info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Jejak Pertama di Bumi Sangihe

Agriani Stevany Kadiwanu 23 Agustus 2011
17 Juni 2011 Kami berangkat dari Hotel Nasional pukul 15.00 WITA dengan mobil hitam, keluar dari Tahuna, melewati jalan yang berkelok-kelok menuju PETTA, pelabuhan yang menjadi perantara antar pulau. Sepanjang perjalanan sangat kunikmati. Bagaimana tidak, pemandangan yang begitu eloknya terhampar di depan mataku. Pulau berbentuk tapal kuda, dengan keramaian kota mengitari pesisirnya. Seperti California, kota di tepi pantai, begitu indah dilihat dari atas bukit, apalagi jika dipandangi malam hari. Ketika saya menikmati keindahan Tahuna, temanku si Fendi kebalikannya. Dia tidak bisa menikmati keindahan yang ada di sekitar kami. Dia tidak kuat perjalanan darat menggunakan mobil. Mabuk perjalanan sudah mendarah daging di tubuhnya. Sepanjang perjalanan dia terengah-engah, hingga kami tiba di rumah Bapak Joli, Kepala UPTD sekaligus Kepala Sekolah SMAN Tabukan Utara di Likuang, di depan pagar rumah, Fendi mengosongkan isi perutnya, dia muntah habis-habisan. Antara kasihan dan geli, kok bisa segitunya? Sembari si Fendi bersusah payah di luar, saya dan Mbak Ami, coach kami, masuk ke dalam rumah. Ternyata bapak ada di sekolah, sedang rapat penentuan kenaikan kelas. Kami diminta menyusul ke sekolah, dan meluncurlah kami kesana. Sesampai di sekolah kami diterima dengan hangat bahkan dijamu dengan Coca-cola dari Filipin. Ya, di Sangihe memang banyak sekali produk Filipin, bahkan di Tahuna, ada toko yang khusus menjual produk dari sana. Mau tau perbedaan Coca cola dari Filipin dengan yang dijual di Indonesia? Perbedaannya ada pada rada sodanya. Sodanya tidak terlalu mengigit. Enteng. Setelah beberapa lama berbincang di sekolah kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke PETTA. Tadinya kami bersantai di sekolah selain untuk berkunjung juga untuk menunggu air pasang, sebab ketika itu sedang air surut, sehingga kapal tidak dapat berlayar. Kami harus menunggu, dan kami siasati dengan bersantai di sekolah tersebut. Sesampainya di PETTA saya, Mbak Ami dan Fendi berfoto. Kami takjub dengan keindahan pantainya, perahu-perahu bersandar di pesisir pantai bagai aksesoris yang semakin mempercantik pemandangan. Penumpang kapal berbaju biru turun dari 2 perahu motor besar yang baru saja bersandar.  Ternyata mereka baru saja pulang dari Enggohe, tempat tujuanku. Ada kegiatan pengolahan makanan untuk balita yang susah makan di sana. Disponsori oleh Australia, Bule yang 1 pesawat dengan PM di Menado-Tahuna. Mau tahu pantainya seperti apa? Jernih, bening, isi dalam laut terlihat dengan jelas, kecuali di kedalaman laut lepas. Ketika di laut lepas, pantulan bayangan sangat jelas, seperti cermin alam. Dari PETTA kita dapat melihat pulau-pulau di seberang. Pemandangan yang luar biasa. Di PETTA, saya dijemput oleh Ibu Manoka dan putranya Ungke, Kepala SD GMIST Sion Enggohe, tempat saya akan belajar banyak. Bersama Ibu dan adik, serta 3 orang lainnya, kami berlayar dengan perahu motor besar menuju Enggohe pada pukul setengah 5 sore. Kala itu langit mulai gelap. Ini adalah pengalaman pertamaku menyebrangi pulau melalui lautan lepas menggunakan perahu. Agak ngeri juga, tetapi saya percaya masyarakat Sangir adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan lautan sejak jaman nenek moyangnya. Hal itu menguatkan saya, apabila terjadi apa-apa, pasti bisa diatasi. Ketika