Membuat Dokumen Sendiri

AfifAlhariri Pratama 18 September 2015

Alih - alih berceramah tentang cara merawat dokumen, saya mengajak anak - anak untuk membuat dokumen pribadi sendiri. Tentu saja dokumen ini hanya sebagai media pembelajaran agar anak - anak aktif dan mendapatkan pengalaman langsung tentang hal - hal yang bersifat kedokumenan. Dokumen pribadi itu bernama Kartu Siswa.

Kartu siswa milik anak kelas II hanya terbuat dari kertas A4 biasa. Dengan patron yang telah dibuat sehari sebelumnya. Anak - anak tinggal menggambar di dalam bingkai untuk foto dan menuliskan keterangan nama, nis dan kelas. Sebelumnya saya memberikan sebuah contoh kartu siswa yang saya buat sendiri. Kemudian anak - anak membuat kartunya sendiri berdasarkan contoh yang sudah ada.

Beberapa anak mengeluh. 

"Tidak bisa, pak".

"Coba dulu, anak - anak pasti bisa". Kata saya memberi semangat.

Mereka kemudian melanjutkan proses menggambar. 

"Pak. Boleh gambar Spongebob?". Tanya Marsel tiba – tiba berteriak.

Saya berpikir sejenak. 

"Boleh. Boleh gambar Spongebob". 

Rasa - rasanya tidak ingin mengekang kreativitas mereka. Sayang untuk membatasi imajinasi anak - anak. Biarkan saja mereka menggambar sesuka hati. Sebab point utama pembelajaran bukan tentang gambar tetapi lebih ke merawat dokumen. Satu persatu anak - anak maju ke depan sekedar bertanya boleh menggambar ini, boleh menggambar itu. "Boleh". Itu selalu keluar dari mulut saya. Ada yang menggambar bunga di bingkai foto, kupu - kupu dan Naruto.

Seyogyanya proses pembelajaran itu aktif melibatkan siswa. Kegiatan yang secara tidak langsung memberikan keuntungan untuk saya dengan tidak perlu terlalu banyak menghabiskan energi di suara. Cukup mendatangi tiap meja anak - anak, memperhatikan, memberi pujian dan semangat atau sekedar mengarahkan bila jauh melenceng dari kesepakatan.

Untuk memberi apresiasi atas usaha mereka, saya memfoto hasil karya dan anak - anak. Meski saya tidak berjanji kepada mereka untuk mencetaknya, anak - anak tampak senang. Bergaya di depan kamera sesuai dengan gesture semenarik mungkin. Bahkan anak yang selama ini cenderung pasif bisa bergaya di depan kamera. Sebuah kenikmatan bagi saya sebagai guru melihat senyum anak - anak yang terlukis di wajah.

Setelah kartu - kartu telah selesai dibuat, saya bertanya kepada anak - anak. "Agar kartu siswanya tidak robek, diapain ayoo?!!".

"Disimpan, pak!". Jawab Sintia.

"Disimpannya dimana, Sintia?". 

"Di lemari, pak".

"Bagus. Ada lagi?".

"Di buku, pak". Jawab Jartono.

"Bagus. Masih ada?". Tanya saya memancing - mancing pengetahuan anak - anak.

"Disimpan di sepatu, pak!". Jawab Yusuf.

"Loh kok di sepatu, Yusuf?".

"Hehehe". Yusuf hanya cengengesan sembari menggaruk - garuk kepalanya.

Kemudian saya menjelaskan cara - cara merawat dokumen selain yang disebutkan anak - anak tadi seperti laminating, penyampulan dan sebagainya. Semuanya saya tuliskan di papan tulis dan anak - anak segera mencatatnya. Mudah - mudahan ini termasuk dalam bagian pengalaman sebelum penjelasan.

Dengan memiliki dokumen sendiri, diharapkan anak - anak bisa menjaga dan merawat barang milik diri mereka sendiri. Sebab sesuatu yang didapatkan dengan tangan sendiri apalagi melalui jerih payah akan selalu dirawat dengan kesungguhan hati. Ada ikatan emosi yang terjalin secara tidak langsung meskipun hanya sebuah benda. Apatah lagi kepada manusia.

Pukul 11 wib. Lonceng dibunyikan. Tanda pulang telah berkumandang. Anak - anak membaca doa sebelum pulang, mengucapkan salam. Sesaat setelah saya membalas salam, mereka serta merta menyerbu berebutan menyalami tangan saya bagai sekumpulan lebah yang menemukan objek pengganggu sarangnya.

Tetapi jujur saja, moment anak - anak yang berebutan salam itu selalu saya tunggu - tunggu. Bagai artis yang bertemu penggemar. Sebuah kenangan yang mungkin tidak akan ditemui selepas satu tahun penempatan nanti. Maka mari menikmati moment sederhana yang sedang beredar di garis waktu sekarang. Sebab bahagia itu selalu hadir dalam bentuk - bentuk sederhana.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua