Survival Anak Wunlah

Aditya Prasetya 25 Juni 2013

Matahari kota Ambon, tepatnya bandar udara Patimura pagi, saya lupa tanggal tepatnya. Nampaknya karena saya terlalu nyaman disini sampai lupa tanggal tepatnya saya tiba di Ambon.Di Ambon kami hanya transit sejenak dari Ibukota Jakarta.Tujuan utama kami bertujuh ke suatu tempatbernama Saumlaki. Seketikanya di Samluaki,hari pertama, kami melakukan kunjungan ke Kantor Bupati MTB.Disanalah pertama kali saya merasa amat bodoh tidak membawa catatan kecil atau note yang biasa saya pakai.

Saya merasa sangat menyesal karena tidak bisa mencatat banyak pelajaran hidup baru dari sang Bupati MTB karena darinya ada beberapa nasihat dan optimisme dalam hidup yang bisa dicatat. Darinya saya belajar kesederhanaan, merendah tapi tak rendahan. Bagi beliau, kami (pengajar muda) adalah cermin, yang selalu menjadi contoh hidup semangat, sebagai contohmasyarakat MTB dalam memandang pentingnya pendidikan. Sebuah frasa kalimat yang menurut saya sangat merendah tapi tidak rendahan. 

Bagi kami, ini adalah sanjungan sekaligus juga tantangan agar ditahun ketigakami ditanah MTB menjadi satu baku bantu bersama untuk membentuk entitas masyarakat yang lebih baik. Karena kami sadar untuk menyelesaikan masalah besar bangsa ini bukanlah kemampuan kami. Kami sadar kami bukanlah siapa-siapa dan bukan apa-apa. Kami hanya seonggok daging yang menginginkan perubahan masyarakat MTB dengan lebih baik kedepannya. Kami pun menyadari perubahan itu bukan harus kami yang ada disana. Melainkan masyarakat MTB-lah sebagai pemicu dan pelaku perubahan ke arah positif itu. 

Selesai pertemuan pertama, saya langsung tersadar bahwa kami adalah harapan bagi masyarakat MTB untuk lebih baik. Dan saya pun harus sadar dan  ingat seketika bertemu Bupati MTB lagi, notes tidak akan tertinggal kembali. Syukur pertemuan kedua dan ketiga kalinya dengan tokoh luar biasa milik MTB ini tidak saya buang percuma. Setiap lantunan kata saya catat dan saya renungi untuk menjadi panduan pengabdian saya di hari-hari depan di Wunlah.

Ada satu hal yang saya catat dan ingat selalu perkataan dari Pak bito, "Hidup satu kali, maka kita wajib merdeka dalam  hidup, bersemangat meninggalkan kenyamanan, walau sendiri dalam pengabdian".

Ya benarlah itu, sendiri dalam pengabdian. Hal inilah yang terbayang ketika saya berada di Wunlah.Desa Wunlah, kecamatan Wuarlabobar adalah tempat persinggahan diri ini setahun kedepan.Pertama, memandang desa wunlah dari kapal feri saat pukul 5 pagi membuat diri ini sedikit lebih tegang dari perjalanan panjang yang sebelum pernah saya jalani. Bisa dibayangkan kawan, seketika kami sampai dipinggir pantai desa, kami disambut perahu kecil yang semrawut tanpa nomor kendaraan, yang ada hanya sahut-sahutan saja antar kata yang dari bahasanya diri ini tidak mengerti apa yang mereka teriakan. Hanya kata Wunlah, Karatat, Wabar yang saya denger bersahutan berbarengan dengan suara saling sahut berebut perahu.

Saya bersama pengajar muda yang sebelumnya telah ditugaskan disana berusaha menahan beban tas dipanggul agar tidak jatuh, tidak berani diri kami saling berebut naik kapal kecil itu untuk sampai cepat didesa Wunlah. Kami hanya memikirkan keselamatan diri, biar lambat asal selamat saja.