langit mulai gelap gulita, mendung tebal menyelimuti langit di atas kami, turunlah hujan rintik-rintik. Perahu yang tadinya berjalan dengan lancar tiba-tiba mati, kehabisan minyak di tengah laut. Angin kencang menerpa perahu kami. Saya takut! Bagaimana ini? Sudah malam, gelap, bagaimana nasib kami? Saya melirik kepada Ibu Manoka dan Ungke yang duduk di sebelah saya, mereka tampak tenang. Dalam hati saya berpikir, berarti ini kejadian biasa bagi mereka, saya tidak perlu takut. Mereka pelaut handal. Benarlah, datang sebuah perahu lain dan kami mengambil minyak dari mereka dan dapat melanjutkan perjalanan lagi. Hal yang sedikit membuat ngeri waktu proses pengambilan minyak. Perahu kami dan perahu satunya diusahakan untuk menempel di tengah angin kecang sehingga berbenturan berkali-kali. Saya takut perahu bocor atau terbalik ketika itu. Pikirku, aku bawa banyak barang elektronik, ga mau dong kalau kecebur di laut. Hahahaha.... Tapi untunglah semua lancar. Kami sampai sudah gelap. Saya lupa tepatnya jam berapa kami berlabuh. Sampai di rumah Ibu Manoka, ada banyak orang berkumpul, mereka sedang menghidupkan Genset untuk menyalakan listrik di rumah. Rumah yang kutinggali adalah mes guru. Ibu Manoka dan keluarga memiliki rumah pribadi di Salise, pulau seberang tempat aku mengetik tulisan ini. Kami menyeberang dari Enggohe ke Salise dengan perahu kecil (pambut) ibu yang ukurannya dua kali lebih kecil dari perahu yang pertama kali kutumpangi dari PETTA. Agak ngeri juga, tetapi lautan tadi lumayan tenang dan saya berusaha mengalahkan rasa takut itu. Rumah mes dan rumah pribadi ibu manoka sangat berbeda. Saya sungguh kagum dengan ibu manoka. Beliau rela tinggal di Enggohe, di rumah mes tua demi mengajar di SD yang jumlah muridnya hanya 60 orang. Padahal jika dia mau, dia bisa tinggal di Salise, di rumahnya yang nyaman beserta keluarganya. Mungkin saya bisa bercerita sedikit tentang Ibu Manoka dan keluarga, Ibu dan Bapak tidak memiliki putra maupun putri, tetapi mereka adalah orang tua dari banyak anak-anak. Seringkali orang membawa anak kecil ke rumah mereka untuk di asuh. Ada satu pengalaman ibu manoka dengan anak yang diasuhnya. Seorang anak laki-laki yang dibesarkannya hingga umur 8 tahun di ambil kembali oleh orang tuanya. Ketika umurnya 20 tahun, ia berkunjung mencari ibu manoka. Ketika hendak pulang, ibu membuatkan banyak sekali kue untuknya. Tidak disangka, itu adalah pertemuan terakhir mereka. Anak itu menjadi korban kerusuhan Halmahera ketika menyeberang perahu ke Halmahera. Ada seorang penumpang yang membawa senjata dan ketika berlabuh, pecah kerusuhan dan ia tewas di perahu. Sedih sekali =( Selain jadi tahu lebih banyak tentang Ibu Manoka, yang adalah hostfam saya juga Kepsek saya, saya juga mulai berkenalan dengan anak-anak. Saya kaget sekali waktu tahu bahwa semua anak yang ada di ruangan untuk ibadah sekolah tadi adalah keseluruhan murid. Tadi saya bernyanyi dan bermain dengan mereka sebagai bentuk perkenalan. Saya juga sudah berkenalan dengan para guru dan melihat langsung proses pembagian Laporan pendidikan atau rapor seluruh kelas. Saya melihat potensi kepemimpinan yang luar biasa dari mereka. Mereka hanya agak malu-malu saja. Saya akan berusaha keras membuat mereka menjadi anak yang aktif. Semoga Tuhan menolong =) Sambil mengetik tulisan ini, dari arah kamar terdengar suara nina bobo dan lagu tanah airku. Nasionalis sekali =)

Cerita Lainnya

Lihat Semua