Sekolah Kepemimpinan

Ady Saputra Wansa 10 Desember 2011

Sekolah Kepemimpinan

"semakin banyak berjalan, semakin banyak yang dilihat dan semakin banyak yang dirasakan" ucap Om Pala (kepala desa) ketika saya mengunjunginya kali pertama. Saya lupa tema obrolannya apa, tapi kata itu yang sampai saat ini tersimpan dalam long term memory saya.

Semakin kesini, urat leher ini kiranya semakin terlihat. Ketika pagi datang selalu berharap untuk mengajar dengan bahasa yang biasa saja, tidak berteriak. Tapi murid-murid itu selalu saja punya cara meruntuhkan benteng harapan yang sedari pagi saya bangun. Tidak bisa mengerjakan tugas, ketika temannya yang di tanya ikut menjawab, tapi ketika gilirannya yang di tanya hanya diam. Satu ditanya, kenapa?, yang lain turut menjawab dengan kata-kata yang membuat bising kelas. Terpaksa sayapun turut ambil bagian untuk bicara lebih keras dari mereka. Padahal sebelum datang dulu, sebuah idealisme mengenai cara memandang calon murid sudah saya bangun, "mereka adalah sang juara, permata bangsa", tapi ternyata ketika benar-benar terlibat menjadi bagian dari evisentrum Sawang Akar. Baru saya menyadari, mengajar bukan perkara datang ke kelas, buka buku, menulis di papan tulis, meminta mereka untuk mengerjakan, dan ketika salah satu dari populasi kelas tidak mampu menjawab. Sang guru cukup beralibi "kalau tak mungkin dari populasi kelas, semuanya bisa berhasil. Sejarah selalu saja menyisakan residu, ibarat sebuah produksi selalu saja ada bahan rijeck".

Tapi logika kemanusiaan saya menolak untuk menerima pendapat tersebut. Tapi menyatukan idealisme dan logika kemanusiaan ketika melihat realitas di lapangan bukan perkara mudah. Teriakan saya tiap pagi selama mengajar itu bukti kegagalan saya mengkawinkan idealisme dan logika kemanusiaan saya, dan saat-saat selepas sekolah, berdiam di kamar memulihkan tenaga akibat mengajar dua kelas dalam satu waktu dan di satu kelas. Baru saya menyadari kalau apa yang telah saya lakukan hari ini adalah salah.

Disaat-saat merenungi kesalahan demi kesalahan, sembari menyeruput teh dingin sisa tadi pagi, membaca pesan singkat di samping dinding kamar mandi, melihat lautan yang membentang, melihat perbukitan yang memeluk hampir sebagian besar desa tepi laut, di sela-sela itu semua sambil menyaksikan murid-murid hebat saya berenang tepat di bawah beranda belakang rumah pintar. Sebagai pelipur lara, biasanya saya mengenangkan alasan-alasan kenapa kaki ini bisa sampai begitu jauh melangkah, meninggalkan rumah, meninggalkan cinta, meninggalkan sahabat.

Bagaimana saya bisa memberikan inspirasi kalau toh hari-hari yang saya lalui, saya mengalami kesulitan mengawinkan idealisme dan logika kemanusiaan saya. Bagaimana pula ceritanya, kalau ini semua akan membawa saya kepada "pengkhataman" kemampuan leadership, tidakkah terlalu egoistik kiranya seorang yang papa nan tak kuasa berdialog dengan apik pada dirinya sendiri, dalam satu tahun kedepan bisa mendapatkan ijazah yang menyatakan dirinya lulus dalam sekolah kepemimpinan ini, mustahil. Biasanya lagi tidak hanya sampai disitu proses menyalahkan diri sendiri, masih banyak lagi. Tapi tiba-tiba semua beban itu, semua sikap pesimistis itu hilang ketika saya di sapa oleh murid-murid itu lewat gurauan dan candaan mereka sembari menyelamkan diri dalam lautan. "pak lihat saya bisa memperlihatkan kaki saya", "pak lihat Junaedi batalanjang, dia punya burung besar sekali", "pak Suwardi menendang saya", dan pak-pak yang lainnya. Semua kejadian se-sepele apapun tidak luput untuk dilaporkan.

Lewat kesederhanaan itu, lewat antusiasme mereka untuk melibatkan saya dalam hiruk pikuk kejadian yang dialami membuat saya untuk menutup ritual menyalahkan diri sendiri dengan kalimat "Tentu ada hal lain, yang harus saya pelajari di desa tepi laut ini", itu yang saya pikirkan ketika melihat senyum dan kegembiraan murid-murid itu bermain di dalam lautan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua