info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Murid Harus Bisa, Guru Mesti Serba Bisa

Ady Saputra Wansa 6 Desember 2011

Murid Harus Bisa, Guru Mesti Serba Bisa

Kalau kita ingat-ingat kembali masa sekolah dulu. Baik masa-masa indah ketika di SMA, atau masa-masa cinta monyet waktu SMP atau mungkin ketika SD dulu.

Setelah beromantis ria dengan cinta. Coba kita ingat kembali, ternyata begitu banyak sekali pelajaran yang harus kita khatamkan. Tak perduli itu pelajaran paling menyebalkan seperti matematika, atau pelajaran yang sering kita anggap mudah, tapi ternyata paling sulit kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Indonesia. Tak urus, kita cuma suka menggambar dan bernyanyi, tak perduli kita perlu atau tidak menghafal gunung dan sejarah nama-nama raja tapi, itu semua harus kita tuntaskan kalau tidak raport kita akan berjajar warna merah atau malah kita akan di cap bodoh, karena cuma tidak pintar di matematika.

Kalau kita putar kenangan masa lalu, tidak bersama dengan cinta monyetnya, tidak dengan kenangan bermain bola atau kelereng, juga tidak saat-saat menipu di kantin. Tentu kita akan jadi "mahkluk" dewasa yang memiliki traumatik terhadap sekolah, dan semua atribut yang menyertainya.

Kiranya, saya juga akan melakukan pembalasan ketika saya dihadapkan pada keadaan yang demikian. Mengenang masa lalu dengan satu rasa saja, kemarahan dan dimarahi. Tidak diperdulikan, di labeli bodoh dan sebagainya. Ketika saya dihadapkan pada keadaan dimana sebagian besar murid-murid saya, kelas 5 dan 6 yang hanya 21 orang tersebut, hanya menjawab lewat diam ketika di tanya matematika 13 di kalikan 7. Atau Nadir dan Masra akan berkali-kali saya cubit perut dan telinganya atau tidak saya cubit tapi telinganya saban ada pelajaran matematika itu berarti mereka berdua harus saya berikan label, "bodoh", pahe (keras kepala dalam bahasa Indonesia Maluku utara). Karena mereka tidak mampu menjawab dengan cepat perkalian 3 dikalikan 4, bahkan Masra tidak mampu menjawab dengan benar 1 dikali 1. Tapi untungnya, lisan ini tak sampai menyuarakan kata "pahe" atau "bodoh" untuk ketidak mampuan mereka.

Sedikit sebel memang melihat mereka tidak bisa apalagi kalau kehadiran saya menggantikan PM (Pengajar Muda) yang pertama. Karena dalam hemat saya, tentu dia sudah menyiasati agar murid-murid ini tuntas calistung terlebih kemampuan menghitung dasar (penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian). Tapi kalau melihat kenyataan seperti ini, melihat rumah pintar yang telah didirikan oleh warga, melihatĀ  tumpukan buku yang berkualitas dan jumlahnya yang melimpah, melihat jajaran poster yang tertempel di dinding rumah pintar, miris ketika menyadari 21 murid saya itu masih terbatah-batah ketika diminta membaca, masih kesulitan ketika diminta mencari informasi penting dari bacaan yang dibacanya, dan masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjawab 12 kali 3.

Menghadapi tantangan yang jauh dari ekspektasi saya ketika di Jakarta dan ketika dimasa pelatihan dulu, terlebih kami empat puluh tujuh orang tidak pernah diajarkan secara langsung bagaimana menyusun emosi ketika berhadapan pada keadaan yang seperti itu. Seolah butuh keberanian lebih dan tataran kejiwaan melebihi sang Budha untuk bisa berkata "mereka semua adalah permata". Kalau tidak, tidak hanya urat leher yang semakin menonjol menyambut pagi. Ketika melihat murid-murid itu bermandi keringat mentari pagi, karena tidak mampu menjawab pertanyaan perkalian dan penambahan, waktu hendak masuk kelas. Tapi kiranya tangan dan mulut ini akan ikut arus (mengikuti kebiasaan sebagian besar guru-guru disini, labelling dan memukul).

Tidak ada pilihan lain ketika melihat kenyataan ini, selain berkata "kamu mesti serba bisa" kepada diri sendiri ketika melihat murid-murid yang tidak bersalah itu meneguk liur dan menekur diri menghitung jumlah keramik putih yang menjadi lantai kelas mereka. Ketika saya berkata, "saya bingung dengan kalian semua, masa tidak bisa menjawab perntanyaan siswa kelas 3 dan 4, kalian sekarang kelas 5 dan 6, bahkan pertanyaan kelas 1 sekalipun" dan saya juga harus bisa menghentikan "ceramah" dan mencari aktifitas yang mampu mencairkan suasana ketika mereka semua sudah lelah dan memikirkan "ya kenapa otak kami begitu padat, sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan segampang itu" (mungkin saja salah satu dari 21 murid itu memiliki pertanyaan ini dalam benaknya, walaupun saya tidak tahu, sebagai guru saya mesti bisa untuk terus berharap hal baik terjadi pada mereka).


Cerita Lainnya

Lihat Semua