Mas Guru Punya Cerita: Perampok!

Agung Firmansyah 2 Februari 2011
Mas Guru Punya Cerita: Perampok! Minggu-minggu ini Majene sedang digoncang isu perampok. Kalau dari ceritanya, mereka sebenarnya tidak merampok tetapi menculik dan membunuh. Korban disergap lalu diambil bagian tertentu dari tubuhnya, ada yang bilang mata, ada yang bilang telinga. Namanya juga isu. Bagaimana warga dusunku, Tatibajo, menyikapi hal ini? GEGER! Orang dusunku memang pada dasarnya gampang heboh. Jadi isu penculik (para tetangga tetap menyebutnya perampok, padahal ga ngrampok) langsung jadi trending topik. Banyak dugaan-dugaan muncul, mulai yang logis seperti penculikan di mobil yang berkedok angkutan umum (plat hitam wajar jadi angkutan umum) sampai yang kurang logis seperti penculik berani masuk Tatibajo (apa mereka mau mati, berani nyatronin kampung di tengah hutan?). Aku sendiri antara percaya dan tidak. Tapi buatku, masalah bukan di situ. Kalau ditanya apakah aku jadi takut tinggal di sini, jawabannya jelas tidak. Jalan akses masuk dusun ini cuma 2, jalan setapak atau sungai. Kedua jalur saling beriringan. Dari sungai bisa lihat jalan, dari jalan bisa lihat sungai. Minimal butuh 20 perampok dengan badan gempal yang dilengkapi senjata tajam untuk menyerang Tatibajo. Sekali lagi, berbadan gempal. Jadi secara teknis Tatibajo aman dari serangan (terbuka), apalagi saat ini warga sudah mengaktifkan ronda malam. Lalu, masalahnya di mana? Masalahnya ada di murid-muridku. Sejak isu merebak, anak-anak yang mewarisi sifat heboh dari orang tuanya ini jadi makin heboh. Dan yang paling merepotkan adalah mereka jadi cengeng. Sedikit-sedikit bilang takut. Diminta buang sampah di belakang sekolah tidak mau. Takut perampok katanya, padahal di kampung sendiri, masih terang lagi. Mau dijelaskan sepanjang apapun mereka tetap bilang takut. Berbicara dengan orang yang ketakutan memang susah mengedepankan logika, apalagi yang diajak bicara anak-anak. Sebenarnya ketakutan anak-anak ini logis juga. Di antara semua orang, yang paling rentan jadi korban penculikan memang anak-anak. Makin malam, anak-anak makin takut keluar rumah. Saat gelap, kampung jadi sepi suara bocah. (Sementara ini) Tidak ada lagi yang main Wiro Sableng-Wiro Sablengan di jalan. Tapi ada yang aku saluti dari anak-anak ini. Seberapapun takutnya mereka, setiap maghrib mereka tetap berangkat mengaji tanpa disuruh. Pertanyaan ‘mengaji Pak?’ dan teriakan ‘HOREEE’ mereka masih menjadi penyegar suasana sore hari di Tatibajo. Okey, mari main if-else sedikit. THEN hari sudah maghrib OR gelap THEN saat mengaji dimulai. IF saat mengaji dimulai THEN masjid jadi tempat berkumpulnya anak-anak. Artinya IF para penculik masuk THEN masjid jadi sasaran empuk. Efeknya sampingnya buat anak-anak: 1. Dulu anak-anak suka main buka-tutup pintu saat ngaji. Sekarang semuanya ga ada yang mau duduk dekat pintu. 2. Dulu semuanya rebutan minta baca duluan biar bisa pulang duluan. Sekarang? Tetap rebutan baca duluan tetapi tidak berani pulang (^o^) . Efek sampingnya buatku: 1. Punya job tambahan, keliling kampung untuk mengantar bocah-bocah pulang selesai mengaji. 2. Ngajar ngaji pakai celana training, siap-siap kalau ada penculik menyerang jadi tendangan tae kwon do-nya bisa keluar. CIAAAT! :cool: (songong) 3. Ga boleh keluar kampung malam-malam sama Bapak, padahal dulunya juga sudah dilarang (tapi tetep aja keluar :mrgreen: ). 4. Ada ekskul dadakan: Fear Management for Dummy Kids (emang ada? :D).

Cerita Lainnya

Lihat Semua