info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mendaki Gunung, Lewati Lembah

Agriani Stevany Kadiwanu 23 Agustus 2011
23 Juni 2011 Kata ibu Manoka semalam saya mengigau. Waduh, maluuu... Tapi tadi saya pura-pura biasa aja, ga tau deh ngigau apa. Semoga bukan ngigau aneh-aneh. Hahahaha.... Oh ya, sebelum saya lupa kisah inspiratif ini, sebaiknya saya ceritakan sekarang. Semalam, ketika listrik di rumah ini tiba-tiba down, saya dan ibu Manoka di kamar saling bertukar cerita. Setelah ngobrol tentang cita-cita saya tibalah kami di kisah keluarga Ibu Manoka. Kakek dari pihak Ibu dari Bu Manoka dulu asalnya dari Tahuna. Dengan menggunakan perahu dayung, beliau mengarungi samudera menuju ke Pulau Nane untuk mencari ikan. Kala itu, sang kakek masih bujang muda. Setibanya di Nane, karena ada suatu dorongan rohaniah, pemuda ini mengajarkan agama kristen di pulau itu sambil menjadi nelayan. Didirikanlah sebuah bangunan beratapkan nyiur dan dindingnya pun dari nyiur yang dianyam sedemikian rupa. Secara diam-diam, pemuda ini juga mengajarkan baca tulis sambil mengajarkan agama. Saat itu, dilarang oleh penjajah mengajarkan baca tulis. Akhirnya berkat pengajaran tersebut, masyarakat di nane semakin berkembang dan mereka mulai berinisiatif untuk membangun gedung baru untuk gereja. Mereka mengambil karang laut yang kemudian dibakar dan menghasilkan kapur. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan digunakan sebagai bahan bangunan gereja. Cerita luar biasa yang kudapatkan di sela obrolan tak terencana. Seru kan? Masih di hari yang sama, begitu bangun pagi setelah mencuci muka dan sikat gigi saya berjalan mendaki gunung dan melewati lembah untuk bertemu dengan Fendi. Kami sempat berselisih jalan. Capek sekali, medan tempat tinggal fendi benar-benar membutuhkan stamina yang luar biasa. Gunung gitu loh. Kemana-mana jalanannya mendaki terus. Kami juga sempat bersantai bersama warga di pulau Nane ini, makan es kelapa muda di Tawara (nama pantai) dan melihat seekor udang darat yang besar yang ditangkap oleh beberapa remaja yang juga duduk bersama kami disitu. Setelah bersantai, saya dan Fendi ke Salise, ke rumah Ibu Manoka. Kami beli jajan dan mie. Kangen dengan makanan-makanan seperti itu. Saking kangennya kami langsung comot aja dari warung tanpa melihat tanggal kadaluarsanya. Setelah kami tawari ke Ungke, baru kami sadar ketika melihat Ungke selalu memeriksa tanggal sebelum mengambilnya. Untunglah produknya masih bagus. Pelajaran berharga dari Ungke hari ini. Setelah beristirahat, saya dan Fendi kembali melalui medan yang tinggi dan terjal demi mencari mushola terdekat. Kata Ibu manoka sih dekat, tetapi ketika kami berjalan kami sadar bahwa dekat menurut penduduk sini dengan dekat menurut kami sangat berbeda. Musholanya jauh bok, harus naik turun gunung,masuk jalan setapak dan naik tanjakan lagi. Hahaha.... Setelah sholat, Fendi menemukan sebuah rumah yang beragama muslim. Di Nane ini memang jarang keluarga muslim, dia ingin menyapa. Nongkronglah kami di rumah Arman. Berbicang hampir 2 jam lebih bersama Bapaknya Arman, Arman dan Simon. Fendi berusaha memotivasi Arman dan keluarganya untuk memberanikan diri merantau demi pendidikan tinggi. Setelah seharian bersama Fendi, saya akhirnya diam di rumah. Langit saat itu gelap sekali, pertanda akan hujan. Ini pertama kalinya saya mengalami hujan di rumah tepi pantai. Satu kata, MENGERIKAN. Serasa akan terjadi tsunami. Angin begitu kencang, hingga mampu menerbangkan atap rumah. Seng yang menjadi atap rumah tempat kami berlindung berbunyi kencang karena angin yang bertiup. Ditambah beberapa saat kemudian hujan turun. Tetapi untunglah tidak terjadi bencana apa-apa. Kutanyakan kepada K Eti, katanya ini sudah biasa. Kalau hujan di dekat pantai memang seperti itu. Mungkin saya hanya perlu membiasakan diri =)

Cerita Lainnya

Lihat Semua