Guru Juga Manusia
Ady Saputra Wansa 3 Desember 2011Sudah masuk minggu ke tiga, saya mengajar di desa tepi laut Sawang Akar. anak-anak yang ditinggal oleh guru lama mereka lambat laun sudah bisa terpikat dengan kehadiran saya. tapi rengek rindu mereka kepada guru lamanya, tetap saja mengganggu hati ini, manusiawi kiranya kalau saya cemburu melihat rengekan mereka. tapi tak apalah.
Sejak pertama kali berkenalan dengan mereka, mereka sudah banyak berubah. keberanian mereka untuk maju di depan kelas, berbicara dengan lantang ketika di depan dan juga keberanian untuk mengangkat tangan dan berkata "yakinlah Fahrul kalau kamu pintar" (bicara dengan dirinya sendiri). apa yang mereka tunjukkan sampai hari ini adalah capaian terbaik yang bisa saya berikan sebagai pelanjut membayar janji kemeredekaan. diluar itu tentu banyak permasalahan yang belum bisa saya carikan solusinya.
Seperti meningkatkan kecerdasan matematika mereka, kecerdasan membaca dan menulis mereka. karena sampai sekarang murid-murid hebat itu masih juga salah dalam melafalkan kata-kata yang tercetak dalam buku bacaannya. mereka masih mebutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengerjakan beberapa soal yang dalam hemat saya seharusnya begitu mudah bagi mereka. yang lebih mengenaskan ketika menunggu begitu lama, hasil dari pekerjaan mereka "menyedihkan", dari dua puluh tugas pilihan ganda yang mereka kerjakan tak ada satu orangpun mampu mengerjakan dengan baik sampai 14 soal, kebanyakan mereka hanya mampu mengerjakan sepuluh atau di bawahnya dengan benar. padahal mereka saya perbolehkan untuk melihat buku paket mereka ketika mengerjakan tugas.
Sebagai guru tentu hal ini mengenaskan. alih-alih, emosi terus menanjak memenuhi hati. guru juga manusia, jadi wajar kalau marah, wajar kalau merasa pupus, dengan semua yang diberikan tapi tak juga menuai hasil yang bagus. bayangkan saja, mereka bertemu dengan saya untuk belajar tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah. jam belajar di rumah dari siang jam dua sampai jam empat, nanti lanjut lagi jam delapan sampai jam sepuluh. tapi bagi anak-anak yang tidak mengaji maka jam belajar mereka lanjut sampai berkumandang adzan magrib. buku bacaan di rumah ini sudah begitu banyak, dari buku ajar (paket), komik seri, sciene, majalah pendidikan (dari bobo sampai orbit), buku ensiklopedi, kesemua buku itu tidak hanya menjadi pajangan di rumah ini, saban hari mereka membaca buku-buku tersebut. tapi anehnya, saban kali saya tanya apa yang mereka baca, apa yang mereka dapatkan. lewat diam mereka menjawab, lewat senyum mereka menjawab. ketika diminta untuk memilih antara push up dan menjawab, ada diantaranya memilih push up ketimbang menjawab.
Guru juga manusia. wajar kan kalau saya marah, kalau saya pupus dan kemudian memilih "kamar" sebagai pelarian. menikmati mimpi di siang hari, atau memilih untuk mendayung ke tengah laut, menyelam ke dasar samudera, melihat ke indahan biota laut. atau menerima ajakan mereka untuk pergi ke kebun, memungut mangga hutan yang telah jatuh sekitar dua hari atau satu minggu yang lalu.
Guru juga manusia kan?. Jadi bisa saja toh, tetap bertahan dengan buku-bukunya, membaca kembali lembar demi lembar cara mengajar yang efektif dan menarik, mengingat kembali ulasan dari para pemateri ketika pelatihan dulu. mengingat masa-masa kecil ketika masih menjadi siswa dulu, dengan tetap beharap ketika mentari mulai surut di barat, digantikan rembulan. Murid-murid hebatku itu telah berubah menjadi manusia-manusia yang tak lagi keliru ketika membaca, tidak lagi membutuhkan waktu bermenit-menit ketika mengerjakan FPB dari dua puluh tujuh dan empat puluh. ketika mengerjakan soal pilihan dan uraian mereka mampu mencari jawab yang benar di buku pegangan mereka.
Tapi kalaupun malam tiba, mereka tak kunjung berubah. Bukankah saat saya membuka pintu belakang, dari beranda saya bisa melihat mentari dari selah-selah dinding kamar mandi. siapa tahu saat tiba di kelas, mereka semua sudah duduk dengan tertib, atau berkeliaran seperti biasa tapi dari mulut mereka bukan mengeluarkan teriakan umpat, dan kemarahan. Tapi sebuah dendang mengenai adaptasi mahkluk hidup, tentang gambaran heterogitas isi dunia, tentang rumus bangun ruang, atau sedang melantunkan puisi dan menceritakan sebuah dongeng kemudian dengan antusias mereka menceritakan sari dari dongeng yang mereka baca kepada saya. tidakkah pagi itu akan menjadi pagi yang indah.
Kalaupun ternyata pagi yang seperti itu tidak kunjung datang dipagi hari pertama, hari kedua, hari ketiga, hari kempat sampai hari ke tujuh di minggu keempat. malam-malam juga saya tidak mendapatkan malam seperti itu sampai malam ke tujuh. apa yang harus saya lakukan? guru juga manusia. wajarkan kalau saya pupus, memilih kamar dan bermimpi. memilih lautan dan biotanya. memilih kebun dan semua isinya. atau saya tetap menjadi manusia, tetap kembali bermimpi dan berharap, kalau-kalau, walaupun entah kapan mimpi dan harapan saya tentang murid-murid saya bisa terkabul. toh, bukankah karena harapanlah manusia bisa terus menyongsong mentari dan rembulan sama indahnya?. guru juga manusia "percayalah ady, muridmu adalah murid terhebat yang Allah beri untuk mu" (bicara pada diri sendiri).
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda