Melihat Binar Mata Sang Budayawan Muda

Agung Hari Cahyono 27 Mei 2013

“Kemah” dan “Budaya” dua kata yang ketika terpisah menjadi sangat lazim terdengar, namun jika berdampinggan terasa asing bagi sebagian besar orang Lebak. Yah,  KEMAH BUDAYA, begitulah nama acara yang berawal dari pembicaraan ringan Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang kemudian dikomunikasikan kepada berbagai pihak sehingga akhirnya mendapat tanggapan positif dari Dinas Pendidikan Kab. Lebak dan terealisasi sebagai aktivitas perkemahan dimana 140 anak SD se-Kabupaten Lebak dan 60 anak SMA dan SMK Kota Rangkasbitung kambali mengenal dan menggali bagian dari kebudayaan Lebak yang semakin hari semakin menjadi asing di rumahnya sendiri. Berawal dari keprihatinan tersebut, kami berpikir harus ada momentum yang menjadi wadah bagi anak-anak dan kami juga sebagai Pengajar Muda tuk kembali menemukan esensi dari kearifan lokal Lebak.

Terlaksana selama 3 hari dari tanggal 24-26 Desember 2013 di Dodiklatpur Ciuyah, ternyata tak semulus yang kami pikirkan, berbagai reaksi penolakan bahkan santer terdengar, dikarenakan berbagai alasan. Ada yang menafsirkan kata “Kemah” yang melekat pada Kemah Budaya diidentikkan hanya sebagai kegiatan Pramuka. Sehingga kemah budaya dianggap sedikit janggal atau bahkan “nyelenneh”,  karena sejatinya jika kegiatan Pramuka berarti harus memiliki guru pendamping dan melaksanakan aktifitas Pramuka dan budaya hanya sebagai suplemen. Tetapi kami yakin bahwa melalui komunikasi yang baik, para orang tua kami di Lebak pasti akan memahami maksud diselenggarakannya kegiatan ini semata-mata untuk menjaga kedaulatan budaya Lebak di tanah Lebak. Melalui diskusi yang panjang dan suasana panas yang terkadang tak dapat terhindarkan, mengingat bagaimanapun itu, kami tetaplah hanya sebagai anak muda yang bukan lahir di Lebak namun merasa sebagai anak Lebak yang berbicara dengan orang tua kami yang pastinya lebih paham tentang budaya Lebak atau yang dibutuhkan oleh anak-anak Lebak, MUNGKIN? Tak hanya esensi Kemah dan Budaya yang menjadi pertanyaan, bahkan waktu pelaksanaan dan danapun tak ayal jadi tantangan tersendiri buat kami untuk mempersuasi para “Empunya Pendidikan Level Kecamatan” agar menyetujuinya. Diantara berasumsi bahwa waktu pelaksaan yang kami pilih akan menghambat waktu libur para guru pendamping yang seyogyanya menggelitik rasa kami. Mana boleh mereka sendiri yang menghendaki adanya guru pendamping dari setiap kecamatan, lalu mereka sendiri yang menyangsikan kesediaan dirinya untuk meluangkan waktu menemani anak-anaknya. Tanpa mencoba merefleksi atas apa yang kami lakukan, namun jika itu alasannya, layaknya kamilah  yang seharusnya berkata demikian, anak-anak dari beberapa pulau nun jauh di sana yang sekiranya dapat berlibur melepas rindu dengan sanak keluarga, namun memilih tinggal dan menginisiasi kegiatan ini. Karena kami yakin, Kemah Budaya bukan acara Indonesia Mengajar, tetapi acara anak-anak Lebak yang rindu akan kearifan petuah-petuah yang termaktub dalam Budaya Lebak.

Terlepas dari berbagai kerikil penghalang tersebut, Kemah Budaya jelas dapat terlaksana berkat dukungan para  guru, UPT, SMA-SMK, Dinas pendidikan dan para pelatih. Di Kemah Budaya, bukan hanya kami yang belajar banyak,  anak-anak kami juga  yang berkesempatan untuk belajar dan unjuk kebolehan mereka dalam menari, mementaskan drama, mengeksplorasi karya sastra, mengolah tubuh dalam silat dan memainkan alat musik angklung. Masih jelas terbayang suasana canggung dan rasa capek setelah menempuh perjalan jauh menuju ciuyah, seketika itu pula melebur dalam polah tawa dan antusiasme anak-anak ini mengeksloprasi budaya yang seakan menajdi hal baru bagi mereka. Kulihat, jemari-jemari mungil mereka secara lentik menggerakkan selendang sembari bergerak gemulai mengikuti alunan musik. Bahkan, beberapa anak laki-laki yang pada awalnya enggan menari, mengingat mayoritas peserta kampung tari adalah wanita, dan seperti biasanya banyak orang yang mengidentikkan tari sebagai aktifitas wanita, namun siapa yang sangka ternyata merekalah yang akhirnya berada di depan bergerak dengan lincahnya menikmati tarian tersebut.

