info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sang Juara Dari Pinggir Sungai Musi

adji prakoso 29 Juni 2012

Pertama kalinya menginjakan kaki dihalaman sekolah dasar Kepayang yang jadi tempat mengajar dan belajar setahun kedepan. Ketika langkah mulai diayunkan masuk kehalaman sekolah dasar, sekali lagi ucapan selamat datang dalam bentuk nyanyian diberikan sebagaimana penyambutan kemarin sore saat pertamakali menginjakan kaki di dermaga desa kepayung. Mereka menyanyikan lagu “Selamat datang bapak, selamat datang kami ucapkan, selamat datang bapak, selamat kami ucapkan. Terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama”. Suara dari lagu yang dinyanyikan siswa-siswi SD Kepayang menggetarkan hutan sawit dan sungai Musi dipagi hari.

Saat kaki melangkah mendekat ke siswa-siswi yang bernyanyi, seluruh badan gemetar. Saya pandangi wajah mereka satu persatu, terlihat pancaran ketulusan dan antusias dari wajah polos itu. Takjub dibuat oleh para juara dari bumi Sriwijaya ini. Bahkan pancaran ketulusan dan kejujuran datang dari wajah mereka, membuat saya grogi di buatnya. Rasa grogi semakin menjadi saat diminta memperkenalkan diri didepan calon-calon juara itu. Entah kenapa, saya selalu grogi saat hendak berkenalan dengan anak-anak yang kedepannya jadi sahabat mengajar dan belajar.

Mengatasi grogi ini, saya lakukan ice breaking untuk mencairkan suasana dalam batin. Anak-anak mengikuti ice breaking yang dicontohkan penuh suka cita. Gelak tawapun keluar lepas dari mulut tunas-tunas kecil itu. Mereka nampak menikmati perkenalan pertama dengan calon guru baru ini. Setelah itu, ibu kepala sekolah “Laila Suhat” mempersilakan kepada saya bermain dengan anak-anak. Kebetulan siswa-siswi SDN Kepayang sudah menyelesaikan ujian sekolah, hanya beberapa kelas saja belum menyelesaikannya dan itu tinggal ujian praktek.

Ini kesempatan berharga bermain dengan anak-anak dihari pertama ke sekolah, saya coba jalankan moment ini sebaik mungkin. Jarang ada kesempatan yang diberikan kepada guru baru untuk bersentuhan langsung dengan muridnya dihari pertamanya menginjakan kaki di sekolah. Saya langsung mengajak tunas-tunas kecil bangsa di pinggir sungai musi itu, bergandengan tangan dan membuat lingkaran. Saya terkejut beberapa anak berebut  bergandengan tangan dengan saya. Ini sebuah kehangatan tulus keluar dari kedalaman hati. Satu pelajaran saya petik dari sikap murid-murid yang menghargai dan mengasihi sesamanya. Tiba-tiba, saya teringat ucapan pak Munif Chatib “Pakar Pendidikan Indonesia” yang pernah mengingatkan dalam pelatihan intensif pengajar muda, bahwa setiap anak adalah juara. “Iya hari ini mereka sudah menunjukan sikap seorang juara, yang dihatinya terisi rasa menghargai dan menghormati orang lain. Mereka juara dalam merebut hati guru baru ini. Meskipun saya adalah sosok yang baru dikenalnya, tutur hati ini.

Kemudian, mereka bergegas penuh antusias menjalankan himbauan dari guru baru ini. Kami membuat lingkaran besar sambil bernyanyi “lingkaran besar” dalam bahasa Indonesia. Saat saya mencontohkan bernyanyi lingkaran besar dalam bahasa Inggris, siswa-siswi itu mengikutinya penuh semangat dan canda tawa. Volume suara murid-murid yang bernyanyi “Make a big circle, make a big circle, make a big circle”, membantu matahari menghangatkan desa pinggir sungai musi ini.

Setelah lingkaran terbentuk kami bermain kucing dan ayam, sebagai kucing harus mengejar siswa yang memainkan peran sebagai ayam. Gandengan tangan murid-murid sebagai pintu yang bisa tertutup dan terbuka. Jika gandengan tangan dinaikan ke atas artinya kucing atau ayam bisa melewatinya untuk keluar atau masuk ke dalam lingkaran. Bagi siswa yang berperan sebagai ayam tertangkap si kucing diminta mempraktekan satu kesukaannya, seperti berpantun, bernyanyi, puisi, bercerita dan lain-lain.

Saat sesi pertama permainan, seorang siswa yang berperan sebagai ayam tertangkap si kucing. Namanya adalah Haryo, Saya memintanya mempraktekan satu hal yang disukainya. Haryo memilih bernyanyi. Saya kagum saat dirinya meminta izin menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Haryo bernyanyi penuh percaya diri dan suaranya lantang penuh penghayatan. Serentak saya dan murid-murid lainnya ikut bernyanyi. Kami refleks menghadap ke bendera merah putih yang berkibar angkuh menghadap luasnya sungai Musi. Saya belajar dari semangat Haryo dan murid-murid SDN Kepayang, mencintai tanah airnya. Kecintaan yang satu bentuknya disalurkan melalui nyanyian. Saya mengamini bahwa mereka adalah sang juara. Mereka jadi guru saya hari ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua