Kebaikan Hati

Aghnia Mega Safira 4 Oktober 2015

"Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see" -Mark Twain

 

Baik hati. Apa sih arti frasa ini? Apa arti dua kata ini? Menginjak bulan keempat di lokasi penempatan, saya banyak diajarkan mengenai arti dari kebaikan hati lewat hal-hal yang seringkali tidak saya duga. Saya adalah Pengajar Muda Indonesia Mengajar penempatan Kabupaten Bima. Semenjak Juni 2015 kemarin, saya bertugas sebagai guru bantu di Sekolah Dasar Negeri Tambora. Bersama para relawan, kami juga memiliki tugas untuk menggerakan potensi pendidikan kabupaten.

Sejak bulan pertama, anak-anak begitu antusias dengan kehadiran saya di kampung mereka. Memang, Pengajar Muda sebelumnya ditempatkan di Kampung Timur, sekitar 1,5 jam jalan kaki dari kampung saya sehingga kehadiran guru di kampung mereka tentu menjadi sesuatu yang baru. Setiap sore, mereka pasti menyempatkan diri untuk main ke rumah, belajar bersama, atau sekedar menyapa saya sambil membawa seember gelondong kopi yang habis dipetik.

Begitu juga suatu sore di minggu kedua penempatan, saya sedang merapikan buku-buku dan majalah bekas warisan Pengajar Muda sebelumnya saat Pajrin datang ke rumah keluarga angkat saya. Pajrin, biasa dipanggil Pat, adalah murid saya di kelas 1 SD N Tambora. Saya mendengar langkah kaki kecilnya dan suara khas yang sedikit cempreng saat ia mengucap "Ibu, sedang apa?"

"Sedang beresin buku," jawab saya, berniat meneruskan kesibukan saya dan memberi senyum sambil meliriknya sekilas. Tetapi kemudian saya tertegun. Bayangkan seorang anak kelas 1 dengan tubuh setinggi paha orang dewasa, menggendong balita dengan tangan-tangan kecilnya, menyangga tubuh anak perempuan mungil itu dengan dadanya yang tidak seberapa luas. "Pat, itu siapa?" tanya saya.

Kemudian Pat bercerita tentang adiknya. Dengan kalimat-kalimat sederhana, ia bertutur bahwa adiknya Nurma berumur 3 kali lebaran, sekitar 5 tahun lebih muda dari dirinya. Apabila Pat pergi sekolah di pagi hari, Nurma akan dijaga oleh ibunya. Saat Pat pulang dari sekolah, Ibunya akan pergi ke kebun kopi dan Pat mengambil tugas menjaga adiknya.

Sejenak saya terdiam. Ingatan saya kembali ke masa lampau. Ketika itu, ibu seringkali meminta saya menjaga adik ketika beliau pergi bekerja. Saat itu, saya berumur 14 dan adik saya 12. Meski adik sudah besar dan tidak harus diasuh secara total, saya ingat sekali waktu itu saya pernah merasa sebal. Sepuluh tahun kemudian saya berada disini, di ujung negeri, di lereng gunung berusia satu abad, menyaksikan seorang anak kecil. menggendong dan bermain adiknya yang ukuran tubuhnya tidak jauh beda dengan dirinya. Pat mengawasi Nurma bermain dengan gembira, sambil melihat-lihat majalah anak lama yang saya berikan. Sesekali, ia mengangkat dan mengalihkan perhatian Nurma saat Nurma menunjukkan gelagat untuk merusak buku-buku.

Pelajaran, terutama tentang kehidupan, selalu bisa kita dapatkan dimanapun. Dari anak lelaki dengan rambut hitam pekat ikal dan wajah jenaka berusia sembilan tahun ini saya belajar tentang kebaikan. Dari tawa dan sorot mata anak lereng Gunung Tambora ini saya belajar tentang ketulusan. Ribuan kilometer jauhnya dari rumah, saya belajar mengubah hati menjadi lebih baik.

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bima Ekspress pada hari Rabu, 30 September 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua