistem Rajin berhasil mengatasi kelemahan Sistem Anteng-antengan. Anak-anak tetap ramai saat mengantri ngaji. Hanya saja kali ini beda, mereka ramai karena sibuk membaca Iqra’ :-). ‘Yang rajin baca duluan’ did the work. Sistem Rajin pun berhasil menekan nilai konstanta cdalam rumus:

KB ≈ PA  . c

sehingga nilai KB tetap dalam batas kendali. Karena nilai c bisa diberubah tergantung metode yang digunakan maka Teori Antrian Anak pun berubah menjadi Teori Relativitas Antrian Anak. Relativitas ... . Jadi rindu fisika :-). Setelah hampir sebulan berjalan ternyata masa revolusi belum selesai. Beberapa tantangan baru muncul akibat Revolusi Mengaji gelombang I. Pertama, stok cerita habis untuk Hari Cerita. Dan ternyata kami juga belum bisa mengandalkan metode mentor sebayauntuk anak Quran sepenuhnya. Penerapan penuh metode itu menjadikan level 2 dan level 3 jadi korban, mereka tak pernah diajar gurunya.  Revolusi Mengaji II pun terjadi:
  1. Stok cerita habis. Malam Sabtu tak lagi hanya Hari Cerita tetapi juga Hari Hafalan. Kami belajar hafalan surat pendek, niat wudhu, dan bacaan sholat. Oh iya, kami juga menyanyikan lagu wudhu yang pernah Fauzan ajarkan kepada saya.
  2. Aplikasi metode mentor sebaya diperluas dan dipersempit. Diperluas maksudnya Level 1 Quran kami minta ikut mengajar anak-anak Iqra’. Kami sengaja hanya membolehkan level 1 karena kami ingin anak-anak Iqra’ yang baru belajar membaca Al Quran ini belajar dari yang paling bagus bacaannya. Dipersempit maknanya dengan adanya perluasan di atas maka anak-anak Iqra’ lebih cepat habis/pulang. Hasilnya, waktu saya untuk mengajar anak-anak Quran lebih banyak. Jadi saya sebagai guru tetap bisa mengontrol kondisi bacaan level 2 dan level 3 Quran kedati tidak setiap hari saya mengajar mereka.
Ada 1 hal yang tidak berubah setelah 2 revolusi ini, Petromax masih setia menemani :D. Di akhir Februari Pak Mantan Imam pulang, alhamdulillah. Beliau kaget melihat perubahan yang ada. Dulu saat ditinggalnya pergi, TPA hanya punya 2 guru. Kini, kami punya 6. Pak Mantan Imam kagum. Anak-anak muridnya kini sudah bisa menjadi guru ngaji walau mereka masih SD. Bersambung ke Episode Revolusi Malam Berikutnya...

...

Cerita ini juga ditulis di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua