Bahasa Indonesia, Identitas Bangsa ??
Agung Hari Cahyono 14 Juli 2012Hari ini merupakan hari pertama saya berada di Desa Lebak Situ, Kec. Lebakgedong, Kp. Gunung Julang. Kepala sekolah mengajakku untuk ikut serta sosialisasi penulisan STTB (Surat Tanda tamat belajar) atau yang lebih dikenal dengan istilah ijasah.
Kata beliau, “Sekalian Agung memperkenalkan diri dengan pejabat UPT dan para Kepala Sekolah.”
Dengan berboncengan menggunakan sepeda motor, saya dan Pak Ebi menyusuri jalan terjal berbatu dan berlubang desa kami. Jarak perjalanan yang kami tempuh sebenarnya cukup dekat, sekitar 15 km, namun jangan pernah dibayangkan jalan yang saya lalui akan mudah. Menurut saya, sebenarnya jalan ini lebih cocok digunakan sebagai lintasan motor cross ketimbang sebagai jalan masuk desa. Orang yang melaluinya pun sebaiknya mereka yang profesional, karena salah sedikit nyawa pun bisa saja melayang. Selain terjal berbatu, di sisi jalan ini juga terdapat jurang. Dan di depan pintu masuk jalan seharusnya di pasang plang peringatan bagi siapapun yang akan masuk
“ Anda Ragu-Ragu, Pulang Sekarang Juga”., meniru slogan pusat pelatihan Kopassus.
Ketika saya tiba, ruangan telah dipenuhi oleh kepala sekolah dan guru perwakilan dari 12 SD yang telah lebih dahulu tiba. Awalnya semua tampak biasa saja, berjalan sebagaimana mestinya sosialisasi biasa dilakukan untuk sebuah kegiatan. Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para kepala sekolah. Ada yang menanyakan mengenai penggunaan huruf kapital pada penulisan nama siswa, nama sekolah, dan nama orang tua, hingga kepemilikan akte kelahiran. Ada pula yang menanyakan masalah nomor induk siswa hingga penulisan NIP Kepala Sekolah. Semua dipaparkan secara lengkap mengenai teknis penulisan berdasarkan petunjuk teknis yang tersedia. Hingga sampai pada kajian muatan lokal. Contoh yang digunakan sebagai acuan penulisan ijasah, menuliskan salah satu mata pelajaran dalam muatan lokal yakni “Bahasa Ingris”.
“Bahasa Ingris? Bahasa Ingris?” , berulang kali kubaca hasilnya tetap saja sama, yap, Bahasa Ingris. Berarti mataku masih belum rabun hingga salah membacanya. Mencoba berpikir positif, saya pun tetap diam.
“Mungkin hanya kesalahan penulisan, pikirku.”
Setelah sekian lama, kesalahan ini tak kunjung diklarifikasi, hingga ditanyakan oleh salah seorang diantara kepala sekolah tersebut.
Ternyata ini bukan kesalahan penulisan, para kepala sekolah dan guru yang hadir dalam ruangan itu saling mendebatkan mengenai mana yang benar. Penulisan “Bahasa Ingris”, “Bahasa Inggris”, atau “Bahasa English”. Perdebatan ini berlangsung cukup lama, yang masih tampak bingung memutuskan mana yang benar , ada pula ada yang menjawab bahwa pilih saja yang paling enak kedengarannya. Apakah benar sesederhana itu cara menentukan mana yang benar. Akhirnya mereka memutuskan bahwa jawaban yang benar adalah Bahasa Inggris dan jika masih ada yang kebingungan, dianjurkan untuk mencotoh dari rapor SMP atau SMA. Sungguh terkejutnya diriku, pikirku mereka adalah orang-orang yang terdidik, mereka adalah pendidik anak-anak penerus bangsa.
Kondisi ini megingatkanku sekaligus menjawab pertanyaanku salama ini. Mengapa semasa sekolah dulu banyak murid yang lebih antusias mempelajari pelajartan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Kami seringkali merasa cukup pandai berbahasa Indonesia, sehingga mengabaikan pelajaran tersebut dan menganggapnya tak penting. Bisa dilihat pada hasil rapor kami saat itu, banyak diantara murid-murid tersebut yang memiliki nilai bahasa Inggris lebih dibandingkan nilai bahasa Indonesia.
Sungguh, tenyata ikrar kita dalam Sumpah Pemuda, masih belum dkita maknai secara baik. Acapkali kita bingung mengenai kebakuan kata dan susanan bahasa Indonesia itu sendiri. Dan bisa dipastikan sangat jarang kita mau berusaha untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa pergaulan. Ini bukan hanya sebatas memilah kata yang baku dan yang tidak baku. Bukan sekedar bahasa pengantar kita. Banyak yang berpikiran bahasa itu memalukan, kaku atau terdengar aneh. Padahal inilah identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Bentuk komitmen para pejuang kita dalam mempersatukan bangsa ini. Ini menjadi tanggungjawabku dan kita semua tuk belajar bahasa Indonesia, bukan karena kita pernah sekolah, bukan pula karena saat ini saya adalah guru, atau apapun profesi kalian. Lebih jauh lagi, BAHASA INDONESIA ADALAH IDENTITAS KITA SEBAGAI BANGSA INDONESIA.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda