info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mutiara Islam Wunlah

Aditya Prasetya 19 Juli 2013

Mentari pagi terbit diufuk timur, negeri timur Indonesia ini. Pantai yang membentang bersih mengiringi sang fajar terbit. Sejenak hujan rintik turun menghiasi permadani langit, sehingga membentuk cakrawala pelangi disebelah barat pantai nampak indahnya dengan berbagai warna. Sayang, diafragma mata saja yang dapat mengangkap keindahannya. Tanpa bisa direkam kamera. Mungkin Tuhan ingin keindahan ini hanya dinikmati oleh diri sendiri.

Ramadhan pertama disebalah timur Indonesia. Sebagai minoritas, tanpa ada bunyi adzan subuh yang bertabuh. Apalagi bunyi sirene imsak layaknya dikota-kota. Tapi inilah kenikmatan kesunyian ramadhan. Kenikmatan kekhusuan dalam keheningan. Pagi ini, dalam jamuan sahur pertama, saya mendapatkan undangan sahur pertama dari seorang ustadz adalah kehormatan tersendiri bagi saya. Jamuannya seakan tahu betapa diri ini rindu dengan makan sahur dirumah. Dengan kenikmatan lauknya dan keramahan keluarganya menyambut sahur pertama ditahun 1434 Hijriyah ini.

Ustadz sidiq namanya. Guru agama islam SMA negeri Wunlah. Sudah hampir 5 tahun ia disini. Merantau dari Jakarta sejak tahun 2000 dan disini (wunlah) sejak 2008. Ketika dikenalkan oleh dia saya pun tahu bahwa dinegeri minoritas muslim dengan sejuta toleransinya, ada sosok guru dan saudara muslim yang saya simpulkan diawal ini akan menjadi panutan saya kedepan.

Dan terjadi juga hari ini. Saat saya diundang ke rumah beliau untuk sahur, penanda pertama kekaguman saya terhadapnya. Sebagai seorang muslim, tentunya kehormatan tersendiri bagi saya diundang sahur disini. Apalagi lauknya tidaklah sederhana, tapi ia sengaja menyajikan lauk ‘ayam potong’, yang tentu saja sangat berharga disini. Bukan saja karena mahal harganya tapi juga cara membelinya di Larat. Kota tua yang dari desa wunlah harus dicapai dalam waktu 4 jam dengan perahu motor. Saya saja yang pernah kesana didampingi PM yang lama,  merasa pengang telinga selama setengah harian. Ya, karena suara motor di perahu motor itu luar biasa, memecah gendang telinga minimal setengah hari-lah. Inilah yang membuat saya bangga sekaligus terhormat diundang sahur bersama keluarga beliau.  

Luar biasa tokoh ini. Saya berbincang dengannya tentang ke Islaman dengannya. Mulai dari sikap masyarakat yang lain agama dengan ketoleranannya sampai masalah dakwah yang ternyata sangat jauh dari kondisi semestinya. Yang menjadi tantangan bagi setiap muslim disini. Bagi muslim yang sadar dengan tugas yang telah diamanahkan baginya. Sebagai tugas para nabi.

Masyarakat islam yang minoritas ternyata tidak membuat sebagian dari mereka konsisten dengan kenikmatan iman mereka. Malah mereka seperti sebagian orang kota. Lebih memilih dunia sebagai kenikmatan hidupnya. Menurut dia (ustadz sidiq) ini adalah objek dakwahnya. Meluruskan kembali semangat amal ibadah sesama saudara seimannya.

Lalu saya pun tidak habis pikir, kenapa ia meninggalkan kenyamanannya dikota besar seperti Jakarta untuk tinggal didesa ini. Bertahun-tahun dengan rumahnya yang sederhana, fasilitas sederhana, bahkan lebih mendekati seadanya. Istri beliau yang yang ternyata orang Makasar, sudah sewaarnya menurut saya, mestinya berat ketika diminta mendampingi suaminya tugas sebagai PNS disini. Tapi  tidak dengan keluarga ini.

Mereka telah merelakan waktunya untuk menjadi penyampai ilmu di desa ini. Mereka menisbakan dirinya berbagi, mengabdi di salah satu pelosok negeri ini. Ia (ustdz sidiq) memilih disini dengan alasan takdir Tuhan untuk dia. Suatu pemikiran yang sederhana menurut saya. Tetapai memiliki berjuta makna. Berjuta efek manfaat bagi warga wunlah khususnya yang minoritas muslimnya. Ya, karena dengan kehadiran ustdaz sidiq disini sebagai satu-satunya ustdz se kecamatan Wuarlabobar nampaknya bukan hanya  Desa Wunlah.

Ia yang mengurusi dakwah sekecamatan ini. Ia yang berpindah-pindah tempat untuk berbagi ilmu agama layaknya para nabi. Dengan kesulitan medan yang beragam. Ia tidak pernah diangkat pemerinta sebagai pendakwah. Tapi ia sadar bahwa ini adalah tuganya (amanahnya) sebagai seorang muslim sekaligus pandai agama. Yang memiliki ilmu untuk disampaikan kepada yang berhak mendapatkannya.

Pagi itu, ia bercerita pada saya tentang kelemahannya dalam berenang. Ia tidak bisa berenang . Karena kelemahannya itu pun hampir ia kehilangan nyawa. Ini terjadi ketika perahu yang ditumpanginya menghantam ombak sampai terbalik. Namun, karena hari itu ia telah siap dengan jerigen minyak ditas punggung dan ikatan pinggangnya. Walhasil walaupun perahu terbalik, dirinya tidak tenggelam tapi selamat muncul dipermukaan laut tanimbar yang biru.

Ini mengingatkan pada diri saya, bahwa sosok ini perlu ditiru lagi dengan kesigapan dan kesiapannya. Ia sadar akan kelemahan dirinya dalam berenang, tapi kelemahan ini ia atasi dengan cara mempersiapkan diri dengan alat bantu semaksimal mungkin. Walaupun ia lemah dalam kemampua berenang namun ia tetap merelakan dirinya untuk tetap tinggal dan menetap disini (wunlah) dengan transportasi yang banyak digunakan via laut. Ia siap dengan segala kondisi yang ada. Ia tidak menyerah pada keadaan tetapi malah melawan kelemahannya.

Ia sosok yang patut untuk dtiru. Dengan penuh keistiqomahan ia menjadi pelita bagi minoritas muslim disini (Wunlah). Menurut saya, ia mengalahkan para ustdaz dikota dengan sejuta fasilitas untuk berdakwah, tetapi disini dengan minimnya fasilitas semangatnya menjadi pendakwah tidak pernah luntur. Semangatnnya tidak pernah habis dijemur oleh terik panasnya keadaaan. Bahkan terus mengapi tak pernah padam.

Contoh yang baik untuk ditiru. Menjadi pelita dakwah di negeri wunlah. Dengan minim fasilitas, akses yang terbatas, daerah minoritas muslim dan saudara seiman yang harus banyak-banyak diingatkan (tentang konsistensi amal-ibadah) adalah tantangan yang harus ditaklukan. Karena Tuhan, tidak pernah menaruh hambanya ditempat yang salah, tidak berguna. Ia menaruh hambanya untuk bermanfaat bagi sesama. Dan suatu kebenaran, bahwa hamba yang paling mulia adalah baermanfaat bagi sesama. Ini menurut saya, sudah terpatri dalam diri beliau. Bagai mutiara dengan keindahan sinar kemilaunya, sedikit jumlahnya tapi sangat berharga. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua