Mengajar Harapan

Ady Saputra Wansa 19 November 2011

                                           Mengajar Harapan                                                       Kalau ada yang bertanya, pendidikan apa yang tepat untuk anak-anak kita? maka saya akan menjawab mendidik mereka tentang sebuah harapan. Pagi itu sederhana saja, sama seperti pagi yang diceritaka oleh Pak Jun. Di SD Inpres Sawang Akar mengajar sendirian atau berdua dengan Bu Rusdiah adalah hal yang wajar. Walaupun tercatat ada tiga sampai empat orang guru, 2 guru honor, satu merangkap kepala sekolah. Dua guru PTT dan saya sebagai guru yang dikirim oleh yayasan, yang berpikir kalau janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggung jawab tiap insan yang lahir di bumi pertiwi ini.

Tepat juga hari itu tanggal 9 November 2011 adalah hari pertama saya mengajar menggantikan Pak Jun, murid-murid datang dengan antusias, mereka duduk di depan ruang kelas yang masih terkunci dan lorong sekolah. Senyum manis dan muka penuh oleh pupur mereka menyapa kehadiran saya dengan pergi menghindar atau tetap acuh dengan mainan dan buku bawaan mereka. Sekadar informasi saja, mereka tidak terbiasa membawa tas kesekolah, mereka cukup membawa beberapa buku (lebih sering hanya satu buku) dan pena saja (bahkan ada yang tidak membawa pena ke sekolah, dan biasanya itu jadi alasan buat mereka untuk tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru). Karena untuk apa membawa banyak-banyak buku, toh guru juga jarang hadir di kelas mereka. Daripada buku yang mereka bawa habis di gambari lebih baik bawa sealakadarnya saja. Saya tidak terlalu merisaukan hal ini, karena dulu waktu masih se usia mereka sayapun demikian. Karena ini adalah hari pertama, terlebih kedatangan saya adalah menggantikan guru sebelumnya, yang juga dicetak oleh lembaga yang sama, dilatih oleh sebagian besar pemateri yang itu-itu juga. Tentu hari pertama saya sangat berbeda dengan hari pertama Junarih dulu. Terlebih sebagian besar mereka telah beruaraian air mata saat acara perpisahan tempo malam. Good impression, memberikan kesan pada pandangan pertama merupakan target utama yang harus saya lakukan agar hati yang sempat bersedih dan kehilangan bisa merasa mendapatkan pengganti.

Malam sebelum mengajar saya memutar otak, mereview semua pengalaman pelatihan dan hidup yang telah lewat. Memilih materi, memilih kata yang tepat agar hati siswa-siswa itu bisa saya dapatkan. Malam telah berakhir tapi materi tak kunjung terkumpul. Buku-buku yang berjejer rapi di perpustakaan rumah pintar tak memberikan banyak materi untuk mengajar di hari pertama ini. Hamparan lautan yang membentang, di beranda belakang rumah tinggal juga tak kuasa memberikan setetes solusi atas kegalauan mengajar di hari pertama ini. Jajaran bukit dan gunung yang mengelilingi desa kecil kami, diam membisu. ketinting dan perahu dayung yang terparkir di pantai cuma bisa menari-nari di derai ombak, walaupun tak menawarkan solusi tapi paling tidak bisa sedikit usir risau dan galau. Panorama yang hadir dan lahir di Sawang akar, mungkin hanya terlihat biasa-biasa saja. Entah karena pagi lebih cerah, atau karena galau yang tak kuasa di bendung, Tuhan lewat ayat-ayat alamnya membawa diri ini menyelami kembali alasan-alasan kenapa menjejakkan kaki sampai sejauh ini. Upsss, sederhana saja alasannya berbagi harapan dengan sebanyak-banyaknya orang       "ceritakan mimpimu kepadaku, maka aku akan berusaha mewujudkan mimpi itu untukmu" Mungkin sebait kata di atas akan terkesan sombong, tapi itulah alasan yang mendasar kenapa kaki ini kuat menjejak sejauh ini. Pagi itu saya putuskan untuk mengajari harapan kepada mereka. Sederhana saja, tapi ternyata pagi itu ketika saya membuka kelas dengan mengajak mereka berharap, teriakan mereka mampu membangunkan bulu roma.


Cerita Lainnya

Lihat Semua