Sandal-sandal Doro Le'de

Aghnia Mega Safira 6 Januari 2016

Sebelum menjadi Pengajar Muda (PM), aku pernah membaca tulisan dari Pengajar Muda pendahuluku. Ia bercerita tentang Kelas Jauh sekolahnya, yang terletak di atas bukit, di Desa Doro Le’de. Kelas Jauh adalah kelas yang dibangun terpisah dengan sekolah induk, guru-guru akan datang mengajar untuk memfasilitasi anak-anak didik yang rumahnya terlalu jauh dari sekolah. Konsep kelas jauh ini sangat bagus, meski implementasinya kadang tidak sebagus teori. Guru-guru seringkali tidak hadir ke kelas jauh karena berbagai faktor.

Pengajar Muda pendahuluku bercerita bagaimana masyarakat di Desa Labuhan Kananga, tempat sekolah induknya berada, kerap kali melarangnya untuk pergi ke kelas jauh karena alasan keamanan. Guru-guru di sekolah induk pun acap tidak naik ke kelas Doro Le’de.

Saya akan tetap naik, meski sendirian.” Itu adalah jawaban yang ia berikan pada orang-orang, yang entah bagaimana terus melekat di benakku hingga saat ini. Dari tahun ke tahun, Pengajar Muda Labuhan Kananga memang mengajar dua hari dalam seminggu di Kelas Jauh Doro Le’de, disamping mengajar sekolah induk SD N 01 Labuhan Kananga.

Ditempatkan di SD N Tambora, Kecamatan Tambora, membuatku bisa mengunjungi secara fisik tempat yang selama ini hanya aku kunjungi lewat tulisan: Kelas Jauh Doro Le’de.

Ketika itu sekolahku sudah libur, karena ujian akhir telah selesai dilaksanakan. Setelah mengurus beberapa urusan kecamatan di Labuhan Kananga yang memang pusat kecamatan hingga petang, aku dan beberapa teman Pengajar Muda memutuskan untuk ikut Arum, PM Labuhan Kananga, naik  ke Doro Le’de keesokan paginya.

Kami menghabiskan waktu sekitar 25 menit bermotor mendaki bukit untuk tiba di Kelas Jauh. Selama perjalalnan, pemandangan di kiri kanan adalah hutan semak atau Ladang Jambu Mete. Menurut cerita Arum, anak-anak didiknya tinggal jauh di atas atau di bawah bukit sehingga mereka butuh 30-60 menit jalan kaki untuk menuju ke sekolah.

Ya, setiap hari mereka berjalan satu jam tanpa tahu apakah guru naik hari ini, tanpa kepastian mereka akan belajar hari ini. Setiap hari mereka melangkah dengan penuh semangat dan keinginan untuk menimba setitik ilmu. Kenyataan ini membuatku teringat anak-anak didikku yang juga mengalami hal serupa, sebagiaman ceritaku disini.

Saat kami sampai di Kelas Jauh Doro Le’de, anak-anak didik Arum bukan hanya sudah tiba lebih dahulu. Mereka sudah siap. Kelas dengan plafon rusak itu sudah dibersihkan hingga kinclong, bangku sudah ditata, papan tulis sudah putih polos, bahkan sandal jepit mereka sudah diatur rapi di samping pintu kelas.

Ya, itu mungkin hanya sandal-sandal jepit kecil yang bisa kau beli di warung depan rumah seharga tujuh ribu rupiah. Namun buatku, sandal-sandal itu seperti simbol. Mereka adalah simbol perjuangan, yang menjadi alas kaki-kaki kecil itu melangkah ratusan kali setiap pagi. Mereka adalah simbol semangat tanpa jera yang terus berjejer di depan kelas, menunggu si empunya menimba ilmu (atau paling tidak menuai tawa canda saja saat guru tidak hadir). Mereka adalah simbol cinta, benda pertama yang kau lihat di depan sekolah seusai perjalanan mendaki bukit, yang kemudian akan diikuti dengan kemunculan pemiliknya saat melihatmu sudah tiba di sekolah sambil menyapa:

“Ibu guru sudah datang!”

“Ibu guru datang! Ibu guru datang!”

“Ibu, kelas sudah bersih! Ayo masuk bu! Kita mulai belajar!”

Kemudian bagaimana bisa kau tidak jatuh pada anak-anak ini? Pada pemilik benda kecil warna-warni yang ditata rapi di depan kelas setiap pagi, sebagaimana mereka menata rapi semangat belajar di dalam hati setiap datang hari.

Banyak orang bilang, kami, Pengajar Muda, punya semangat hebat karena mau mengajar di pedalaman. Karena mau membaktikan setahun untuk negeri. Kami punya semangat hebat, ya, mungkin saja. Namun satu hal yang aku tau pasti benar adanya adalah semangat luar biasa anak-anak didik kami di pelosok terdalam Indonesia ini.

 

the english version with more photos of this story can be read at the writer's personal blog


Cerita Lainnya

Lihat Semua