Mas Guru Punya Cerita: Api yang Mengalir

Agung Firmansyah 12 Januari 2011
Mas Guru Punya Cerita: Api yang Mengalir Seri Konstruktivisme Sebelum berangkat ke Majene, kami sudah membuat sketsa kira-kira alat peraga apa saja yang nanti digunakan dan bahan serta alat apa yang akan diperlukan untuk membuat peraga tersebut. Sesampainya di Tatibajo, Mas Guru mendapati bahwa karton adalah barang mewah, begitu juga dengan alat/bahan lainnya. Berada di tengah-tengah hutan dengan jalan akses yang berlumpur membuat Tatibajo terisolir dari dunia luar. Sebagai gambaran seberapa terisolirnya, anak-anak sekolah menggunakan lidi untuk membuat garis karena mistar hanya di jual di hari Sabtu – hari pasar, itupun mereka harus keluar hutan untuk mendapatkannya. Lalu, bagaimana dengan sketsa alat peraga tadi? Yang jelas, rencana harus diubah. Mari Membaca Seperangkat alat peraga di atas sebenarnya merupakan miniatur dari proses merebus air, benar bukan :D? Lalu, kenapa tidak kita ajak saja anak-anak ini untuk mengamati proses merebus air yang asli? Di Tatibajo, kegiatan merebus air atau masak-memasak lainnya sudah menjadi kebiasaan anak-anak sejak kecil. Perempuan merebus di dapur, yang laki-laki merebus di hutan saat mencari rotan. Semua proses, langkah-langkah, dan dampak yang terjadi ketika api dinyalakan sudah terekam kuat diingatan mereka. Jadi, yang perlu dilakukan guru untuk mengajarkan bab Perpindahan Panas ‘hanyalah’ menggambar. Aku buat gambar air direbus ala kadarnya, lengkap dengan kayu bakar (bukan kompor), panci besi, dan air. Titik-titik terjadinya perpindahan panas (konduksi, konveksi, dan radiasi) diberi tanda panah. Sebelum memulai diskusi, aku gunakan kata-kata saktiku, “Anggap ini kayu bakar dan ini panci ya. Anggap saja :mrgreen: .”. Seketika anak-anak akan tertawa. Oh iya, sekilas tentang tertawa. Kata Pak Syahid, ‘sesepuh’ trainer di pelatihan Pengajar Muda, tertawa adalah saat yang paling bagus untuk memasukkan doktrin kepada anak. Aku tidak tahu ini benar atau tidak, tapi setiap kali kelas tertawa maka ‘ajaran’ ini aku praktikkan. Kali itu, aku ucapkan, “Rajin belajar ya.” :-D . Diskusi kelas dibuka. Awalnya obrolan dimulai dengan pertanyaan sederhana dulu, identifikasi contoh dan bukan contoh, “Ok, lihat gambar. Kalau kayu ini ujungnya dibakar, terus kamu pegang ujung yang satunya, kira-kira terasa panas tidak?”. “Kalau panci ini bawahnya dibakar, terus kamu pegang pegangannya, panas tidak?” “Kalau airnya?” Jawaban anak-anak itu tentulah benar semua. Seperti yang tadi disebutkan, semua proses dan dampak saat air direbus sudah menempel kuat di ingatan mereka. Sekarang saatnya melemparkan pertanyaan kunci, “Mengapa air dan pegangan panci ikut panas padahal bukan bagian itu yang dibakar api? Sedangkan kayu yang satu ujungnya dibakar tapi ujung lainnya tidak panas? Mengapa?”. Jawaban mereka bervariasi, mulai dari yang “Apa Pak?” :mrgreen: sampai yang nyambung, “Karena kayu bakar terbuat dari kayu (ya iyalah :P) dan panci terbuat dari besi Pak.”. Saat kukejar mengapa air juga ikut panas, jawabnya karena air terbuat dari air. Haha..., bagus! Coba dites, “Kira-kira, benda apa lagi yang kalau ujungnya dibakar tapi ujung yang lain tidak terasa panas?”. “Kursi Pak...!”, kata Jimran, anak yang tadi menjawab “Apa Pak?”. “Sapu...!”, lanjut Mita. “Coba sebutkan 9, tadi sudah 2.”, lanjutku. “Pensil, plastik, karet, tas, baju, papan, bolpen.”, jawab murid lainnya secara bergantian. “Kalau yang seperti panci, yang kalau ujung satunya dibakar maka ujung yang lain ikut panas, apa saja? Coba sebutkan 7 benda.”, lanjutku. Semua anak berhasil menyebutkan benda-benda yang aku minta. Sebenarnya mereka sudah menangkap konsep isolator dan konduktor. Yang perlu dilakukan guru sederhana saja, mengelompokkan 2 macam benda yang sudah murid sebutkan lalu memberinya nama ‘Isolator’ dan ‘Konduktor’, gampang kan :-D?!. Fun learning (semoga :P) belum berhenti. Inti pelajaran ini adalah mengapa besi bila ujung satunya dibakar maka ujung lainnya ikut panas, padahal kayu tidak demikian. Diskusi kelas dimulai lagi. Seperti biasa, jawaban mereka sering kali belum langsung tepat sasaran dan tugas guru adalah mengapresiasinya agar mereka terus mau mencoba menjawab. Sampai akhirnya muncul ‘Satrio Pamungkas’ untuk bab ini, Darmawi namanya. Dia bilang, “Karena kalau besi apinya bisa mengalir Pak. Kalau kayu, apinya tidak mengalir.” Api mengalir! Itulah kata kuncinya. “Ya, sedikiiiit lagi. Wi, apa apinya benar-benar mengalir?”, lanjutku. “Eh bukan apinya, Pak. Panasnya yang mengalir.”, jawabnya. Alhamdulillah, diskusi tentang perpindahan panas berjalan lancar. Guru tinggal melanjutkan diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan, meminta contoh, dan memberi apresiasi pada siswa. “3 tepuk buat Awi. (plok...plok...plok).”, dan si Darmawi pun nyengir. Di balik segala kekurangan fasilitas dan alat, banyak bahan belajar alami di kehidupan sosial maupun alam Tatibajo. Dengan berbagai perbedaan yang ada, aku yakin semua lokasi sekolah memilikinya. Guru hanya perlu membuka pikiran dan membaca situasi sekitar. ‘Bacalah’, itu perintah pertama Tuhan kepada Nabi-Nya. Di balik semua kesulitan di sekolah, pasti ada kemudahan-kemudahan yang Allah sandikan. Kita sebagai guru ‘cukup’ meng-encode sandi-sandi itu agar bisa terbaca. Buka pikiran lalu mari membaca \(^o^)/ ! Happy teaching guys...! Perhatian! Ini sedang belajar perpindahan panas, bukan lagi ngajarin ngepet :mrgreen: . Bersambung …. ! Nantikan episode-episode ‘Mas Guru Punya Cerita’ di blog yang sama.|Cerita ini juga ditulis di sini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua