SD Inpres Offie Namanya

Adhiti Larasati 5 Agustus 2011
Letaknya di atas bukit Papua, begitu masyarakatnya menyebutnya. Resminya ia terletak di distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dibangun tahun 1983, ia masih berdiri kokoh di antara batu – batu karang dan tanah subur di balik hutan, apalagi setelah mengalami renovasi pada tahun 2004, ia semakin mengukuhkan kehadirannya sebagai institusi pendidikan dasar di Offie, madrasah pertama bagi anak – anak untuk menimba ilmu.

Siswa – siswa SD Inpres Offie sebagian besar berasal dari kampung Offie, sebagian lainnya berasal dari kampung Tetar dan Tibatibananam yang berjarak ± 2 km dari kampung Offie. Jarak 2 km memanglah dekat, tapi medan yang berbukit – bukit dan berkelok – kelok aku rasa menjadi alasan yang cukup bagi anak – anak untuk tidak pergi bersekolah karena setiap harinya mereka pergi sekolah dengan berjalan kaki. Tapi anak - anak distrik Teluk Patipi memang berbeda. Ketika hujan tiba, mereka tetap pergi ke sekolah dengan menggunakan daun pisang yang tumbuh di sepanjang jalan sebagai pelindung kepala, pengganti payung. Hal ini membuatku kagum akan usaha mereka untuk pergi ke sekolah. Semangat belajar mereka memang terbilang tinggi. Ketika pulang sekolah, sekitar jam 14.00 siang mereka sudah datang ke rumahku “ Mama Ibu, mama Ibu, ayo belajar”. Ketika maghrib tiba, berduyun – duyun mereka datang ke rumahku lagi “ Mama Ibu mama Ibu, ayo belajar”. Bahkan ketika aku akan pergi ke kota untuk rapat koordinasi dengan sesama Pengajar Muda dan aku nyatakan belajar malam hari ini libur, beberapa dari mereka tetap datang ke rumah. “Mama Ibu belum pi kota toh, katong mau belajar”, dan ketika hal – hal itu terjadi, secapek apapun kondisiku saat itu aku tidak pernah tega untuk tidak mengiyakan permintaan mereka. Sedikit buku – buku bacaan yang kubawa dari Bandung pun tak pernah alpha mereka baca walaupun banyak dari mereka yang baru sekedar bisa membaca tanpa memahami isi teks bacaan tersebut. Dulu, ketika aku pertama kali tiba di Offie, aku merasa prihatin karena mereka tidak punya cita – cita. Aku menyayangkan semangat mereka yang tinggi dalam belajar tidak dibarengi dengan suatu visi. Sekarang aku dapat tersenyum karena mereka telah memiliki tujuan dari usahanya pergi ke sekolah setiap hari. Masih terpatri dengan jelas saat aku mengawasi mereka ujian “Ayo kalo sudah besar nanti mau jadi apa?”. Tidak ada satupun jawaban keluar. “ Hmm..kalian bersekolah buat apa?” “........” tetap tidak ada jawaban. Sekarang mereka dengan lantang berseru saat mengaji sore “Mama Ibu, mama Ibu sa mau jadi pilot” “Mama Ibu, kalau sa mau jadi suster” bahkan mereka sudah bisa berkelakar “Mama Ibu sa mau jadi preman kampung saja” “Heee?kenapa ko mau jadi preman Rijal?” jujur saya kaget mendengarnya. “Supaya bisa hisap rokok gratis” jawaban yang ini lebih membuat kaget.“Ko merokok kah? Hiii nanti kau punya paru – paru itu bolong kalau ko merokok” “Hahaha..tidak mama Ibu saya tipu – tipu (pura-pura) saja, sa mau jadi polisi” pernyataan terakhir Rijal ini membuatku lega dan ikut tertawa. Sepuluh sampai lima belas tahun lagi, mudah – mudahan aku akan menyaksikan lahirnya guru – guru baru pengganti Ki Hajar Dewantara, pemain – pemain bola hebat pengganti Boaz, suster – suster semulia Florence Nightingale, dan polisi – polisi pelindung masyarakat dari SD Inpres Offie.

Cerita Lainnya

Lihat Semua