info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

LAGU SUMBANG DARI NEGERI KEPULAUAN

Ady Saputra Wansa 30 Maret 2012

LAGU SUMBANG DARI NEGERI KEPULAUAN Dari awal hingga pertengahan maret ini Halmahera Selatan (Labuha dan sekitarnya) di guyur hujan. Baik siang dan malam. Di pulau (dirumah yang berada di atas laut) musim hujan seperti ini terkadang menimbulkan rasa ngeri. Selain deburan ombak yang menyapu tiang-tiang rumah, sehingga sekali dua kali rumah turut bergoyang. Di langitnya tentu, tidak lagi terlihat bintang gemintang, walhasil gelap gulita adalah teman paling dekat. Saat seperti itu, terkadang terbersit sebuah pertanyaan "gw dimana si sekarang?". Untunglah, pertengahan maret itu tidak saya habiskan semuanya di pulau. Ada beberapa agenda yang harus saya tuntaskan di kota kabupaten, yakni tetang ide kepala pemerintahan disini untuk membentuk sebuah sekolah unggulan. Sebagai orang dari kota, yang bergelar "pengajar", mau tidak mau tugas terhormat itu harus diambil. Jadilah saya yang di serahi oleh teman-teman sebagai penanggung jawab untuk pelaksanaan mimpi besar tersebut. Sekitar satu minggu saya meninggalkan pulau, ada rasa tak enak yang menekan dada, tapi apa mau dikata toh tugas saya memang tidak melulu mengajar ada empat tugas yang harus saya emban selama satu tahun mengabdi sebagai pengajar di ujung negeri, Intra, Ekstra, Pembelajaran dan advokasi. Disela-sela rapat dan diskusi dengan pemangku kebijakan. Saya menghabiskan malam yang klap-klip (di labuha sering sekali mati lampu, baik siang dan malam, durasi mati lampunya tidak lama paling sekitar 5 sampai 10 menit, dalam sehari semalam terkadang empat sampai lima kali mati lampu) berdiskusi dengan dokter lulusan dari salah universitas tertua di negeri ini. Dokter yang baru beberapa bulan mengabdi di daerah tersebut kagum dengan apa yang telah kami lakukan. Dia bertanya tentang bagaimana keadaan siswa yang kami ajar, baik dari intelektualitas sampai kondisi sosial ekonomi keluarganya. Sudah barang tentu saya menceritakan semua hal sejelas-jelasnya tidak seperti kebanyakan cerita yang ada dalam blog. Yang sudah disusupi oleh unsur sastra dan sensor etika. Dia menggelengkan kepala, menyadari bahwa begitu berat hal yang harus kami lakukan. Terlebih ketika saya menekankan pada "perubahan prilaku" dia langsung membalas "tidak bisa kalau kita mengharapakan perubahan prilaku, tanpa ada orang yang memulai terlebih dahulu, dan bagaimana mereka akan memulai kalau kebutuhan ekonomi mereka masih belum teratasi, kebodohan dan ketidak pedulian mereka terhadap pendidikan anak-anak mereka terlihat jelas", seolah tersulut dengan dukungan kesimpulannya, sayapun turut menambahi "inilah yang tidak disadari oleh banyak pihak yang ada jauh di Jakarta sana. Kami yang mengerti tentang bagaimana realitas dilapangan, kami yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah tersebut. Dan akhirnya kami juga harus menentukan pilihan, walaupun bertentangan dengan pendapat orang-orang di Jakarta. Proses pembiaran, pemakluman atas kesalahan-kesalahan yang sengaja dilakukan ini tidak bisa kita biarkan terus menerus" dan uraian penutup tersebut saya tutup dengan "saya terkadang merasa sedih, bayangkan ketika kuliah dulu, kita turun kejalan menuntut banyak hal kepada pemerintah pusat, pendidikan dan kesehatan gratis. Ketika hal itu diwujudkan oleh pemerintah, kenyataan dilapangan ternyata tidak seindah yang dicita-citakan. Pihak-pihak yang berada di garis depan pelaksana kebijakan pemerintah tersebut, tanpa ada kontrol dari pemerintah yang bertanggung jawab atas itu dan juga dari masyarakat yang masih "bodoh" dan maklum atas kesalahan yang dilakukan, dengan semena-mena menjalankan kebijakannya yang jauh dari sikap bijaksana". Obrolan malam dalam suasan gelap gulita itu, tandas ketika jam ditangannya menunjukkan angka dua dini hari.                         ... Siangnya, dengan tidak di duga-duga dua orang pengajar dari Bibinoi datang, ternyata kedatangannya juga karena punya tanggung jawab untuk menyelenggarakan kegiatan jambore anak pada bulan Juni nanti. Mungkin apa yang kami lakukan terkesan mengambil alih projek, wewenang yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait, jawabannya "tentu tidak" bagi orang-orang yang memiliki visi kedepan. Sudah lama Halmahera Selatan berada dalam periode pesimistis, kehadiran pengajar muda, sedikit memberikan angin segar bahwa yang tidak mungkin bagi mereka selama ini ternyata mungkin, dan perlahan angin optimis itu datang dan meniupi mereka yang haus akan perubahan dan berkesadaran bahwa mereka telah jauh tertinggal dari kota yang mentarinya terbit lebih lambat dua jam dari mereka. Tapi bagi kelompok yang lainnya lagi, yang sadar betul bahwa apa yang kami kerjakan tidak akan menyisahkan atau bahkan menyisipkan lembaran rupiah disaku mereka, ini adalah sebuah ancaman. Budaya loyalitas seperti ini akan menyebabkan mereka semakin miskin dan mungkin saja cicilan dari barang-barang yang sudah mereka ambil tidak akan terbayarkan (heeeeee). Seperti seorang sahabat yang telah lama tidak bersua, pertemuan yang berdurasi lima belas menit sebelum semua orang disibukan dengan aktifitasnya masing-masing kami gunakan untuk bertukar pengalaman dan kenyataan di desa masing-masing. Karena walaupun tiap minggu kami sering berjumpa, perjumpaan itu selalu kami rindukan dan selalu tidak sabar untuk menunggu cerita terbaru dari tiap pulau. Karena selalu saja ada yang baru, yang menggelitik, yang menyentak atau malah yang sama-sama kami katakan "ah sampah". Siang itu sebenarnya lebih banyak saya yang bercerita tentang hal terbaru di desa. Karena sepertinya teman-teman masih mengambil rute "nyaman" dan "aman" tidak seperti rute yang saya ambil. Juga sepertinya kasus di desa mereka memang jauh atau tidak sekompleks desa saya, makanya setiap saya menyelesaikan cerita teman-teman selalu menegaskan dengan kata-kata "gila lo Dy", "anjrit", atau "kayaknya pihak IM bener deh menempatkan lo disana, kalau kayak gw dan teman-teman yang lain dengan semua kompleksitas masalahnya kayaknya gak sanggup deh" terkadang apa yang teman-teman katakan itu menjadi penyemangat atas tindak-tanduk yang saya lakukan. Tapi di sisi lain, dalam tafakur saya menimbang-nimbang apa yang saya lakukan terlalu prontal, terlalu keras, terlalu beresiko. Tapi kalau jalur "aman" dan "nayaman" yang saya ambil dengan semua masalah yang di hadapi, apa iya perubahan yang terjadi akan sedrastis ini, tentu tidak. Satu tahun waktu pengabdian ini, dengan empat tugas yang diberikan oleh IM setiap PM harus menimbang mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak (ini intruksi dari Jakarta ketika pelatihan dulu) dan apa yang saya lakukan telah saya pertimbangkan baik dan buruknya. Obrolan tentang desa itu berakhir.                         .... Obrolan berikutnya yang lebih menarik adalah ketika Gatya, kebingungan untuk memposting tulisannya dalam Blog. Disatu sisi Dira pada hari itu akan memposting sekitar empat buah tulisannya. Gatya memberikan alasan, bahwa bukan tidak ada inspirasi untuk dia tulis, begitu banyak tulisan dalam notebooknya tapi itu semua seperti curhatan diary. Dia berpikir kurang layak untuk dibaca ketika dipostingkan nanti. Karena apa yang dia tulis lebih banyak sisi negatifnya. Melihat ketidak berdayaan Gatya, saya ikut bicara dan meminta Gatya untuk menuliskan apa adanya dan adanya apa. Saya menjelaskan selama ini yang kita baca di blog kebanyakan adalah sisi romantika pengajar muda di tempat tugasnya. Tentang senyum anak-anak mereka, tentang menjadi orang pertama yang datang kesekolah. Tentang perubahan anak-anak didiknya akibat pengajaran yang menggunakan metode PAKEM. Tentang perjalanan mereka menyusuri pantai, menyelami lautan atau menyibak balantara. Tentu cerita di tempat tugas tidak semuanya seperti itu, dan kalau dibanding-bandingkan sepertinya cerita pangajar muda di tanah rantau jauh kalah menarik dengan novel bergenre remaja. Karena novel-novel itu walaupun berkisah sama, tentang cinta, patah hati, rebutan pacar tetap menyimpan konflik yang menjadi instrumen pengikat para pembaca untuk antusias membaca ceritanya. Kalau yang terlukis di blog hanya berkisah tentang romantika seperti itu, maka kita tidak jujur. Tulisan kita tidak akan memberikan persiapan apapun kepada calon-calon pengajar yang lainnya, selain persiapan membawa alat-alat berlibur sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya. Tentu yang dibutuhkan oleh desa-desa di tanah rantau itu adalah para inspirator, orang-orang yang tuntas dengan dirinya, bukan orang-orang yang siap -menjelajahi desa mereka dengan kamera di tangannya, memotret beberapa sisi kehidupan dan pemandangan desa mereka kemudian photo-photo itu di posting di  dunia sosial mereka. Seolah-olah senyum yang ditangkap oleh kamera mereka sebagai bukti keberhasilan mereka menginspirasi. Cerit-cerita di blog harus juga menceritakan tentang berbagai macam warna, bermacam rasa agar yang tergugah hatinya tidak hanya orang-orang yang ingin membuat catatan dalam diary kehidupannya sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. Karena kehidupan ditanah rantau tidak membuat seseorang saja yang diuntungkan, tentu anak-anak yang diajar, orang tua yang bersinggungan dengan kita, guru-guru rekan mengajar kita juga harus mengalami kebanggaan ketika menuliskan pengalaman mereka dalam buku kehidupan mereka. Tentu bukan kebanggaan yang nisbi, kebanggaan karena bersua dengan orang kota, orang Jakarta, anak-anak itu juga memiliki kebanggaan bukan karena diajar oleh pengajar muda semata, orang-orang desa itu juga harus bangga bukan kebanggaan karena telah menjadi bapak dan ibu piara orang Jakarta. Sehingga yang datang ke tanah rantau adalah orang-orang yang dewasa, baik dewasa secara umur dan juga pengalaman bukan anak-anak "alay" yang ketika melihat gunung "wah gunung" melihat pantai "wah pantainya indah", melihat ikan "ihh ikannnya bagus banget" melihat hutan "sejuk banget ya" ketika di perahu kecil yang bergoyang karena ombak menerikan "mama". Kemudian memasang aksi-aksi "alay" ketika kamera menyatroni mereka. Bukan orang "gagap" seperti itu yang dibutuhkan oleh orang-orang di tanah rantau. Pengajar Muda yang datang harus orang-orang Muda yang penuh dengan kesadaran, kaya pegalaman, heroik, selayaknya anak-anak muda yang jadi metraliyur perubahan pada masa-masa awal persiapan dan perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Tentu tanggapan saya terhadap keenganan Gatya menposting tulisan kejujurannya itu, tidak sebanyak dan seheroik diatas. Lagi, karena bahasa tulis harus bermaklum dengan keindahan sastra harus ada konflik, pemilihan prase agar tulisannya berbunyi, dan bunyi yang merdu tentu bukan sumbang. Kesederhaan tanggapan saya pada obrolan yang nyata itu ditanggapi Gatya "iya juga ya, karena lihat aja pengalaman waktu kita datang kesini, di Blog para pengajar dari halmahera selatan yang lalu kita baca isinya sangat bagus-bagus tapi ternyata ketika kita sampai disini, kita bertemu dengan begitu banyak cerita yang tak terceritakan". "Begitulah".


Cerita Lainnya

Lihat Semua