Setibanya kami didaratan wunlah, kami diterima oleh dermaga pantai yang sederhana dengan beton semen tangga belum jadi dan tiang pemancannya. Menambah beban sambut diri ini. Semakin terasa nampaknya beban makin berat untuk setahun ke depan didesa wunlah ini, minimal beban transportasi yang sulit tentunya.

Tapi, beban itu nampaknya berkurang setelah saya melihat senyum pertama papa piara (bpk Masela). Dengan sigap serasa paham betapa lelahnya saya, pak masela bersama beberapa anak SDK Wunlah langsung menggotong tas carier berat saya. Saya langsung malu dibuatnya. Walau lelah pun saya gotong tas carier berat itu tanpa istirahat. Alhasil sampai rumah serasa tulang meminta haknya untuk istirahat.

Itulah istirahat yang menurut saya istirahat pertama dan ternikmat di Desa ini. Karena beberapa hari berikutnya taburan kegiatan silaturahmi dan tebar senyum sana sini sembari berucap salam harus saya paksakan. Walaupun lelah menyerang. Karena keramahan desa wunlah ini memaksa bibir untuk terus menebar senyum dan bersapa salam setiap bertemu orang dijalan. Entah kenal atau tidak ucapan salam dan senyum pun saya terima, dan saya balas kembali dengan hal yang sama. 

Keramahan dan kenyamanan Desa Wunlah pun semakin terasa saat saya bersama anak-anak desa ini menikmati surutnya air pantai disore hari. Kami di Desa wunlah mengenalnya dengan sebutan 'Meti-Meti'. Saat sore hari air pantai yang surut memperluas daratan desa wunlah. Walhasil banyak ikan dan binatang laut yang siap santap terperangkap di pinggir pantai.

Ini terjadi saat hari kedua saya di Desa Wunlah. Hari kedua ini juga mama piara (mama sera) bilang kepada saya bahwa sore ini ia tidak ada bahan makanan, karena pedagan sayur dan ikan tidak ada seharian. Saya pun bingung dibuatnya. Makan apa kita malam  nanti.

Kebingungan saya seolah hilang, saat saya terpesona dengan 'meti-meti' ini. Banyak warga desa berjalan kesana. Saya pun bertanya ke anak-anak yang baru saya kenal, ada apa dengan 'meti-meti' ini? Anak-anak pun menjawab, disana (meti-meti) ada ikan, keraka(kepiting), putu cina, dan teripang, gurita dan itu semua bisa dimakan.

Saya pun terpukau dengan pengetahuan anak-anak ini dengan potensi pantai (pinggir laut) mereka. Saya pun meminta bantuan beberapa anak untuk mencari makanan laut itu untuk makan malam saya hari itu.

Dengan cepat mereka mengambil ember, lidi, dan karet. Saya pun bingung dibuatnya, untuk apa itu semua. Mengurangi kebingungan saya, kami pun mulai menyusuri pantai. Tidak lama ada kepiting yang berada dibalik karang. Dengan sigap anak-anak cerdas Wunlah ini pun menggunakan lidi sebagai anak panah dan karet gelang sebagai busurnya untuk memanah kepiting laut itu. Akhirnya kepiting pertama pun didapat, dan satu persatu kepiting, ikan kecil, teripang dan putu cina kami dapat. Setengah ember besar kawan, anak-anak ini dapatkan seafood-seafood itu. Dan semua itu diberikan untuk saya. Akhirnya pun malam itu saya bersama keluarga piara saya makan seafood hasil tangkapan anak-anak cerdas wunlah.

Bagi saya ini adalah survival pertama saya diwunlah. Bersama-sama anak-anak wunlah mencari makan malam. Ini pelajaran hidup tambahan bagi saya. Setelah pelatihan survival di Wanadri lalu tentang cara hidup di daerah tropis. Sekarang saya mendapat pelajaran dari mutiara wunlah tentang bertahan hidup (survival) di daerah pantai. Luar biasa memang survival anak-anak wunlah ini. Seraya bersyukur, inilah karunia Tuhan yang telah saya dapat, alam wunlah dan pelajaran survival anak wunlah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua