PENJELAJAHAN WUARLABOBAR I

Aditya Prasetya 28 September 2013

Saya tidak tahu kata-kata apa yang tepat mengawali tulisan ini agar tampak bagus serta mewakili rasa kekaguman saat penjelajahan saya disalah satu tanah Indonesia ini, Kecamatan Wuarlabobar. Pujangga manapun saya pikir sulit untuk mendeskripsikan keindahannya. Memang sungguh indah. Mentarinya tiap pagi selalu menyapa dengan penuh semangat.

Tak ragu untuk menampilkan cakrawala langit pagi itu. Terkadang saya pun tak yakin apakah sama mentari-mentari lain di Indonesia pagi ini, seindah dan secemerlang di Wunlah. Pagi yang biasa harus saya temui dalam setahun kedepan. Sebagai penghibur lara dalam masa tugas sebagai guru, yang katanya penuh ladang pengabdian. Ini menurut saya adalah bonus tugas yang saya dapatkan.

Hal yang saya tahu ada 4 bidang tugas harus saya lakukan sebagai pengajar muda. Tugas kurikuler, ekstrakulikuler, advokasi pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Ini yang biasa saya katakan ke seluruh stakeholder saya, kedepan agar mereka paham dan membantu pencapaian tugas saya.

Oleh karena itu dalam mewujudkan tugas-tugas dalam setahun kedepan salah satu hal yang saya lakukan untuk tahun ini adalah melakukan advokasi pendidikan, melakukan supervisi terhadap guru SD dan kampanye Calistung disetiap desa di kecamatan tempat saya bertugas (wuarlabobar). Pagi itu, saya dihubungi kepala UPTD untuk bersamanya melakukan kunjungan kerja ke desa-desa dikecamatan.

Seketika tawaran itu datang pada saya, tanpa pikir panjang saya mengiyakan. Ini kesempatan saya mengenal anak-anak Maluku lebih banyak lagi. Mengetahui bakat mereka, sekaligus juga memberikan harapan pada mereka tentang tanah Indonesia dan cita-citanya. Menyuapi mereka dengan sedikit mimpi – mimpi kemerdekaan yang semestinya mereka raih ditanahnya. Selain itu saya pun mengambil kesempatan ini untuk mengevaluasi kualitas pendidikan secara kasar.

Saya ingin tahu apakah benar, masalah-masalah pendidikan yang disampaikan oleh masyarakat pada saya beberapa waktu lalu tentang kekurangan jumlah guru, disiplin yang rendah dikalangan guru dan ada juga yang mengeluh karena rendahnya partisipatif masyarakat dengan dunia sekolah. Inilah cerita saya, mencoba untuk menggambarkan pendidikan di Wuarlaboabar. Menggambarkan kunjungan kerja yang juga bonus wisata. Menggambarkan wilayah ujung Watmasa sampai Lingada.

Menjelajahi tanah Wuarlabobar yang nampaknya mewakili keindahan seluruh Indonesia, dengan banyak pulau, terumbu karang, dan pasir putih menyelimuti lantai pantai. Diawali dengan air naik yang kami nantikan untuk segera berangkat lepas pantai Wunlah menuju lingkungan Mitak Pantai. Rencananya kami berangkat pagi hari sekali, sebelum matahari naik. Tapi pagi itu kami belum dapat berangkat karena kekurangan tenaga juri mudi ketinting. Memang disini (Wuarlabobar) jarak rentang kendali yang jauh antar pulau dibatasi permadani biru laut yang tak rata.

Mengharuskan kami untuk dapat menjangkau setiap desa dengan menggunakan angkutan laut. Angkutan laut sesederhana, “ketinting” pun serasa sudah cukup sebagai penyambung antar pulau. Dan seorang yang mampu mengendalikan ketinting atau minimal membantu pelayaran sederhana ini amat penting disini. Layaknya seorang pilot yang perlu copilot pendampingnya. Kami baru dapat take off dari pantai wunlah siang hari, saat air laut naik. Memanfaatkan ketinting sederhana untuk mengelilingi wuarlabobar yang Indah ini.

Sesampainya di Mitak kolam, hal yang saya tangkap pertama kali adalah daerah ini rawa pantai, banyak tumbuhan bakau yang mengitari. Menandakan banyaknya ‘Nyamuk Agas’ nanti yang berusaha memaksa berkenalan dengan kami. Nyamuk ini memang sangat terasa kalau menggigit, minimal rasa gatal dan bentol yang tak bisa hilang siap berada ditubuh. Namun keindahan daerah ini yang dilapisi permadani rumput hijau menjadi pelipur dari rasa takut terhadap nyamuk ini.

Keindahan desa ini semakin nampak kala sore itu disinari oleh cahaya senja yang mulai mengena. Sesampainya di Mitak kolam saya dapat membuktikan apa yang orang-orang Mitak pantai kepada saya beberapa waktu lalu. "Bpk Adit, kenapa Indonesia Mengajar tidak ditaruh juga di Mitak kolam? kami tidak ada guru". Saat itu saya hanya bisa tersenyum, karena memang saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kami Pengajar Muda memang harus mengakui bahwa tubuh kami hanyalah satu, tidak bisa dibagi. Kami menyadari tidak serta merta kehadiran kami dibeberapa daerah dapat mengatasi berbagai masalah. Perlu baku bantu semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Termasuk masalah ketiadaan tenaga guru diMitak kolam ini.

Namun seketika senyuman itu saat sampai di Mitak pun berubah, bukan senyuman pertanyaan, melainkan harapan. Karena ada tokoh Ibu Pendeta ternyata yang juga menyempatkan dirinya ditengah pelayanan umat untuk mengajar SD, yang sekolahnya saja masih menumpang dengan gereja yang ia pimpin. Tidak banyak memang murid disana 10 orang ditambah 4 siswa yang sudah ditransfer di sekolah induk SD Mitak pantai. Ya, sekolah ini memang adalah sekolah paralel. Sekolah yang hanya berisi 10 murid, karena penduduknya memang masih sangat sedikt. Kalau saya bandingkan dengan dikota, mungkin disini dikatakan Rukun Tetangga.

Tapi saya harus mengajungkan 4 jempol yang saya punya, kepada ibu pendeta yang bertugas disana. Ia mau mengambil bagian sebagai orang terdidik untuk mendidik anak-anak negeri mitak kolam. Didaerah yang terpencil ini ada satu mutiara kehidupan lagi yang saya bisa kenal dalam perjalanan memoar ini. Ibu pendeta Mitak. Ibu pendeta (Ipen) ini ialah seorang istri dari Sekertaris Camat di Tanibar Utara. Ia harus berpisah beberapa saat dari sang suami untuk menjalankan tugas sebagai pelayan umat. Tapi tidak hanya formalitas saja melayani umat, tetapi beliau mau menyempatkan dirinya ambil bagian mencerdaskan anak-anak bangsa.

"Betha seng mau anak-anak ini tanpa guru, pak Adit,.jarak sekolah induk jauh, 5 KM lebih, kasian anak-anak kalau pulang pergi potong hutan seperti itu" kata beliau ketika saya berujar, "Ipen luar biasa mau bantu anak-anak ini belajar". Pemikirannya sederhana sekali, sesederhana dirinya dalam bergerak untuk membantu anak-anak Mitak menggapai mimpi-mimpinya. Saya jadi teringat film laskar pelangi, ada ibu Fatimah. Yang bersikeras mendidik anak-anak Belitong itu. Di Negeri MITAK ( Menyedihkan Tak ada Tenaga Kependidikan) ini saya berharap mungkin nanti ada Andre Hirata baru, dari negeri Maluku. Yang mengisahkan tentang semangat Ibu Pendeta mendidik mereka. Memang jarak Mitak Kolam dengan desa Wunlah tidak lah begitu jauh, hanya 2 jam lewat laut. Namun kesenjangan pendidikannya dapat dengan jelas tergambarkan. Disana kurang guru ditambah lagi dengan guru sekolah induk yang tidak pernah datang. Lengkap sudah penderitaan anak - anak bangsa di Mitak Kolam ini.

Tapi untung saja ada ibu pendeta. Yang dengan kesederhanaan ditengah serbuan semangat nyamuk agas, namun ia tidak kalah semangat mengajarkan pendidikan kepada sebagian anak negeri ini. Berapa pun jumlahnya, tapi saya yakin nanti disuatu saat ada secercah harapan untuk Mitak, agar tak kecewa lagi karena tak ada guru. Saya pun hanya dapat melihat senyum anak- anak sore itu. Tanpa bisa berkata apapun untuk mengapresiasi semangat belajar mereka. Sampai malam saya hanya bisa tertegun saat kepala UPTD memberikan pengarahan kepada penduduk Mitak Kolam untuk terus konsisten terhadap semangat untuk mendidik anak – anak mereka walaupun tak ada tenaga guru. Ia hanya bisa menjanjikan untuk terus berusaha memberi pelayanan semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah ini.

Dan bintang malam pun mulai muncul menandakan pertemuan berakhir, dengan harapan masalah pendidikan Mitak Kolam pun dapat segera berakhir. Dimana ada ruangan belajar yang tidak lagi di Gereja dan ada tenaga pengajar yang memang mengajarkan mereka tentang ilmu dasar kehidupan ini. Semoga...


Cerita Lainnya

Lihat Semua