Dari kampung musik, terdengar suara merdu penuh nuansa magis dari benda sederhana yang terbuat dari bambu yang dikenal dengan nama Angklung. Betapa alat musik ini menjadi semakin hidup ditangan anak-anak. Ternyata tak hanya alat elektronik canggih atau permainan game muktakhir yang mampu mebuat anak begitu semangat dan betah berlama-lama bermain dengannya, angklung pun punya pesona tak kalah hebatnya. Tak sedikit diantara anak-anak di kampung musik yang ternyata belum pernah memainkan alat musik angklung, namun siapa yang menyangka dalam waktu kurang dari 2 hari mereka sudah mahir memainkan sebuah lantunan lagu karya Bapak Asep Sukmara, yakni Rangkasbitung Kota Pelajar.

Eksplorasi karya sastra para Pujangga Indonesia tak kalah mencuri perhatian. Di bawah asuhan Kang Ubay, anak-anak menyelam begitu dalam terlarut dalam karya sastra nan indah. Sempat terpikir olehku, apakah anak-anak mampu memahami makna di balik rangkaian kata-kata tersebut.Tapi yang pasti, yang terlihat olehku, mereka begitu menyenangi dan menghayati setiap bagian dari pementasan yang mereka lakoni.

Dari kampung seni peran, anak-anak melakoni sebuah kisah yang sarat akan petuah-petuah dan permainan tradisional anak-anak. Lakon itu berjudul, “Sanim, Mencuri Ayam.” Tingkah polah lucu mereka, berlatih menangis, tertawa, cemberut, ataupun marah-marah. Terdengar sangat mudah yagh, namun tidak begitu bagi mereka. Kudengar pertanyaan lucu dari salah seorang peserta yang begitu tertarik tuk mendalami perannya, ia berkata, “bagaimana caranya akting menangis?” sontak semua peserta lain tertawa, yah memang cara menangis tak pernah diajarkan di sekolah. Bermain lempart sandal. “lumpat tali”, dan “orai-orai” menjadi suguhan tersendiri dalam lakon ini.

Lain lagi dengan kampung silat. Silat yang selama ini kutahu, tak seperti yang ada di Lebak. Yah, silat disini dipadu dengan alunan gendang dan alat musik tradisional lainnya , namanya Pencak Silat Taka Kendang. Gerakannya sungguh sangat menarik mata, kekuatan dan ketegasan gerak dipadu dengan kelembutan musik jelas akan sangat  menghibur. Suguhan luar biasa, apalagi olahraga yang identik dengan maskulinitas ini diajarkan oleh seorang wanita. Luar biasa…

Selain anak-anak SD yang secara langsung mempelajari budaya Lebak melalui 5 (lima) kampung di Kemah Budaya, ada juga anak SMA-SMK yang berperan sebagai kakak panitia pelaksana dan kakak pendamping anak-anak SD tersebut. Masih jelas teringat, sauna canggung yang tercipta saat rapat awal kami meminta kesediaan mereka tuk bergabung. Betapa beberapa anak tampak panic ketika di daulat sebagai kakak pendamping, karena bagi mereka mengurusi anak-anak  yang jumlahnya cukup banyak, jelas bukan perkara mudah. Namun semua itu berubah, mereka begitu bertanggung jawab dengan tugas yang mereka emban, mereka begitu bersemangat menjalani semua aktifitas, mereka begitu piawai mengasuh adik-adiknya sebagaimana seharusnya kakak yang baik. Semua ketakutan-ketakutan, memang akan hanya berakhir sebagai ketakutan semata, kita hanya perlu menjalaninya dan menjadi terbuka atas setiap kemungkinan.

Melalui apa yang kudengar, dipertegas dengan apa yang kulihat, lalu kuimani dengan apa yang kurasa, saya yakin merekalah Sang Budayawan, Budayawan Lebak yang nantinya akan menjaga kedaulatan Kebudayaan Lebak. Kujumpai sang budayawan muda dengan mata berbinar-binar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua