info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Guruku Tentang Kasih Sayang Yang Tulus

adji prakoso 29 Juni 2012

Jadi teringat salah satu quotes Ki Hajar Dewantara “ Jadikanlah semua tempat adalah sekolah dan semua orang sebagai gurumu”. Pernyataan bapak pendidikan Indonesia tersebut, mengajarkan kepada kita pembelajaran dapat dipetik dimanapun dan dari siapapun tidak terbatas ruang atau sosok pemberinya. Hari Jumat 22 Juni 2012 saya menghayati pernyataan salah satu founding fathers itu. Saya dapatkan pembelajaran tentang kasih sayang dari sosok yang berbeda dari biasanya, bukan Ustadz, tokoh masyarakat, guru atau cendikiawan lainnya. Jikalau dilihat bungkus luar pasti statement awal tidak ada sedikitpun pembelajaran hidup bisa dipetik dari mereka, apalagi tentang kasih sayang yang identik konsumsi kelas menengah keatas atau kaum terdidik.

Saya mendapatkan rasa kasih sayang dari anak-anak desa pinggir sungai Musi, yang juga murid di SDN Kepayang. Kejadian awalnya saat saya dan pengajar muda angkatan 2 yang kelak purna tugas diajak bermain menuju ujung hilir desa. Ujung yang berbatasan dengan pabrik pengelola kelapa sawit. Perjalanan ini bagi saya wahana menyatukan diri dengan masyarakat dan alam yang jadi tempat belajar setahun kedepan. Namun bagi tunas-tunas kecil bangsa itu, ini cara mengasihi orang yang mereka anggap guru, sahabat dan bapaknya.

Pembelajaran kasih sayang tulus kepada sesamanya, dimulai saat kaki melangkah menyusuri ujung desa. Tunas-tunas kecil itu membagi dirinya jadi dua kelompok kecil dan mengerubungi kami. Ada memeluk erat tubuh, memagang tangan dan mereka yang tidak kebagian sedikitpun perut atau tangan kami, tepukan kepunggung juga dilakukan sebagai wujud kasih sayang. Yang membuat haru semua dilakukan tanpa komando sedikitpun. Bahkan ada diantara mereka hampir berkelahi, karena berebut memeluk atau sebatas memegang tangan ini. Hati tersayat kasih sayang tunas-tunas kecil pinggir sungai Musi, Sumatra Selatan.

Kasih sayang yang ditunjukan tidak berhenti di moment ini. Saat kami memutuskan  pindah tujuan, bermain di perahu ketek karena satu anak menangis melihat ular melintas tidak jauh dari jalan yang dilalui. Tiba-tiba hujan turun derasnya, di saat memutar arah perjalanan. Tunas-tunas kecil itu bergegas lari menuju pohon pisang dan memotong daunnya. Ada yang mematahkan dari batangnya, ada juga memotong dengan kayu kecil. Setelah berhasil mendapatkan dua lembar daun pisang yang besar. Mereka berikan kepada saya dan mbak Mila “pengajar muda angkatan 2 yang akan selesai tugas menuntaskan janji kemerdekaan”.

Kami refleks menyampaikan “sudah daun pisang itu, kalian gunakan saja. Kami tidak masalah terkena air hujan. Lebih baik anak-anak menggunakannya untuk berlindung dari air hujan, agar tidak sakit kepala“. Mereka menolak menggunakannya sebagai pelindung derasnya kucuran air dari langit. Bahkan satu anak bernama Anton berujar, “ Jika bapak atau ibu tidak galak ( mau ), kami tidak akan lagi bermain dengan kalian”. Dia merajuk (ngambek) karena kasih sayang tulus terhadap kami. Akhirnya kami mengiyakan permintaan mereka menggunakan daun pisang yang diberikan sebagai bariel pelindung hujan. Namun kami juga meminta tunas-tunas kecil itu, memetik daun pisang lainnya sebagai tempat berteduh mereka dari derasnya hujan.

Derasnya hujan membuat sendal mendadak tebal, dikelilingi lumpur. Maklum, jalan yang dilewati penuh tanah. Setelah diujung dermaga, hendak membersihkan sendal. Saat hendak membersihkan sendal dengan air sungai yang disimpan warga dalam drum. Tunas-tunas kecil itu langsung refleks mengambil air dalam drum dan menyiramkannya ke sendal ini. Ada juga permintaan, melepaskan sendal agar mereka bisa membasuhnya dengan air dan menggosok tanahnya dilantai kayu ujung dermaga. Namun saya tidak mau merepotkan mereka.

Perhatian dan kasih sayang yang mereka berikan melebihi cukup, apalagi saya tergolong baru dikenalnya. Baru hari ketiga menginjakan kaki didesa pinggir sungai Musi. Saya terharu dibuatnya. Ini pertama kalinya merasakan rasa kasih sayang tulus, yang diberikan luar lingkaran keluarga inti, sahabat dan orang terdekat lainnya. Mereka jadi guru belajar tentang kehidupan. Belajar tentang mengasihi semua orang secara tulus, tanpa memandang baru atau tidaknya berinteraksi dengan kita. Anak-anak kalian inspiratif.


Cerita Lainnya

Lihat Semua